Oleh: Tsabit Habibi
Tradisi kematian yang ada di pulau Madura sangat beragam. Dari proses pemakaman hingga penguburan jenazah ada beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya adalah ketupat digantung di rumah duka. Tradisi ketupat dikenalkan oleh Sunan Kaligaga, putera Wilwatikta, Adipati Tuban berhasil memadukan unsur dakwah dengan seni dan kebudayaan (akulturasi budaya), seperti pertunjukan wayang, gamelan, tembang, ukiran dan batik yang populer.
Ketupat berasal dari bahasa Jawa, yakni Ngaku Lepat, artinya mengakui dan memaafkan kesalahan orang yang sudah tiada. Secara filosofis, janur kuning pada ketupat berasal dari bahasa Arab, yakni Ja’a Nuurun. Artinya, telah datang cahaya kebahagian dan menghilangkan kesedihan atas ditinggalnya kerabat yang wafat. Warga Jawa memaknainya Jatining Nur (hati nurani). Sedangkan bentuk ketupat yang persegi empat makna dari kiblat papat (arah mata angin lima pancer). Anyamannya yang sulit dibentuk bermakna kesalahan manusia yang harus dimaafkan.
Dengan demikian, dakwah Raden Syahid menonjolkan kezuhudan, mengajak masyarakat merenungkan kembali atas musibah yang menimpa seseorang (kematian). Bahkan mengajarkan pada warga agar ikhlas, tawakal, berbaik sangka, intropeksi diri dan memaknai musibah dengan hati yang jernih.
Menanam bunga patah tulang, menabur bunga dan menyiram air di kuburan yang biasa dilakukan Nahdliyin merupakan ikhtiar agar keluarga yang masih hidup memberi manfaat pada ahli kubur, yakni meringankan siksa kubur. Seluruh makhluk hidup, termasuk bunga patah tulang yang hidup di musim kemarau panjang akan bertasbih di kuburan.
Di masa Rasulullah, nabi meletakkan pelepah pohon dan ranting di atas kuburan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas (Shahih Bukhari) bahwa Rasulullah mendengar rintihan 2 orang yang disiksa di kuburan karena tidak menutup aurat saat kencing dan mengadu domba. Akhirnya nabi mengambil pelepah pohon kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkan di atas kuburan.
Hal itu dilakukan untuk meringankan siksa kubur selama pelepah itu masih basah atau tidak mongering (Az-Zuhayli, 1989). Jika ditarik dalam konteks Indonesia, pohon kurma susah ditemukan. Oleh karenanya, umat muslim di Madura menggunakan bunga dan membawa air agar bunga yang ditabur itu tidak mudah kering. Ketika dahan itu kering, maka akan hilang unsur manfaatnya (As-Syarbini, 1996).
Muhammad bin Umar al-Jawi menyatakan, menabur bunga dan menyiram air dingin di kuburan tidak apa-apa. Karena Malaikat menyukai bau yang harum (Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, 2002). Sedangkan air yang disiramkan di kuburan pernah dilakukan nabi. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Rasulullah menyiramkan air dan meletakkan ranting pohon di atas kuburan anaknya yang bernama Ibrahim.