Oleh: Ahmad Fuad Akbar
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang telah mengakar kuat di bumi Nusantara. Selain menjadi pusat penyebaran ajaran Islam, pesantren juga memiliki catatan panjang sebagai agen perdamaian di Indonesia. Sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi, pesantren senantiasa berperan aktif dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara-cara yang damai.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, pesantren menjadi basis perlawanan melawan penjajah. Namun, perjuangan yang dilakukan tidak pernah melalui cara-cara kekerasan. Para kiai dan santri mengambil peran dengan berdakwah, mempersatukan rakyat, dan menyebarkan semangat perjuangan melalui jalur damai. Salah satu tokoh penting dalam perjuangan ini adalah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), yang mempelopori perjuangan kemerdekaan melalui diplomasi dan pendekatan kultural (Sumber: Abdurrahman Mas’ud, 2004).
Setelah Indonesia merdeka, pesantren terus berkontribusi dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk. Melalui pengajaran dan dakwah yang diajarkan, pesantren menjadi pusat penyebaran nilai-nilai Islam moderat yang menghargai keberagaman dan menghindari sikap intoleransi. Pada tahun 1970-an, ketika muncul gerakan-gerakan radikal, NU di bawah kepemimpinan KH. Achmad Siddiq menjadi kekuatan penyeimbang dalam menghadapi gerakan-gerakan tersebut (Sumber: Bruinessen, 1994).
Pada masa reformasi, peran pesantren sebagai agen perdamaian semakin terlihat jelas. Pada saat terjadi konflik horizontal di beberapa wilayah, seperti di Ambon dan Poso, pesantren menjadi pusat resolusi konflik. Para kiai dan pemuka pesantren berperan aktif dalam meredam ketegangan, mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan menyerukan perdamaian. Salah satu contoh nyata adalah peran pesantren Gontor Ponorogo yang mengirimkan tim untuk melakukan mediasi dan rekonsiliasi di Ambon (Sumber: Abdurrahman Wahid, 2001).
Tidak hanya itu, pesantren juga aktif membangun dialog dan kerja sama dengan komunitas agama lain. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa saling pengertian, menghindari prasangka, dan menciptakan kerukunan antarumat beragama. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara pesantren Tebuireng Jombang dengan komunitas Tionghoa setempat dalam mengembangkan pendidikan multikultural (Sumber: Syamsul Ma’arif, 2018).
Dalam catatan sejarahnya, pesantren juga berkontribusi dalam menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan mencegah faham-faham radikal serta intoleransi. Pesantren mengajarkan pemahaman Islam yang ramah, toleran, dan menghargai perbedaan. Para kiai dan ustadz mengajarkan nilai-nilai Islam yang menghargai keberagaman, saling menghormati, dan menghindari sikap kekerasan serta intoleransi.
Selain itu, pesantren juga mendidik generasi penerus yang cinta damai. Melalui kurikulum dan pengajaran di pesantren, para santri dididik untuk menjadi generasi yang menghindari kekerasan, menyelesaikan konflik dengan cara-cara damai, dan menghargai perbedaan. Mereka diajarkan untuk menjadi agen perdamaian di tengah masyarakat.
Dengan catatan panjang tersebut, pesantren telah membuktikan diri sebagai agen perdamaian yang efektif di Indonesia. Melalui pendidikan dan dakwah yang diajarkan, pesantren menjadi pusat penyebaran nilai-nilai Islam moderat dan mencegah faham-faham radikal serta intoleransi. Peran pesantren dalam menjaga perdamaian dan kerukunan di Indonesia patut diapresiasi dan terus didukung.
Sumber:
- Abdurrahman Mas’ud. (2004). Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.
- Bruinessen, M. V. (1994). NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS.
- Abdurrahman Wahid. (2001). Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
- Syamsul Ma’arif. (2018). Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
- Zamakhsyari Dhofier. (1982). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
- Azyumardi Azra. (1997). Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan. Jakarta: Paramadina.