Oleh: Abdul Warits*
Pada era modernisasi hari ini, keberadaan pemuda mulai terombang-ambing oleh berbagai badai dimanika kebudayaan dalam kehidupan yang ada di masyarakat. Teknologi menjadi darah daging di tubuh pemuda hingga memengaruhi pergaulan dan kelalaian pemuda kepada jati diri bangsanya. Teknologi informasi erat kaitannya dengan dunia bahasa karena bahasa adalah sarana menyampaikan gagasan yang paling efektif melalui berbagai media.
Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran wajib nasional yang diajarkan di berbagai sekolah di Indonesia. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), SMP, SMA, dan sederajat, bahkan hingga perguruan tinggi (PT) sekalipun. Akan tetapi, walaupun bahasa Indonesia sudah merambah ke sekolah-sekolah, pelajaran ini hanya dipelajari secara formalitas semata[1]. Artinya, mereka yang menjadi guru hanya mengajarkan siswa-siswinya tentang berbagai teori yang ada di dalam bahasa Indonesia. Seperti definisi puisi, cerpen, pantun, rima, irama, kalimat dan lain sebagainya. Sehingga siswa-siswi tidak sampai menggali bahasa Indonesia ke akar-akarnya dan bahkan dianggap remeh karena bahasa Indonesia adalah bahasa Ibu, bahasa nusantara. Tidak perlu dipelajari secara serius. Bahkan, ada yang lebih senang belajar bahasa asing karena dianggap bisa diandalkan.
Ironisnya lagi, bahasa Indonesia hanya menjelma sebagai catatan kaki. Artinya, ia hanya diajarkan ketika menjelang ujian nasional (UN) tiba. Sungguh memperihatinkan. Bahasa Indonesia sebagai satunya bahasa rakyat Indonesia kini mulai dianak tirikan begitu saja. Kondisi ini seharusnya diperhatikan oleh para pemangku literasi yakni guru, pemerintah, sastrawan, wartawan, akademisi dan orang-orang yang bisa memperhatikan perkembangan dan dinamika bahasa Indonesia terus mengalir seperti sungai yang tidak pernah berhenti membasahi jantung rakyat Indonesia.
Sejarah telah mencatat bahwa serangan bangsa barat terhadap umat Islam berawal dari dunia persnya[2]. Bangsa Barat seringkali mendistorsi agama Islam sebagai agama yang keras, radikal, konservatif, suka poligami, dan anggapan lainnya. Dulu, bangsa barat barangkali hanya melakukan gerakan distorsi itu melalui media cetak seperti koran, selebaran, majalah. Namun, hari ini, tantangannya berbeda : kita menghadapi tantangan yang menegangkan melalui dunia digital. Bangsa barat selalu menyebarkan propaganda agar agama Islam dinilai jelek di mata masyarakat dunia. Hal tersebut tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja seumpama air keruh yang mengalir ke muara. Tanpa disaring, mudah menyebar ke seluruh samudra pengetahuan manusia. Apalagi sampai menjadi “gelombang bencana” dan “kejahatan intelektual” bagi hak asasi manusia.
Budaya Cyber dalam praktik jurnalisme dan pers adalah hal yang harus dijaga kesuciannya dan kesakralannya agar tidak menimbulkan efek negativ kepada masyarakat yang setia membacanya. Hoak adalah salah satu berita yang bisa mengancam terhadap psikologi seorang pembaca apalagi membuat stereotype kepada tokoh atau bahkan organisasi tertentu semisal agama Islam. Karenanya, dunia literasi digital harus dikawal—apalagi jika peserta didik diberikan bekal di dunia sekolah—harus menjadi garda terdepan dalam membentengi gerakan sporadis dari para “pengadu domba” dan fitnah.
Ini menjadi penting di tengah situasi media yang “genting” karena cara-cara yang digunakan oleh seorang jurnalis menjadi jurus ampuh dalam meneror pemikiran seorang pembaca jika digunakan dengan tidak sebagaimana mustinya. Maka, peserta didik hendaknya diajak untuk kritis dalam menyerap literasi dan informasi—meskipun bahasa propaganda yang dilakukan menggunakan bahasa Indonesia. Sikap kritis menjadi bekal awal bagi peserta didik untuk menjaga bangsa dan negara yang multikultal dari berbagai konflik yang ditimbulkan melalui literasi dan pers yang salah satu sarana dalam menyampaikannya menggunakan bahasa Indonesia. Mungkinkah nasib bahasa Indonesia yang didengungkan sebagai bahasa kesatuan hanya akan menjadi pemecah persatuan bangsa ini?
Inilah salah satu kondisi paling mengerikan negeri ini. Ketika nasionalisme tiba-tiba saja memudar dalam sanubari rakyat, pemuda, apalagi pemerintah. Dari hal-hal yang dianggap remeh seperti masa depan bahasa Indonesia yang diabaikan hingga ke persoalan paling rumit negeri ini : perpecahan. Padahal, pemuda pada masa lalu sudah bersumpah bahwa bahasa satu adalah bahasa Indonesia. Masihkah detak hati kita terpanggil untuk merawat bahasa Indonesia di tengah zaman yang mulai binal dengan berbagai perkembangan teknologi dan informasi?
Oleh sebab itu, pemuda adalah generasi identitas paling urgen bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia. Pemuda harus dikembangkan dan dijaga dengan cara kreatif-inovatif untuk kemajuan peradaban. Masa depannya harus dirawat sejak masa bangku sekolah melalui pendidikan yang mumpuni agar memperoleh masa depan yang lebih cerah dan cemerlang. Karenanya, pemuda memiliki peran cukup siginifikan dalam mempengaruhi kamajuan bangsa Indonesia yang multikultural dengan beragam bahasa, budaya dan suku melalui nasionalisme yang tetap tertanam di jantung yang semerbak ke dalam kehidupan rakyat Indonesia.
[1] Capaian pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi bukan mencetak sastrawan. Melainkan, mencetak analis, apresiator. Lebih jelas, lihat, Hamidulloh Ibda, 2018, Mengapa Fakultas sastra miskin sastrawan –basabasi.co.html. diakses pada tanggal 17 Juni 2019.
[2] Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta : Gema Insani. Cet.II, 2000), hlm, 70.