Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Ruang Tokoh · 23 Mei 2024 22:51 WIB ·

Mengenal Corak Tasawuf Imam Al-Ghazali


 Mengenal Corak Tasawuf Imam Al-Ghazali Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Al-Ghazali bukan orang pertama yang disebut sufi. Ia juga bukan perintis dan peletak dasar ilmu tasawuf. Jauh sebelum Al-Ghazali menulis buku-buku tasawuf, beberapa abad sebelumnya sudah muncul beberapa ulama yang concern pada ilmu tasawuf. Pada abad kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufah, Bashrah, Madinah, Khurasan, dan Mesir. Di antara mereka adalah al-Hasan al-Bashri (w. 110 H./729 M.), Sufyan al-Tsauri (w. 135 H./754 M), Ibrahim ibn Adham (w. 161 H./778 M.), Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H./801 M.) dan Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H./803 M.). Pada periode ini tak banyak buku-buku tasawuf yang ditulis mereka. Baru pada abad ketiga Hijriyah mulai bermunculan sejumlah tokoh sufi yang menulis buku. Di antaranya adalah Haris al-Muhasibi (w. 243 H./857 M.) yang menulis buku al-Ri’ayah li Huquq Allah, Abu Sa’id al-Kharraz (w. 277 H.) dengan bukunya al-Thariq ila Allah aw Kitab al-Shidq, Dzun Nun al-Mishri dengan bukunya, al-Mujarrabat, dan Junaid al-Baghdadi dengan kitab Rasa’il­ al-Junaid.

Pada abad ketiga Hijriyah juga muncul sufi Abu Manshur al-Hallaj (224 H./857 M.-309 H./922) yang mengintroduksi konsep hulul. Ia sering mengeluarkan ungkapan-ungkapan spiritual tak lazim (syathahat). Ungkapannya yang berbunyi “ana al-Haqq” (aku adalah Tuhan) menimbulkan badai kontroversi di tengah masyarakat. Al-Hallaj tampaknya tak sendirian. Beberapa tahun sebelum al-Hallaj bicara tentang konsep Hulul, al-Junaid sudah bicara tentang konsep yang mirip, yaitu konsep Tauhid-Fana’-Uluhiyyah dan Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./875 M.) bicara tentang konsep Ittihad yang nanti di tangan Muhyiddin Ibn Arabi (560 H./1165 M.-638 H./1240 M) berkembang menjadi wihdatul wujud. Model tasawuf ini dikenal dengan tasawuf falsafi.

Sementara pada abad keempat makin banyak karya-karya tasawuf yang bermunculan. Abu Bakar ibn Abi Ishaq Al-Kalabadzi (w. 380 H.) menulis buku al-Ta’arruf li Madzhab Ahli al-Tasawuf, Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w. 378 H.) menulis buku al-Luma’, Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (lahir 376 H./986 M.) menulis buku al-Risalah al-Qusyairiyah. Namun, berbeda dengan abad ketiga Hijriyah yang mulai memunculkan tasawuf falsafi, maka abad keempat Hijriyah lebih banyak berfokus kepada tasawuf khuluqi-amali, yaitu tasawuf yang aksenstuasinya lebih pada tata cara dan mekanisme penyucian hati, asketisme, hidup sederhana, dan pembinaan moral. Sepanjang abad ini tak dijumpai tokoh sufi yang mengembangkan tasawuf falsafi al-Junaid, Abi Yazid al-Busthami, dan Abu Manshur al-Hallaj. Pemikiran tasawuf al-Junaid misalnya lebih banyak diungkap corak khuluqi-amaliketimbang corak falsafinya.

Abad kelima Hijriyah banyak diwarnai pemikiran tasawuf Abdul Qadir ibn Musa al-Jilani (470 H.-561 H.) dan Al-Ghazali. Al-Jilani memiliki karya seperti Sirr al-Asrar wa Mazhhar al-Anwar fima Yahtaju ilaihi al-Abrar, Futuh al-Ghaib, al-Fath al-Rabbani, Jala’ al-Khathir, dan lain-lain. Al-Jilani (di Indonesia lebih sering disebut al-Jailani) banyak merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits dan pengalaman spiritual individualnya. Ini misalnya terlihat dalam dua buah karyanya; Sirr al-Asrar dan  Futuh al-Ghaib. Ia jarang merujuk pada kitab-kitab karya ulama sufi sebelumnya. Kekuatannya terletak pada pengalaman batinnya.

Berbeda dengan al-Jilani, dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali merujuk kepada konsep tauhid Husain ibn Manshur al-Hallaj dan asketisme al-Muhasibi, misalnya. Dalam al-Munqid min al-Dhalal, Al-Ghazali mengakui bahwa para sufi berikut adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat dalam membetuk corak pemikiran dan pilihan hidup al-Ghazali. Mereka itu adalah, Abu Thalib al-Makki (w. 386 H./996 M.), Haris al-Muhasibi (w. 243 H./857 M.), Junaid al-Baghdadi (w. 298 H./854 M.), Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./875 M.), dan al-Shibli (w. 334 H./945 M.). Ia juga telah mengenal pernyataan-pernyataan sufi seperti Abu Sulaiman al-Darami (w.215 H./850 M.), al-Sir al-Saqathi (w. 253 H.), Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 185 H./801 M.) hingga Ibrahim ibn Adham (w. 162 H). Kitab Ihya’ Ulum al-Din yang dianggap sebagai masterpiece ini basah dengan kutipan-kutipan dari para tokoh sufi sebelum Al-Ghazali tersebut.

Merujuk kepada para tokoh sufi itu, Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din banyak mengeksplorasi maqamat dan ahwal seperti telah diletakkan fondasinya oleh para sufi sebelumnya. Ia berbicara tentang taubat, keutamaan riyadah, zuhud, tawakkal, dan ridha. Ibrahim Basyuni menyebut stasiun-stasiun spiritual tersebut bukan dengan maqamat melainkan mujahadat. Bagi al-Ghazali sekiranya seorang salik tak sanggup menjalani maqamat tersebut karena gangguan di luar, maka al-Ghazali menganjurkan yang bersangkutan untuk menjalani uzlah (mengisolasi diri secara sosial). Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia menjelaskan keuntungan dan manfaat hidup ‘uzlah. Dalam soal ahwal, al-Ghazali bicara tentang mahabbah, ma’rifah, bahkan penyatuan diri dengan Allah melalui pembahasan tauhid.

Bagi al-Ghazali, taubat adalah hal pertama yang harus dilalui oleh seorang salik(mabda’ thariq al-salikin, ra’su mal al-fa’izin, awwal iqdam al-muridin). Dengan perkataan lain, tak ada salik yang tak melalui maqam taubat ini. Inilah yang disebut sebagai fase takhalli, yaitu mengosongkan diri dari dosa-dosa baik kepada Allah maupun kepada sesama yang potensial mengotori hati seorang salik. Demikian susahnya masa-masa awal menjalani kehidupan sufi, maka seorang salik bisa menjalani maqam taubat dalam waktu lama. Selesai menjalani fase takhalli ini, maka salik segera memasuki fase tahalli,  yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang baik, bukan hanya berakhlak baik kepada manusia melainkan juga kepada Allah. Di sini salikharus menjalani maqam-maqam berikutnya seperti maqam zuhud, sabar, syukr, tawakkal, dan ridha untuk sampai pada fase tajalli, yaitu ma’rifatullah.[1]

Tentang sabar, Al-Ghazali berkata bahwa sabar adalah satu soko guru bagi para salik. Sabar tak hanya di dalam menjalankan ibadah kepada Allah, melainkan dalam menghadapi hinaan umat manusia. Ia berpendapat, sabar atas hinaan manusia adalah kesabaran yang paling tinggi (al-shabr ‘ala adza al-nas min a’la maratib al-shabr). Demikian luas dan tak terbatasnya penerapan sabar, Al-Ghazali mengutip pernyataan Nabi Isa. Ketika ditanya tentang sanksi hukum berupa gigi dibalas gigi, hidung dengan hidung, maka Nabi Isa berkata, “janganlah keburukan dibalas dengan keburukan; ketika pipi kananmu ditampar, maka berikanlah kiki pipimu”. Sufi, demikian Al-Ghazali, harus sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan ujian.

Sementara zuhud, Al-Ghazali berkata bahwa zuhud adalah meninggalkan perkara-perkara mubah yang dikehendaki hawa nafsu (tarku al-mubahat allati hiya hadhdh al-nafs). Bagi Al-Ghazali, orang yang hanya mencukupkan diri dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan tak disebut sebagai orang zuhud (zahid). Orang zuhud adalah mereka yang di hatinya tak terlintas keindahan dan kenikmatan harta dunia (‘alaiq al-dunya).

Untuk mengontrol diri agar tak mencintai kenikmatan dunia, Al-Ghazali pun memilih hidup miskin. Ketika keluar dari Baghdad sebagai rektor, Al-Ghazali meninggalkan harta kekayaannya kecuali yang dibutuhkan untuk kebutuhan pokok buat diri dan keluarganya”. Al-Ghazali pun mengutip celaan al-Muhasibi terhadap orang yang suka hidup mewah dan memuji orang yang hidup sederhana.

Al-Ghazali kemungkinan mengikuti pola hidup Ibrahim ibn Adham yang meninggalkan gemerlap harta dunia dan memilih hidup sederhana sebagai orang miskin. Dikisahkan dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, “seorang laki-laki datang menjumpai Ibrahim ibn Adham dengan membawa sepuluh ribu dirham. Ia menolak pemberian itu. Laki-laki tersebut keberatan dan bertanya kenapa pemberian itu ditolak.

Ibrahim berkata kepadanya, “apakah kamu menghendaki agar aku menghapus namaku dari deretan orang-orang fakir dengan pemberian sepuluh ribu dirham tersebut (aturidu an amhuwa ismi min diwan al-fuqara’ bi ‘asyrah alafi dirham)?” “Aku tak akan melakukan itu selamanya”, tandas Ibrahim ibn Adham. Mengutip Ibrahim ibn Adham, Al-Ghazali menegaskan bahwa hati manusia tertutup karena tiga hal; bahagia terhadap apa yang  dimiliki (al-farahu bi al-maujud), menderita terhadap apa yang hilang darinya (al-khuznu bi al-mafqud), dan senang terhadap pujian orang lain (al-surur bi al-madhi).

Menurut Al-Ghazali, orang kaya adalah orang yang memiliki sedikit angan-angan dan menerima semua pemberian (qillah tamannika wa ridhaka bima yakfika). Gemerlap kenikmatan dunia bisa menipu banyak orang. Kekayaan dunia, menurutnya, potensial menghambat perjumpaan seseorang dengan Tuhannya. Al-Ghazali kemudian mengutip sebuah hadits, “nabi paling akhir yang masuk surga adalah Sulaiman ibn Dawud tersebab kekuasaan yang digenggamnya, dan sahabatku yang paling akhir masuk surga adalah Abdurrahman ibn Auf karena kekayaannya”.

Dengan itu, di ujung usianya Al-Ghazali memilih hidup zuhud-sederhana di kampung halamannya, Thus. Ia terus memperbaiki hatinya agak tak tertipu dengan aksesorik simbolik yang dikenakan badannya. Dengan jeli Al-Ghazali menegaskan bahwa tak sedikit para sufi yang tak mendapat perlindungan dari Allah bisa tertipu dengan baju yang dikenakannya. Mereka menyangka bahwa dengan mengenakan baju, simbol-simbol dan aksesoris seperti yang dipakai para sufi, maka dengan sendirinya mereka akan menjadi sufi. Secara konsisten Al-Ghazali menjaga diri dari memakan makanan yang syubhat apalagi yang haram. Ia pun makan hanya seperlunya (bi qadr al-hajah).

Al-Ghazali pun menganjurkan agar manusia menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah (tawakkal). Sebagaimana Harits al-Muhasibi, Al-Ghazali mengembangkan metode muhasabah, yaitu senantiasi mencermati hati nurani dan keadaan psikologis diri sendiri agar tak lepas dari Allah lalu berpaling pada dunia. Ia mengutip al-Sir al-Saqathi, “tak akan bahagia orang yang zuhud selama ia masih sibuk tentang dirinya” (la yathibu ‘aisy al-zahid idza isytaghala ‘an nafsihi). Seluruh hidupnya hanya untuk Allah bukan yang lain.

Al-Ghazali mengutip perkataan Abu Sulaiman al-Darani, “Allah memiliki hamba yang tak takut pada neraka dan tak berharap pada surga, maka bagaimana ia bisa disibukkan oleh urusan dunia” (inna lillah ‘ibadan laysa yusyghiluhum ‘an Allah khauf al-nar wa la raja’ al-jannah fakayfa yusyghiluhum al-dunya ‘an Allah). Abu Sulaiman al-Darani juga berkata, “Barangsiapa yang hari ini sibuk dengan dirinya, maka besok ia akan sibuk dengan dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok ia akan sibuk dengan Tuhannya”.

Namun, untuk menutup kemungkinan keliru, Al-Ghazali berkata bahwa orang yang meninggalkan harta benda tak dengan sendirinya disebut zuhud (anna tarika al-dunya zahidan wa laysa kadzalika). Sebab, menurutnya, meninggalkan hal-hal duniawi dan menampakkan kehinaan mudah bagi orang yang suka dipuja dengan kezuhudan. Al-Ghazali membuat tiga indikator kezuhudan seseorang. Pertama, orang zuhud adalah yang tak senang dengan apa yang ada pada dirinya dan tak menyesal dengan apa yang telah tiada pada dirinya (an la yafraha bi mawjud wa la yahzana ‘ala mafqud).

Bahkan, menurutnya, yang bersangkutan menyesal dengan adanya harta benda dan bahagia dengan ketiadaannya. Inilah zuhud dalam soal harta benda (al-zuhd fi al-mal). Kedua, yang memuji dan yang mencaci memiliki kedudukan sama bagi orang zuhud. Inilah kezuhudan dalam soal kedudukan (al-zuhd fi al-jah). Ketiga, kesenangan dan kecintaan seseorang hanya kepada Allah. Dengan itu, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa indikator kezuhudan adalah tak bedanya antara fakir dan kaya, mulia dan hina, pujian dan cacian karena orang zuhud berada dalam cinta penuh kepada Tuhan.

Tak hanya merujuk kepada mereka, asketisme Al-Ghazali mengakar cukup jauh hingga ke Nabi Isa. Menurut al-Ghazali, hidup zuhud itu tak ada ujungnya. Tapi kezuhudan Nabi Isa adalah pencapaian paling puncak yang pernah dicapai manusia.

Dengan itu, tak keliru sekiranya para pengkaji tasawuf Islam menyimpulkan bahwa tasawuf Al-Ghazali bercorak khuluqi-amali. Ada juga yang berkata bahwa ada bagian-bagian dalam tasawuf Al-Ghazali seperti tercermin dalam Ihya’ Ulum al-Din yang mencerminkan corak tasawuf falsafi, di samping tentu saja terdapat bahasan yang bercorak khuluqi-amali. Walaupun harus diakui bahwa corak khuluqi-amali dalam tasawuf Al-Ghazali lebih kental ketimbang corak falsafinya. Beberapa pokok bahasan berikut dianggap sebagai doktrin pokok dan utama dari tasawuf Al-Ghazali.

Jika dilakukan penelaahan secara sistematis dan terstruktur terhadap kitab Ihya’ Ulum al-Din, maka akan ditemukan beberapa doktrin tasawuf pokok Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan ma’rifat. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep taubat, shabr, zuhud, tawakkal, dan ridha. Tak bisa seseorang mengaku bertauhid sekiranya seseorang masih menduakan Allah dengan yang lain; misalnya tak bertawakkal kepada Allah, tak rela terhadap keputusan Allah, tak sabar atas ujian yang diberikan Allah, tak bersykur atas nikmat yang diberikan Allah, tak menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Allah. Tak bisa seseorang mengaku takut kepada Allah, jika yang bersangkutan masih takut kepada selain Allah.

Referensi

[1] Drs. Edy Yusuf Nur, S.S., M.M., M.Si., M.B.A, Menggali Tasawuf yang Hakiki (Yogyakarta: Suka Press Cet I, 2014). Hal. 123

Artikel ini telah dibaca 34 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ini Daftar 17 Pahlawan Indonesia asal Jawa Timur

29 Agustus 2024 - 23:06 WIB

Istimewa! Berikut Daftar 22 Ulama Nusantara yang Dimakamkan di Jannatul Ma’la

28 Agustus 2024 - 15:11 WIB

Biografi Syekh Mahfudz At-Tarmasi

28 Agustus 2024 - 14:32 WIB

Nasionalisme Syekh Nawawi Al-Bantani dan Pengabdiannya di Masjidil Haram

28 Agustus 2024 - 13:19 WIB

Mengenal Syekh Nawawi Al-Bantani, Ulama Indonesia yang Mendunia

27 Agustus 2024 - 20:13 WIB

Ini 12 Pahlawan Nasional dari Tokoh NU

25 Agustus 2024 - 09:51 WIB

Trending di Ruang Tokoh