Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Ruang Tokoh · 20 Jul 2024 12:52 WIB ·

Mengenang Sosok Syaikhona Kholil, Guru Para Ulama Besar Tanah Air


 Masjid peninggalan Syaikhona Kholil yang berada di Demangan, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Perbesar

Masjid peninggalan Syaikhona Kholil yang berada di Demangan, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.

Oleh: Ibnu Abbas

Di kalangan pondok pesantren tentu tidak asing dengan nama Syaikhona Muhammad Cholil bin Abdul Lathif. Sosok ulama kharismatik asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur ini dikenal memiliki peran besar dalam mencetak ulama-ulama besar tanah air. Di antaranya, Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

Sebagai panutan umat, sosok Syaikhona Kholil dicatat dalam Sejarah sebagai perestu bedirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama. Melalui perantara KH As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Syaikhonan Kholil mengirimkan tongkat dan kutipan Ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 untuk diberikan kepada Mbah Hasyim sebagai isyarah restu berdirinya NU.

Tak banyak diketahui publik, bahwa ternyata Syaikhona Kholil tidak hanya sebagai perestu berdirinya NU. Beliau juga memiliki andil besar dalam membangun peradaban dan mencetak generasi bangsa yang kelak menjadi ulama-ulama besar. Hal ini disampaikan salah seorang dzurriyah Syaikhona Kholil, RKH Muhammad Makki Nasir.

“Ini ada hal yang mengganjal. Kalau beliau hanya perestu saja, kenapa lengkap dengan isyarah berupa tongkat dan kutipan ayat Al-Qur’an,” ungkapnya dikutip dari YouTube NU Online, Kamis, 18 Juli 2024.

Setelah mengkaji sejarah dari berbagai sumber, ditemukan sejumlah fakta tentang kontribusi besar Syaikhona Kholil. Pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro, masyarakat Indonesia tengah memasuki era modern. Hal itu dapat dilihat dari perubahan sistem pemerintahan, dari monarki atau kerajaan ke bangsa-bangsa.

Bahkan pergerakan Pangeran Diponegoro kala itu sampai membuat Belanda menerapkan politik yang memisahkan antara kalangan keraton dan pesantren. Sebab, Pangeran Diponegoro adalah keluarga keraton yang juga santri dan ahli thariqah.

Peran pesantren dalam membangun peradaban dan mencerdaskan anak bangsa tidak bisa dinafikan. Sedari awal, pesantren tidak hanya mengajarkan nilai-nilai agama, tetapi juga nilai-nilai kebangsaan. Hal itu dapat dilihat dari materi Pelajaran yang diterapkan, salah satunya bahasa daerah.

“Pengaruh beliau [Pangeran Diponegoro] cukup kuat saat itu. Hanya dalam waktu 5 tahun mampu membangkrutkan Belanda. Bahkan Belanda tak ingin pasca perang, muncul orang-orang seperti Pangeran Diponegoro. Sehingga memisahkan keluarga keraton dan pesantren dengan membuat sekolah khusus kaum bangsawan,” tambahnya.

Dari sekolah-sekolah itu kemudian lahir kaum modernis dengan nilai-nilai dan pengetahuan agama yang sangat minim. Keberadaan sekolah buatan Belanda itu terus menjamur dan banyak melahirkan orang-orang yang modernis.

Atas dasar itu, Ketua PCNU Bangkalan itu mengungapkan, pada tahun 1895 terjadi pertemuan penting beberapa ulama besar kala itu. Di antaranya Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, Syeikh Nawawi Banten, dan Kiai Sholeh Darat serta beberapa tokoh lainnya. Pertemuan itu terjadi di Alas Roban, Jawa Tengah agar tak terdeteksi oleh Belanda.

”Ya tentu yang dibicarakan tentang keumatan, agama, situasi politik dan sebagainya. Saya yakin juga yang dibicarakan politik Timur Tengah,” ungkap Kiai Makki menceritakan.

Pertemuan itu kemudian menghasilkan kesepakatan ke daerah masing-masing untuk melanjutkan dakwah. Syaikhona Kholil kembali ke Bangkalan untuk mengkader dan mendidik para santri, Kiai Sholeh Darat mengkader dan mengajar para kaum bangsawan. Sedangkan Syeikh Nawawi Banten kembali ke Makkah.

”Namun 2 tahun dari pertemuan itu, Syeikh Nawawi Banten wafat, tepatnya pada tahun 1897. Berkat didikan Kiai Sholeh Darat, muncullah RA Kartini. Sosok penting di kalangan perempuan tanah air. Ia diketahui tak hanya mumpuni di bidang ilmu politik, tetapi juga dalam ilmu Al-Qur’an dan agamanya. RA Kartini kemudian membuat buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Ternyata ajaran Islam begitu hebat, rahmatan lil ’alamin betul,” paparnya.

RA Kartini juga meminta Kiai Sholeh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an dengan bahasa daerah agar mudah dipahami orang-orang pribumi. Dari situ kemudian terbangun pemikiran dan sikap dari kaum bangsawan yang berlandaskan kepada nilai-nilai Al-Qur’an. ”Begitu penting peran Kiai Sholeh Darat Semarang ini dalam membentuk karakter kaum bangsawan. Yang mana ketika itu komunitas modernis menjamur kuat,” ujanrya.

Adapun Syaikhona Kholil Bangkalan mengkader dan mendidik para santri agar makin terasah potensinya. Bahkan sejak awal, menurut Kiai Makki, Syaikhona Kholil telah mengajarkan cinta tanah air. Hal itu ditemukan dalam salah satu kitab karangan beliau yang ditulis tahun 1891 silam, sebelum pertemuan dengan para ulama di Alas Roban.

”Beliau menulis hubbul authan minal iman… alhadits. Ini ditemukan oleh tim turots. Ini adalah bukti bahwa ajaran mencintai tanah air sudah diajarkan di pesantren. Meskipun banyak yang memprotes bahwa itu tidak ada haditsnya,” ungkap Kiai Makki.

Lantas tim turots bersama Aswaja NU Center melakukan penelitian dengan merujuk kepada sejumlah dalil. Maka ditemukanlah hadits Shohih Bukhari, bahwa Rasulullah SAW pernah berdoa: Allahumma habbib ilainal-madinah, kahubbina makkata au asyaddah. (Berilah kami cinta kepada Kota Madinah, sebagaimana cinta kami kepada Makkah, bahkan lebih).

Sebagai panutan umat, Rasulullah SAW dalam tindakannya selalu didasari oleh keimanan. Karena Rasulullah adalah paling hebatnya orang-orang yang beriman. Oleh karenanya, cinta Rasulullah kepada Madinah juga dilandasi oleh keimanan. Itulah yang kemudian menjadi landasan tulisan Syaikhona Kholil tentang hubbul authan minal iman dalam karya kitabnya.

”Dan ajaran mencintai tanah air bagian dari keimanan ini diajarkan Syaikhona Kholil kepada para santri-santrinya. Dan ini digaungkan pula oleh Kiai Hasyim Asy’ari menjadi hubbul wathan minal iman. Ketika di era sebelum nation, masih di era kerajaan, tulisannya masih authan,” terangnya.

Dua ulama besar yang sepakat berbagi peran atas hasil musyawarah di Alas Roban itu kemudian masuk ke era kebangkitan nasional tahun 1900-an. Maka di situ mulai bermunculan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat sektoral. Di bidang pendidikan ada Budi Oetomo, di kalangan saudagar ada Sarekat Islam atau SI, dan sebagainya.

”Akan tetapi organisasi ini mudah dipecah belah oleh Belanda. Organisasi Islam besar kala itu bernama SI berhasil dipecah, menjadi SI merah, yang kemudian menjadi embrio lahirnya PKI, ada aliran transnasional yang melabrak amaliyah ulama-ulama pesantren kala itu,” ulasnya.

Sehingga tidak heran pada tahun 1912 sampai 1918 para santri di Surabaya, yang notabene adalah alumni Syaikhona Kholil tidak mau ketinggalan dalam pergerakan era kebangkitan nasional itu. Mereka kemudian mendirikan Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar dan Nahdlatuttujjar, yang juga bersifat sektoral. Tiga organisasi inilah yang kelak menjadi cikal-bakal berdirnya NU.

Diceritakan Kiai Makki, bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin, sebagai pelaku sejarah berdirinya NU pernah mengungkapkan satu fakta penting. Bahwa pada tahun 1920 para ulama berkumpul di Bangkalan. Mereka resah dengan situasi yang menyelimuti bangsa Indonesia ketika itu. Khususnya terkait keberlangsungan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah karena mendapatkan tekanan dari kanan dan kiri.

”Sehingga rasa kekhawatiran ini memuncak, tak ada solusi, kumpul di Bangkalan, minta dawuh arahan dari Syaikhona Kholil,” ungkap Kiai Makki menceritakan.

Syaikhona Kholil mengutip salah satu ayat dalam Qur’an Surah Ash-Shaff yang artinya: “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, sedangkan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir tidak menyukai,”

“Mendengar ayat yang dibacakan Syaikhona Kholil yang dipesankan kepada salah satu santrinya untuk disampaikan kepada ulama yang kumpul di rumahnya Ndoro Muntaha sekaligus keponakan, para ulama langsung puas,” jelasnya.

Kiai Makki lantas menjelaskan maksud daripada kutipan ayat tersebut. Bahwa penjajah dan kelompok lain yang berseberangan di Bumi Pertiwi ini menghendaki padamnya nulullah atau cahaya agama Islam. Bukan agama Islamnya. Maka tak ayal jika kemudian muncul banyak orang yang semangat beragamanya tinggi tetapi tidak ada rasa empati sama sekali.

”Orang beragama Islam hanya akan menjadi perusak, tidak akan bisa menciptakan rahmatan lil ’alamin. Sehingga tidak muncul kedamaian dan ketentraman,” tandasnya.

Dari fakta sejarah yang diungkap Kiai Makki ini kian melengkapi pengetahuan tentang sosok Syaikhona Kholil. Bahwa beliau bukan hanya sebatas perestu bedirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama, melainkan juga memiliki kontribusi besar di dalam membangun peradaban dan mencetak generasa bangsa yang kelak menjadi ulama-ulama besar.

Artikel ini telah dibaca 15 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ini Daftar 17 Pahlawan Indonesia asal Jawa Timur

29 Agustus 2024 - 23:06 WIB

Istimewa! Berikut Daftar 22 Ulama Nusantara yang Dimakamkan di Jannatul Ma’la

28 Agustus 2024 - 15:11 WIB

Biografi Syekh Mahfudz At-Tarmasi

28 Agustus 2024 - 14:32 WIB

Nasionalisme Syekh Nawawi Al-Bantani dan Pengabdiannya di Masjidil Haram

28 Agustus 2024 - 13:19 WIB

Mengenal Syekh Nawawi Al-Bantani, Ulama Indonesia yang Mendunia

27 Agustus 2024 - 20:13 WIB

Ini 12 Pahlawan Nasional dari Tokoh NU

25 Agustus 2024 - 09:51 WIB

Trending di Ruang Tokoh