Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Damai Pedia · 25 Agu 2024 09:35 WIB ·

Menyemai “Gerakan Perdamaian” ala PMII


 Menyemai “Gerakan Perdamaian” ala PMII Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Berbagai konflik yang terjadi pada bangsa Indonesia adalah permasalahan akut yang sampai saat ini belum sepenuhnya biasa terselesaikan. Permasalahan ini akan semakin meruncing ketika merambat ke dalam ranah agama. Agama yang sejatinya kudus menjadi sesuatu yang selalu anarkis atau bahkan fanatik apabila pemeluknya tidak bisa menghargai perbedaan di dalamnya. Padahal, agama selalu mendengungkan perdamaian kepada umat manusia di seluruh dunia. Hanya saja, karena pemeluknya yang terlalu ektrem  sehingga agama menjadi pemicu konflik.

Oleh sebab itulah, kaum pergerakan PMII berusaha menjadi pelopor dalam merevitalisasi dan menjembatani berbagai patologi sosial—terutama perdamaian—yang menjadi sesuatu yang urgen untuk diperhatikan. Organisasi PMII menjadi wadah bagi mahasiswa untuk hidup damai bergandengan dan menghargai perbedaan. Untuk itulah, dalam menanggulangi berbagai problema tersebut, organisasi PMII mempunyai beberapa solusi yang tersimpan dalam makna filosofi dan kebiasaan yang terkandung dalam organisasi PMII.

Pertama, dari segi lambang, warna kuning menggambarkan bahwa orang-orang pergerakan ini melangkah dengan hati-hati. Hal ini mengindikasikan bahwa pergerakan PMII akan selalu mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Organisasi PMII ini tidak serta merta menjadi pemicu konflik yang ada di negeri ini. Sebab, organisasi ini menghargai setiap kebudayaan yang ada di masyarakat sehingga bisa membangun Indonesia dari pinggiran.

Sikap hati-hati (ihtiyath) ini juga memberikan sebuah solusi bahwa tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan demo. Akan tetapi, kaum pergerakan ini selalu mempunyai cara kreatif-inovatif seperti menyampaikan beberapa gagasannya dalam tulisan, mendiskusikan masalah yang terjadi, dan gerakan-gerakan sosial lainnya. Ijtihad perdamaian PMII berakar dari ajaran Al-Quran tentang konsep dakwah. Konsep dakwah itu dengan cara hikmah, mauidzah hasanah (peringatan kepada kebaikan bagi orang yang yang dianggap butuh dan tersesat di jalan kemurkaan), mujadalah (berdialog atau negoisasi) dengan pihak terkait. Maka, konsep dan ajaran perdamaian harus kita semai di negeri ini supaya tumbuh kesejahteraan yang menjulang menjelma keharmonisan di tengah perbedaan.

Kedua, empat bintang yang berada di sisi bawah merupakan empat sikap dalam Aswaja yaitu, ta’adul (adil), tasamuh (toleransi),  tawasut (tengah-tengah), tawazun (seimbang). Empat sikap ini  yang membentuk kaum pergerakan PMII menjadi orang yang bijak dalam menghadapi segala problematika. Sehingga pergerakan PMII ini tidak cenderung ke-kanan maupun ke-kiri. Pergerakan PMII akan selalu tahu dimana posisinya berada. Pergerakan PMII akan selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Ketiga,  lima bintang yang berada di sisi atas adalah Nabi Muhammad beserta empat bintang lainnya sebagai khulafaur Rasyidin yang melanjutkan kepemimpinannya. Dari lambang ini, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa pergerakan PMII memang berlandaskan kepada risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan khulafaur Rasyidin. Sehingga jika semua bintang tersebut digabung jumlahnya menjadi sembilan bintang (Wali songo). Kita tentu tidak akan bisa menafikan peran Wali Songo dalam islamisasi masyarakat pribumi di pulau jawa, khususnya.

Dakwah perdamaiannya Wali Songo kepada masyarakat bersifat persuasif, tidak memaksakan kehendak, bernegoisasi dengan budaya masyarakat setempat. Sebab itulah, di Indonesia, dalam sejarahnya, seluk-beluk pesantren muncul ketika Wali Songo melakukan dakwah menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah nusantara. Dalam ajakannya, Wali Songo beradaptasi demi menyiasati budaya masyarakat yang buruk menurut agama Islam dengan siasat perdamaian. Wali Songo berhasil mendekati secara hati-hati demi mengambil hati nurani masyarakat pribumi. Misalnya, ketika masyarakat ingin menyaksikan pementasan wayang Sunan Kalijaga, pengunjung diharuskan membaca kalimat syahadat sebagai karcis masuk. Ini menandakan bahwa Wali Songo tidak serta merta menghapus kebudayaan nenek moyang yang ada, tetapi Wali Songo menumbuhkan konsep akuturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan non Islam dengan jalan perdamaian.

Kemudian, kata sembahyang yang sering kita dengarkan merupakan hasil adopsi dari proses dakwah perdamaian dengan jalan negoisasi. Kata sembahyang lahir dari budaya Hindu-Buddha, ketika zaman dahulu masyarakat Jawa menyembah Hyang Widhi (sembah Hyang) sebagai sebutan tuhan terhadap agama mereka. Hal ini tidak ditiadakan oleh Wali Songo, tetapi dipertahankan sebagai warisan. Wali Songo tidak serta merta mengganti sebutan sembahyang menjadi shalat. Sebab itulah, dakwah Wali Songo terutama Sunan Kalijaga masyhur dengan dakwah yang moderat, mementingkan perdamaian antar golongan.

Keempat, dari segi panggilan sahabat yang biasa dipraktikan oleh pergerakan PMII menjadi sebuah simbol bahwa mereka selalu mempunyai rasa keakraban yang tinggi dan selalu memahami perbedaan setiap orang. Sikap humanis akan mencuat secara pasti dalam setiap kaum pergerakan PMII. Mereka akan selalu merasa senasib dan seperjuangan dalam membangun agama dan negara.

Sebagaimana jamak kita ketahui bersama, bahwa nilai dasar pergerakan PMII adalah sublimasi dari keislaman dan keindonesiaan. Dari hal ini bahwa PMII berusaha memadukan antara agama dan negara. Kaum pergerakan PMII akan selalu bisa menyeimbangkan antara logika dunia sehingga agama Islam yang ada di nusantara tidak hanya memikirkan akidah saja tetapi juga ikut andil dalam memikirkan dunia ; budaya, tradisi, sosial dan berbagai aspeknya lainnya. Kaum pergerakan PMII selalu memahami bagaimana Islam yang kontektual. Karenanya, PMII akan selalu melahirkan kader agamawan yang tidak hanya bisa shalat saja, tetapi juga bisa mentranformasikan nilai-nilai agama ke ranah sosial.

Tidak salah kemudian jika jargon yang digunakan oleh PMII adalah zikir, pikir, amal sholeh. Ketiga hal tersebut harus saling berbarengan dalam membentuk masyarakat yang bermartabat. Dzikir sebagai sebuah amalan yang menghubungkan diri kepada tuhan. Fikir adalah sebuah tindakan refleksi dari ilmu pengetahuan yang telah diperoleh sehingga melahirkan solusi yang diejawantahkan melalui amal sholeh dan tidak hanya melekat di mulut dan pikiran saja, tetapi kaum pergerakan PMII selalu bergerak ke arah yang dinamis dan progresif dalam menghadapi tantangan zaman yang menegangkan.

Artikel ini telah dibaca 13 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Santriwati Ponpes Darussalam Blokagung Banyuwangi Raih 3 Kejuaraan Lomba di Event Pamekasan Bilingual Course

6 November 2024 - 12:42 WIB

Meriahkan Harlah Pesantren dan Hari Santri 2024, Ponpes Darussalam Blokagung Banyuwangi Gemakan Sholawat Bareng Nyai Nur Laila

4 November 2024 - 21:53 WIB

Usung Tema Nyambhung Sokma, Haul Akbar Masyayikh Annuqayah Diikuti Ribuan Alumni dan Masyarakat

3 November 2024 - 17:39 WIB

Jelang Pilkada 2024, Ribuan Warga NU Doakan Keselamatan dan Kedamaian Sumenep

31 Oktober 2024 - 21:12 WIB

Wisuda Perdana Universitas Annuqayah Sumenep Madura Kukuhkan 760 Sarjana dan Magister

30 Oktober 2024 - 21:22 WIB

Majelis Kiai Muda Sumenep Madura Gelar Doa Bersama Untuk Kemenangan Khofifah-Emil di Pilgub 2024

29 Oktober 2024 - 19:21 WIB

Trending di Damai Pedia