Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 15 Mei 2024 21:51 WIB ·

Membumikan Bahasa Ibu


 Membumikan Bahasa Ibu Perbesar

Oleh: Muhtadi ZL*

Sejarah sudah membuktikan, tidak ada yang namanya tidak mungkin di dunia ini, bilamana pribadi sudah berusaha segigih mungkin, apapun akan dipetik sesuai keinginannya. Belum lagi kita mengingat hidup yang penuh dramatisasi, siklus sosial, budaya dan agama selalu menjadi tameng yang harus dirobohkan agar tidak mudah menyerah pada keadaan. Begitu juga pengalaman musisi tua yang karya digandrungi oleh banyak kalangan, mulai anak muda, bapak-bapak. Keuletannya dalam melahirkan karya dari relitas sosial ke dalam musik seolah menjadi titipan Tuhan. Dalam catatan sejarah tidak ada musisi tua yang lagunya digandrungi semua kelas sosial. Benar! Dia adalah The Godfather of Broken Heart, julukan lain dari Didi Kempot.

Didi Supriyadi—nama asli dari Didi Kempot adalah lelaki polos kelahiran Solo, beliau berasal dari keluarga seniman. Geliyat kehidupannya banyak berkutat di dunia seni, lebih-lebih seni musik. Dengan keyakinan yang apik dia melakukan gerakan yang patut diapresiasi karena mayoritas lagu yang diciptakannya berbahasa Jawa (bahasa ibu). Ini seolah mengindikasikan bahwa Didi Kempot adalah pejuang bahasa daerah di saat bahasa gaul mulai menjadi bahasa persatuan kaula muda. Gerakan ini juga seolah mengajak kaum muda untuk tetap melesatarikan bahasa daerah dalam melakukan komunikasi dan interaksi sebagai tiang utama dalam mempertahankan bahasa daerah.

Didi Kempot dengan kelihaiannya menciptakan lagu berbahasa Jawa sebagai pengabdiannya memperjuangkan bahasa ibu. Karena—barangkali—dia merasa bahwa keberadaan bahasa daerah setelah masa Orde Baru mulai mengalami pengabrasian bahasa dari orang tua kepada anak. Ini bisa menjadi bukti, bahwa bahasa ibu memang harus tetap bersanding dengan bahasa perstuan. Karena jika tidak demikian, jangan heran bila Indonesia akan mengalami bentrokan antar suku tersebab berbedanya bahasa. Adanya bahasa persatuan bukan lantas membumikan bahasa ibu yang sudah lebih dulu menempati pikiran kita sejak kecil.

Kehadiran Didi Kempot dengan lagu Jawanya seolah menjadi taring bagi bahasa daerah untuk mendapatkan kursi di panggung kesenian Indonesia. Kesuksesan Didi Kempot dalam mempersuasifkan bahasa Jawa melalui musik memang layak mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh beberapa penulis inspiratif dalam buku ini, bahwa Didi Kempot layak mendapatkan sanjungan bahkan bila perlu menjadi pahlawan bahasa, mengingat perjuangan Didi Kempot dalam mempertahankan bahasa daerah tidak diragukan lagi. Didi Kempot bukan hanya sebagai sosok idola campursari namun juga sebagai sosok seniman nusantara yang amat kita banggakan. (hal.521)

Barangkali ketelatenannya dalam merawat bahasa ibu juga bisa diterapkan pada bahasa Madura yang secara perlahan terkikis oleh laju zaman. Bahasa Madura sudah mengalami modifikasi, yakni campuran Indonesia. Fenomena ini seakan-akan menggorok bahasa Madura dan mencederainya.  Lebih jauh, seorang santri yang sudah kesehariannya penuh dengan dialektika bahasa Madura, tidak bisa menggunakan bahasa Madura “halus”. Ini seolah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerhati bahasa daerah agar mengembangkan bahasa ibu tetap eksis walau tidak setenar bahasa persatuan.

Untuk melestarikan bahasa Madura dalam kehidupan sosial, gerakan yang diproklamirkan Didi Kempot bisa ditiru, yakni dengan cara membuat lagu berbahasa Madura. Dari ini seolah menjadi bukti kongret bahwa dengan adanya orang yang menyanyikan lagu berbahasa daerah bisa membuat kesadaran bagi kalangan mudah untuk tetap mengeksistensikan bahasa Madura “halus”, dari ini juga bisa menjadi bukti bahwa bahasa daerah menjadi ikon setiap suku. Akan tetapi tinggal bagaimana instrumen atau cara yang akan kita lakukan untuk mendapatkan hati agar diterima. Kesuksesan Didi Kempot dalam mempertahan bahasa daerah bisa diikuti oleh sastrawan dan budayawan Madura dalam  meperkenalkan bahasa daerah.. Apalagi sampai bisa menghipnotis semua penonton dari kalangan usia. (hal.260) ini bekal utama untuk melanjutkan tern positif mempertahankan bahasa ibu.

Dengan membaca buku Memoar Sobat Ambyar; The Godfather Of Broken Heart. Bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah, khususnya di bidang budaya dan seni. Dalam ranah ini seharusnya dan memang selayaknya mendapat perhatian penuh di saat bahasa daerah mulai terlupakan akibat bahasa gaul. Kehadiran buku ini juga sebagai bukti sejarah bahwa Didi Kempot telah mendedikasi sebuah peninggalan yang wajib dipertahankan lagi dilestarikan. Dengan demikian anak cucu kita kelak juga bisa menikmati bahasa daerah pula.  Wallahu A’lam.

Identitas Buku

Judul Buku   : Memoar Sobat Ambyar; The Godfather Of broken Heart

Penulis           : Eka Budianta Dkk.

Penerbit         : Dio Media

Tahun Terbit : I, Juli 2020

Tebal Buku   : 416 Halaman

ISBN               : 987-623-7880-17-2

 

Artikel ini telah dibaca 4 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Dekadensi Moral Santri Masa Kini

2 Juni 2024 - 09:54 WIB

Sayyidah Maryam: Jejak Kesucian dan Keteguhan Iman Sang Perawan Suci Ibunda Almasih

1 Juni 2024 - 21:16 WIB

Tafsir Tentang Hutang Piutang QS. Al-Baqarah 282

31 Mei 2024 - 23:18 WIB

Qurban dan Aqiqah: Antara Tuntutan Syariat dan Praktik Sosial

31 Mei 2024 - 18:54 WIB

Makna dan Hikmah Ibadah Haji dalam Islam: Refleksi dari Al-Baqarah/2:197 dan Ali ‘Imran/3:96-97

31 Mei 2024 - 18:49 WIB

Kecemasan di Era Digital: dari Fear of Missing Out sampai Cuberbullying

31 Mei 2024 - 18:06 WIB

Trending di Suara Santri