Oleh: Erik Setiawan-Duta Damai Santri Jatim
Kasus perundungan berujung kematian terjadi pada santri laki-laki di Pondok Pesantren Al Hanifiyyah, Kota Kediri, Jawa Timur. Korban BM (14) dipulangkan ke rumah dengan kondisi tewas dan sekujur tubuhnya penuh luka.
Polres Kota Kediri menetapkan 4 tersangka yang merupakan teman sesama santri dan juga kakak kelas korban yang sedang menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (MTS).
Perundungan atau bullying di pesantren sering kali dianggap sebagai bagian dari tradisi yang tidak dapat dihindari. Namun, kita harus mempertanyakan apakah ini benar-benar terjadi karena alasan tradisional ataukah karena masalah yang lebih dalam, seperti maskulinitas toksik yang masih merajalela dalam budaya kita.
Berdasarkan data pemantauan media yang dihimpun Yayasan Cahaya Guru menunjukkan 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan dengan total 134 pelaku, 339 korban, dan menelan 19 korban jiwa di tahun 2023. Dengan jenis kasus terbanyak, yakni kasus perundungan dan kekerasan seksual.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia, sering kali dipandang sebagai tempat yang harus menjaga nilai-nilai keislaman, keadilan, dan kedamaian. Namun, realitasnya, di balik tirai agama dan tradisi, terkadang terjadi praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Salah satu masalah utama yang terkait dengan perundungan di pesantren adalah adanya sikap superioritas yang didasarkan pada konsep maskulinitas yang salah. Para santri laki-laki dianggap harus keras, kuat, dan tidak menunjukkan kelemahan.
Mereka ditekan untuk menunjukkan dominasi atas yang lain sebagai bentuk validasi atas maskulinitas mereka. Hal ini sering kali berujung pada perilaku agresif dan intimidatif terhadap sesama santri yang dianggap “lemah”.
Namun, kita harus bertanya, apakah perundungan semata-mata karena maskulinitas toksik, atau apakah ada faktor lain yang turut berperan dalam memperkuat praktik ini? Tentu saja, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor-faktor budaya, sosial, dan ekonomi juga memengaruhi dinamika perundungan di pesantren.
Misalnya, lingkungan pesantren yang cenderung patriarkal juga memainkan peran dalam memperkuat pola-pola perilaku yang merugikan. Ketika para pengajar dan pengasuh di pesantren lebih condong untuk membenarkan perilaku-perilaku agresif sebagai bagian dari proses pembentukan karakter, hal ini dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perundungan.
Selain itu, kurangnya pemahaman tentang pentingnya empati, penghargaan terhadap perbedaan, dan cara-cara komunikasi yang sehat juga dapat menjadi faktor penyebab perundungan di pesantren. Ketika para pelaku perundungan tidak dilengkapi dengan keterampilan sosial yang memadai, mereka cenderung menggunakan kekerasan fisik atau verbal sebagai cara untuk menegakkan dominasi mereka.
Jadi, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas perundungan di pesantren? Pertama-tama, tanggung jawab ada pada seluruh komunitas pesantren, termasuk pengajar, pengasuh, dan sesama santri. Mereka harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua individu, tanpa memandang gender atau status sosial.
Selain itu, pemerintah juga memiliki peran penting dalam memberikan perhatian dan dukungan kepada pesantren untuk mengembangkan program-program anti-perundungan yang efektif. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan bagi para pengajar dan pengasuh tentang cara mengenali dan menangani kasus-kasus perundungan, serta dengan menyediakan sumber daya yang memadai untuk mendukung korban perundungan.
Terakhir, masyarakat juga harus turut berperan dalam mengubah mindset tentang maskulinitas dan perundungan. Kita harus mengganti konsep maskulinitas yang didasarkan pada kekerasan dan dominasi dengan konsep maskulinitas yang lebih inklusif dan empatik. Hanya dengan usaha bersama dari semua pihak, kita dapat mengatasi masalah perundungan di pesantren dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan harmonis bagi semua individu.