Oleh: Tsabit Habibi
Biografi
Hj. Fatmawati Soekarno (5 Februari 1923 – 14 Mei 1980) adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno.
Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada saat upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ibunda dari Presiden ke-5 Indonesia, Megawati Soekarnoputri ini lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923 dengan nama asli Fatimah. Ayah Fatmawati Hasan Din, adalah tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Keluarga Fatmawati, selain dihormati karena ketokohan ayahnya, juga disebut-sebut masih keturunan kerabat Kesultanan Indrapura yang mengungsi ke Bengkulu ketika kerajaan itu ditekan Belanda pada awal abad ke-19.
Pertemuan Fatmawati dan Sukarno
Sukarno bertemu Fatmawati pada di Bengkulu pada 1938. Ketika itu, Sukarno diasingkan oleh pemerintah Hindia-Belanda di Bengkulu setelah dipindahkan dari Enda, Flores.
Di Bengkulu, Sukarno berkawan dengan Hasan Din dan diminta untuk mengajar di sekolah Muhammadiyah di sana. Kala itu, Fatmawati baru berusia 15 tahun. Ia menjadi salah satu murid di sekolah Sukarno mengajar.
Sukarno menawari Fatmawati untuk melanjutkan sekolah bersama Ratna Juami, anak angkat Bung Karno, setelah lulus. Fatmawati kemudian ikut tinggal di rumah Sukarno dan keluarganya di Bengkulu.
Sebelum menikahi Fatmawati, Sukarno telah menikah dengan Inggit Garnasih lalu berpisah pada 1943. Setelah bercerai dengan Inggit, Sukarno kemudian menikahi Fatmawati.
Fatmawati menikah dengan Sukarno ketika Jepang mulai kewalahan menghadapi Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua. Peluang Indonesia untuk merdeka pun mulai terbuka.
Menjahit Sang Saka Merah Putih
Setahun setelah pernikahannya itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih juga boleh dikibarkan dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya diizinkan berkumandang. Ibu Fatmawati kemudian berfikir bahwa memerlukan bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan 56.
“Pada waktu itu tidak mudah untuk mendapatkan kain merah dan putih di luar,” tulis Chaerul Basri dalam artikelnya “Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi” yang dimuat di Harian Kompas, 16 Agustus 2001.
“Barang-Barang bekas impor, semuanya berada di tangan Jepang, dan kalau pun ada di luar, untuk mendapatkannya harus dengan berbisik-bisik,” tulisnya.
Berkat bantuan Shimizu, yang merupakan orang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia. Ibu Fatmawati akhirnya mendapatkan kain merah putih. Shimizu mengusahakannya lewat seorang pembesar Jepang, yang memimpin gudang di Pintu Air, di depan eks Bioskop Capitol. Bendera itulah yang berkibar di Pegangsaan Timur saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Ibu Fatmawati menghabiskan waktunya untuk menjahit bendera itu dalam kondisi fisiknya cukup rentan. Pasalnya, Ibu Fatmawati saat itu sedang hamil tua dan sudah waktunya untuk melahirkan putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra. Tak jarang ia menitikkan air mata kala menjahit bendera itu.
“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih, saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja, sebab Dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit.” kata Ibu Fatmawati dalam buku yang ditulis oleh Bondan Winarno.