Penulis: Ahmad Falahuji
Sebagai makhluk sosial, kita akan membutuhkan bantuan orang lain. Begitu juga dengan mereka, yang membutuhkan pertolongan dari kita. Maka, memberikan bantuan dan melakukan aksi tolong menolong menjadi sebuah aksi yang sangat penting dalam kehidupan sosial.
Secara keseluruhan, saling tolong menolong adalah prinsip etis dan moral yang membantu serta membangun masyarakat kepada suatu hal yang lebih baik dan lebih manusiawi. Tindakan kebaikan ini juga dapat memiliki efek domino yang meluas dan membantu menciptakan perubahan positif di dunia.
Di dalam perspektif al-qur’an, aksi tolong menolong merupakan suatu konsep yang tersirat di dalam surah al-hujarat ayat 13, tepat pada penggalan ‘lita’arofu.’
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13)
Maksud dari ‘lita’arofu’ sendiri merupakan kalimat yang menyerukan agar kita saling mengenal, sehingga dapat bahu-membahu dan saling membantu meskipun dengan orang-orang non-Muslim, jika hal tersebut dirasa memiliki kemaslahatan duniawi.
Akan tetapi ketika seseorang saling mengenal orang lain, mengenal suku-suku yang berbeda, berusaha saling bantu membantu, bahu membahu, bukan berarti kemudian setiap budaya harus ditukar dengan budaya lainnya.
Namun seharusnya, sebagai bangsa yang memiliki kultur budayanya sendiri, baik bangsa Indonesia ataupun bangsa manapun wajib menjaga dan mempertahankannya. Hal inilah yang kemudian memberikan kemaslahatan yang lebih dominan. Di mana dengan itu, kita akan mengetahui karakteristik dari setiap daerah, suku dan budaya. Keadaan ini sebagaimana yang diungkapan Imam asy-Syatibi dalam kitab monumentalnya Al-Iitisham:
لَا بُدَّ مِنَ الْمُحَافَظَةِ فِي الْعَوَائِدِ الْمُخْتَلِفَةِ عَلَى الْحُدُودِ الشَّرْعِيَّةِ، وَالْقَوَانِينِ الْجَارِيَةِ عَلَى مُقْتَضَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.وَأَيْضًا: فَقَدْ يَكُونُ الْتِزَام الزِّيِّ الواحد، أو الحالة الْوَاحِدَةِ، أَوِ الْعَادَةِ الْوَاحِدَةِ تَعَبًا ومشقَّة؛ لِاخْتِلَافِ الأَخلاق والأَزمنة والبقاع والأَحوال، والشريعة تأْبى التضييق والحرج في كل ما دَلَّ الشَّرْعُ عَلَى جَوَازِهِ، وَلَمْ يَكُنْ ثمَّ مُعَارِض.
“Wajib menjaga adat-adat yang berbeda dengan tetap berpegangan pada batasan-batasan syariat dan undang-undang yang berlaku, sesuai dengan al-qur’an dan as-sunah. Karena menetapkan hiasan, keadaan, atau kebiasaan dengan satu model merupakan hal yang sulit dan menyusahkan. Karena berbeda-bedanya karakter, masa, tempat, serta keadaan. Dan syariat menolak untuk mempersempit suatu hal yang diperbolehkan selama tidak ada larangan-larangan yang baru datang.”
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa dengan kita saling mengenal suku-suku yang berbeda, budaya yang heterogen, dan lain sebagainya, tidak kemudian segala aspek budaya, adat istiadat suatu bangsa, disamakan dengan bangsa yang lain. Karena hal tersebut justru hanya akan mempersempit makna lebih jauh dari ‘saling mengenal’, serta akan timbulnya aspek-aspek negatif di kemudian.
Baca juga: Hukum Salaman dengan Kyai yang Bukan Mahram
Tonton juga: PRASANGKA | Short Film Of Grup Taks 2 Duta Damai Santri Jawa Timur.
Mempertahankan Eksistensi Budaya dan Adat
Mempertahankan Eksistensi Budaya dan Adat