Penulis: Ahmad Falahuji
Dalam menjalani kehidupan yang bersifat plural, ternyata memunculkan sebuah permasalahan, yaitu ketika orang Islam ingin melakukan hubungan dengan orang non-Islam. Apakah hal itu diperbolehkan atau tidak?
Mengenai permasalahan ini, ternyata menjalin hubungan yang dilakukan antara orang Islam dengan non-Islam hukumnya boleh-boleh saja, apabila tujuannya adalah bisa mendatangkan kemaslahatan. Hal itu tidak terkhusus dalam keadaan terdesak saja, melainkan boleh di setiap waktu. Pasalnya, hal demikian pernah dipraktikan oleh Rasulullah ketika menjalin hubungan dengan Kaum Khoza’ah yang statusnya sebagai Kaum Musyrik.
Akan tetapi dalam konteks pluralisme beragama (religious pluralism) tidaklah dibenarkan. Karena istilah yang memiliki pengertian bahwa setiap pemeluk agama tidak hanya dituntut mengakui keberadaan dan hak agama lain, melainkan terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Di mana di dalamnya melibatkan banyak paham, aliran, ideologi dan juga agama yang menjadi anutan. Yang nantinya akan memunculkan persoalan saling mengklaim bahwa dirinya benar.
Hal semacam itu sering diserukan oleh Kaum Liberal. Sebab dalam pemahaman mereka, kalau masing-masing penganut paham mengklaim bahwa dirinya benar dan yang lain salah. Pasti akan terjadi pemaksaan kebenaran yang dianutnya. Hal itu yang menyebabkan hilangnya pluralitas atau kebebasan.
Cara pandang Islam mengenai paham pluralisme agama ini jelas digolongkan sebagai paham syirik modern, karena menganggap semua agama benar. Padahal keyakinan akan kebenaran agama Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridloi oleh Allah SWT adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam.
Penjelasan Tentang Ayat Pluralisme
فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 29)
Mengenai tersebut, diduga terdapat indikasi tentang pemahaman pluralisme agama, dalam arti Allah bisa berkehendak semaunya, dengan menjadikan orang bisa beriman atau kafir, hal itu tidaklah dibenarkan. Sebab ayat itu bukanlah membicarakan pluralisme beragama, melainkan sebuah cara untuk menakut-nakuti atau mengancam seseorang.
Keadaan ini selaras dengan ayat berikut:
ۗاِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ
“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki.” (QS. Fussilat:40)
Sebagaimana juga yang dijelaskan dalam al-qur’an sebagaimana berikut:
وَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
“Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Surat Saba’: 24)
Ayat ini diklaim sebagai dugaan mengenai pluralisme agama. Padahal hal tersebut tidak di benarkan. Memang, secara dzahir diksi dalam ayat tersebut seolah memungkinkan kebenaran ada di pihak Muslim maupun non-Muslim. Begitupun dengan kesesatan yang dimungkinkan ada dipihak Muslim maupun non-Muslim.
Ayat di atas tidak adanya kemungkinan sebagai wujud pluralisme beragama. Karena jika dikaji secara disiplin ilmu balaghah, terdapat badi’ laff wa nasyr, di mana Allah SWT mengabarkan mengenai lafadz أَوْ dalam ayat tersebut bermakna وَ, maka arti dari ayat di atas adalah :
وإنا لعلى هدى، وإياكم في ضلال مبين
“Dan sungguh kami berada atas petunjuk, sedang kalian berada dalam kesesatan yang nyata.”
Ibnu Hajar menegaskan, tidak bolehnya pluralisme dalam agama dengan sebuah ungkapan:
وأن من لم يكفر من دان بغير الإسلام كالنصارى، أو شكَّ في تكفيرهم أو صحح مذهبهم فهو كافر، وإن أظهر مع ذلك الإسلام واعتقده
“Dan sungguh orang yang tidak mengkafirkan orang lain yang tidak beragama Islam, seperti Nasrani, atau ragu akan kekafiran, atau benarnya agama mereka, maka orang tersebut telah jatuh kafir meski mendzahirkan keislaman serta memiliki akidah Islam.”
Baca juga: Hukum Memakan Daging Kurban Sendiri
Tonton juga: PRASANGKA | Short Film Of Grup Taks 2 Duta Damai Santri Jawa Timur.
Menyikapi Pluralisme Beragama
Menyikapi Pluralisme Beragama