Penulis: Ahmad Falahuji
Mengenai sejauh mana ikatan yang bisa menghubungkan dua orang dalam ikatan persaudaraan, sebagian Ahli Tafsir mengemukakan pandangan lebih jauh yakni persaudaraan dapat terjalin hanya dengan keserasian, sebagaimana ungkapan Ibnu Tamjid dalam hasiyah Ibnu Tamzid.[1]
Perasaan sama atau serasi sering kali muncul dikarenakan tampilan fisik yang menawan atau akhlak yang mulia yang nampak dari diri seseorang. Di sisi lain, pada sebagian kasus memang benar-benar wujud kesamaan atau keserasian secara dhahir (tampak nyata).
Perasaan yang muncul dikarenakan dua hal tersebut menjadi lumrah bagi orang yang berwatak sehat. Namun terkadang perasaan sama atau serasi, muncul bukan karena dua hal tersebut. Akan tetapi hal itu muncul dari hal yang lebih dalam dan sulit dijangkau oleh pancaindra. Maka wajar saja jika pada akhirnya sering kita dengar istilah cinta itu buta. Yang mana istilah tersebut senada dengan sabda Nabi Saw. yakni :
حبك لشيء يعمي و يصم
“Cintamu pada sesuatu membuatmu buta dan tuli”
Lebih dalam tentang hal ini, Rasulullah SAW menjelaskan:
الأرواح جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف
“Ruh-ruh adalah kelompok-kelompok yang dikumpulkan, maka ruh yang saling mengenal akan saling menyayangi dan yang tidak mengenal akan saling bertikai.”
Sebagian ulama menerangkan mengenai hal ini dengan ungkapan beliau bahwa: “Sungguh Allah SWT menciptakan ruh-ruh lalu ruh-ruh tersebut berpencar mengelilingi ‘Arsy. Maka tatkala dua ruh yang berpencar tadi bertemu dan saling mengenal di sana (alam ruh), maka mereka akan berjumpa dan berdekatan di dunia.”[2]
Yang ingin dijelaskan di sini adalah sebuah faktor yang memang bukan ikhtiyar (wilayah pilihan) manusia, namun terkadang keserasian muncul tanpa penyebab yang dapat diterka pancaindra. Meski sebenarnya untuk memunculkan rasa kesamaan atau keserasian dengan seluruh makhluk, manusia bisa mengusahakannya. Yakni dengan menyadarkan diri bahwa semua hal yang wujud selain Allah SWT adalah sama, yaitu sebagai makhluk. Sebagaimana ungkapan KH. Maimoen Zuber dalam sambutan buku Fikih Kebangsaan 3:
“Membangun kerukunan di tengah perbedaan adalah dengan mencari titik temu kesamaan. Sudah takdir, Allah SWT menciptakan makhluknya dalam kemajemukan. Manusia memang berbeda-beda, tetapi dengan umat Islam kita sama-sama disatukan oleh iman. Dengan saudara kita yang bukan Muslim disatukan dengan satu bangsa dan tanah air. Seperti Nabi SAW mempersatukan warga Madinah yang berbeda-beda:
إنهم أمة واحدة من دون الناس
“Sungguh mereka bangsa yang satu, bukan dari komunitas lain.”
Dengan seluruh umat manusia di muka bumi, kita di satukan dengan kesamaan sebagai anak Adam AS dan makhluk Allah SWT.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam).” (QS. An-Nisa: 1)
Baca juga: Hukum Memakan Daging Kurban Sendiri
Tonton juga: PRASANGKA | Short Film Of Grup Taks 2 Duta Damai Santri Jawa Timur.
[1] Hasiyah ibnu tamjid. Dar Al-kutub Al-ilmiyah. Juz. 14. Hal. 175.
[2]Al-Ghazali. Ihya Ulum ad-Din. Dar al-Fikr. Juz. 2. Hal. 140.
Membangun Kerukunan di Tengah Perbedaan
Membangun Kerukunan di Tengah Perbedaan