Siapakah para wali? jikalau dilihat dari linguistik Arab berarti kekariban dan kedekatan dan ada yang mengartikan sebagai kawan yang setia.
Definisi secara syariat wali dialah yang bertakwa, hal tersebut sesuai dengan ayat al-Quran Qs. Al-Anfal ayat 34. Sedangakan dalam syarah al-Jawharah bahwa wali orang yang mengenal Allah Swt. Serta mengenal sifat-sifatnya dengan menjalani ketaatannya meninggalkan maksiat serta berpaling dari keasyikan, keasyikan dan syahwat.
Sayyidana Abbas bertutur tentang wali, barang siapa yang memiliki tiga hal, maka ia berhak atas kewalian Allah: memmiliki sifat sabar yang berakar menghalau kekurangajaran orang bodoh dalam dirinya, sifat warak yang tulus kemudian dapat mencegah dari berbagai maksiat kepada Allah, serta akhlak baik yang berbuat kelakuan ramah kepada semua orang.
Tentu para wali memiliki karamah. Karamah ini hanya dimiliki oleh orang yang shaleh yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti Nabi SAW. Ada perkataan yang menarik dari Abu Yazid al-Bustami: kalau kalian melihat orang laki-laki diberi karamah hingga ia bisa duduk bersila di udara, janganlah kalian tertipu dengannya hingga kalian melihat bagaimana kalian mendapati orang itu dalam hal perintah dan larangan serta penjagaan batas-batas (hukum allah).
Yang paling menarik dalam buku ini menjelaskan tentang berbagai amaliyah yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Amalan tersebut diantaranya adalah Tabaruk, Tawasul, halaqah zikir, nazar, ziarah makan para wali dan maulid para wali.
Amalan selanjutnya adalah tabaruk, karena tabaruk merupakan doa untuk keberkahan. Dalam shahih muslim diriwayatkan bahwa Ummu Sulaim r.a., manakala Rasulullah SAW tidur di rumahnya, memeras keringat Rasulullah Saw. lalu bertanya kepada Ummu Sulaim r.a., Apakah yang kaulakukan, wahai Ummu Sulaim? Ummu Sulaim menjawab, Wahai Rasulullah, kami berharap keberkahannya untuk anak-anak kami. Rasulullah Saw. Bersabda Engkau benar” (hlm. 65).
Kemudian tawasul, karena tawasul ini penting dilakukan oleh seseorang guna untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan suatu amal atau suatu sebab. Yang perlu diketahui bahwa Imam Besar Abdul Halim Mahmud menuturkan dalam majalah Minbar al-Islam bahwa tawasul itu dibagi menjadi tiga bagian, pertama, tawassulu yang kebolehannya dan izinnya disepakati oleh ulama.
Tawasul ini terbagi menjadi dua macam, (1). Tawasul kepada Allah dengan amal sholeh, (2). Meminta tawasul dari hamba Allah sholeh hidup yang dapat diharapkan keberkannya untuk memanjatkan hajat seseorang kepada Allah atau meminta doakan. Kedua, tawasul yang pelarangannya disepakati oleh para ulama, yaitu dengan meminta tawasul kepada orang yang dijadikan wasilah degan adanya keyakinan keberpengaruhannya dalam permintaan dengan zatnya. Ketiga, tawasul yang diperselisihkan oleh para ulama, diantara mereka ada yang membolehkannya dan ada pula yang melarangnya dengan menggunakan dalil sebagi penguat.
Salah satu keunggulan “Serambi Para Wali” adalah cara penulis menyajikan pembahasan ini dengan gaya bahasa yang lugas dan mendalam. Dengan menggunakan narasi yang indah dan penuh semangat, penulis mampu menggambarkan pengalaman spiritual para wali tersebut dengan begitu mendalam sehingga pembaca merasa terlibat dalam perjalanan tersebut.
Dengan gaya narasi yang menawan, buku ini cocok untuk pembaca yang mencari banyak tau tentang amalan disekitar para wali. Muhammad Husni Ad-Da’qufi telah berhasil menghadirkan karya yang mencerahkan dan memotivasi, menjadikan “Di Serambi Para Wali” sebagai bacaan yang layak bagi siapa saja yang tertarik pada eksplorasi spiritual dalam kerangka Islam.
Judul: Di Serambi Para Wali
Penulis: Muhammad Husni ad-Daqufi
Penerbit: Qaf
Cetakan: 2021
Tebal: 158 halaman
ISBN: 978-623-6219-24-9
*Amrullah, lahir di Dusun Polalang Desa Gapura Barat Gapura Sumenep Madura, Guru di SMP NU Sumenep.