Mengetahui kualitas sastra yang baik bagi mayoritas orang adalah subjektif. Karakter bahasa akan terbangun tergantung dari bahasa yang digunakan atau yang sering didengarkan oleh seseorang dalam sehari-hari. Ketika bahasa yang sering ia dengar memiliki kandungan bahasa yang tinggi, maka ia akan memiliki bahasa yang tinggi. Sedang ketika bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sederhana, maka kualitas naluri kebahasaannya juga rendah.
Contoh saja dalam merasakan keindahan bahasa al-Qur’an. Sudah menjadi konsensus ulama bahwa al-Qur’an merupakan bahasa terbaik. Tetapi bagi orang yang tidak pernah belajar bahasa Arab, ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ada bedanya dengan bahasa lain yang tidak ia pahami.
Pada dasarnya mengetahui kualitas sastra bisa didapatkan melalui naluri kebahasaan, di mana hal ini dapat diperoleh secara bertahap. Ketika seorang tersebut mau berusaha untuk selalu menambah kosa kata bahasa, baik melalui perantara yang ia ucapkan, didengar, dan yang ia baca memiliki unsur-unsur yang indah, maka naluri kebahasaan orang tersebut juga akan baik dan indah.
Naluri ini tidak hanya sebatas pada kebahasaan saja, suatu pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan memunculkan nalurinya sendiri. Sebagaimana naluri orang bersyair dapat tumbuh dengan menghapal syair-syair. Atau naluri dalam hukum-hukum Islam bisa didapatkan dengan sering membaca, melakukan penelitian, dan berfikir.
Sehingga untuk menentukan kualitas sastra yang baik, hanya bisa dilakukan oleh para kritikus sastra yang memang naluri tersebut telah menjadi malakah (sifat yang menancap kuat) dalam dirinya. Sedang orang-orang biasa hanya bisa mengetahui sebatas hal-hal indah menurut dirinya, tidak menurut keumuman atau tentang batasan-batasan yang telah dirumuskan oleh Para Ahli Sastra.
Keterangan di atas merupakan refleksi dari kesimpulan pendapat Ibnu Khaldun yang menegaskan bahwa naluri pembawaan bahasa yang baik dan indah, hanya bisa didapatkan melalui hafalan bahasa. Karena dengan menghafal, kosa kata yang dimiliki oleh orang tersebut akan banyak sehingga lebih mudah ketika meretorika bahasa.
فَمَلَكَةُ الْبَلَاغَةِ اَلْعَالِيَّةِ الطَّبَقَةِ فِيْ جِنْسِهَا اِنَّمَا تَحْصُلُ بِحِفْظِ الْعَالِى فِيْ طَبَقَتِهِ مِنَ الْكَلَامِ
“Naluri seseorang untuk dapat berbahasa yang indah dan memiliki kualitas yang tinggi, hanya dapat diperoleh dengan menghapal bahasa yang memiliki kualitas tinggi.”[1]
Dengan ini, jika seseorang ingin mengetahui bahwa kualitas sastra benar-benar bagus dan indah, bisa untuk mengikuti arahan yang telah disampaikan oleh Ibnu Khaldun, yaitu dengan menghafal kemudian memahami bahasa-bahasa yang memiliki kualitas yang indah. Karena dalam setiap penggunaan kata (sastra), baik itu prosa maupun syair akan memiliki karakter yang berbeda-beda dari setiap orang, dan hanya dapat diketahui keindahannya bagi mereka yang memiliki malakah sastra.
Pada intinya, jangan sampai menilai sastra atau karya seseorang itu buruk jika kita belum ahli dalam bidang tersebut.
baca juga: Pembagian Sastra Arab
tonton juga: DOKUMENTASI SEKOLAH KREATOR PEKAN LITERASI DIGITAL PESANTREN II | 21-22 OKTOBER 2022
[1] Abdurrohman bin Kholdun, Muqodimah Ibnu Khaldun, hlm. 469, (Beirut: DK Ilmiyyah, 2009)