Oleh: Abdul Warits
Menjadi seorang penulis tidak mudah sebagaimana yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Ada banyak tantangan dan proses yang sangat melelahkan dari pikiran, memeras gagasan dan bacaan-bacaan menjadi sarapan dan nutrisi yang harus ditelan oleh seorang penulis. Kebiasaan ini adalah mutlak dilakukan oleh seorang penulis.
Menjadi seorang penulis memang harus menjaga konsistensi. Konsistensi adalah kunci seorang penulis dalam merawat dan mempertahankan produktifitas dalam berkarya.
Meski tantangan ini sangat sulit dilakukan tetapi seseorang yang sudah terbiasa menulis akan selalu rindu untuk menulis gagasan dan inpirasi yang ada dalam dirinya.
Untuk menjaga konsistensi dalam menulis maka sangat disarankan seorang penulis harus membangun jiwa yang pantang menyerah, gigih dalam membaca, serta selalu melatihnya setiap hari agar benar benar menjadi seorang penulis yang candu.
Membangun jiwa adalah tantangan terbesar bagi seorang penulis dalam mengontrol ritme kepenulisannya setiap hari. Tanpa ada semangat dari dalam jiwa, mustahil seorang penuulis akan bisa konsisten dalam berproses dalam dunia kepenulisan.
Kalau melihat pada sejarah para penulis terkenal dan professional, ada banyak penulis yang lahir dari lingkungan yang tidak sempurna. Misalnya seperti Pramoedya Ananta Toer yang berhasil melahirkan karya-karya perjuangan dan pemberontakan dari dalam penjara.
Menulis menjadi salah satu jalan jihad Pramoedya Ananta Toer dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah atau menyampaikan aspirasi-aspirasi ketimpangan sosial yang sedang melanda.
Seorang penulis harus membangun tekad jiwa terlebih dahulu sebelum ada fasilitas yang dapat menunjang terhadap karir dirinya. Bisa dibayangkan bagaimana Pramoedya Ananta Toer pada zaman dahulu dengan tintanya bisa menggoncangkan rezim (kekuasaan) dari dalam penjara dengan hanya berbekal tinta dan kertas saja.
Makanya, kesemangatan dalam kondisi dan dimanapun kita berada memang harus menjadi kunci utama menjaga ritme kepenulisan dan melahirkan gagasan.
Membangun jiwa seorang penulis harus dimulai dengan kebiasaan menulis dalam kondisi dan dimanapun ia berada. Di kereta, Bus, Pesawat, mobil, warung kopi dan tempat tempat lainnya tidak menjadi penghalang bagi seorang penulis yang komitmen terhadap dunia kepenulisan.
Artinya, dalam diri seseorang harus terdoktrin jiwa kepenulisan terlebih dahulu. Sehingga dengan kekuatan doktrin tersebut menjadikan menulis sebagai sarana menyampaikan dakwah melalui literasi dari manapun dan kapanpun ia bisa melakukannya.
Setelah jiwa kepenulisan mulai terbangun dalam diri seseorang, maka raga menjadi kunci kedua agar kepenulisan senantiasa menjadi jalan yang abadi bagi dirinya. Membangun raga hendaknya seorang penulis tidak terpaku pada fasilitas apa yang digunakan dalam proses menulisnya.
Ada yang dilakukan dengan cara manual semisal menggunakan balpoin dan buku atau dengan cara yang sangat gampang melalui gadget, laptop, note book dan lainnya tergantung kebiasaan seorang penulis dalam menuliskan gagasan-gagasannya.