Oleh: Sururi Nurullah
Sunan Kali Jaga dan Sunan Bonang telah mengukir kisah briliannya dalam menyebarkan agama Isalam di bumi Nusantara ini— tepatnya daerah Jawa. Berbekal sebuah gerakan Islamisasi kebudayaan Jawa menjadikan sebuah keberhasilan luar biasa dalam memperbanyak kaum muslim.
Banyak masyarakat tergiur untuk mengikuti berbagai acara dua wali itu, tanpa terasa dirinya telah masuk Islam dengan cara perlahan, mepelajari serta memahami apa itu agama Islam.
Sebagaimana sejarah mencatat bahwa gerakannya yakni dimulai dari penampilan wayang, dimana berisikan tetang kisa-kisah kenabian serta kehidupan kebersamaan yang baik, sekaligus disisipi nilai-nilai keislaman. Gerakan tersebut tentunya dikarenakan adanya pembacaan awal tentang wayang yang begitu diminati oleh masyarakat sejak masa Majapahit, sekitar abad ke-14 atau 15 masehi.
Mayoritas masyarakat beragama hindu-buda menyelenggarakan budaya pertunjukan wayang dengan kisah Ramayana-nya. Maka dari hal itu kemudian dibaca oleh Sunan Kali Jaga dan Sunan Bonang, kebudayaan demikian bisa disisipi dengan nilai keislaman tanpa terasa langsung oleh masyarakat Jawa kala itu.
Nama Bonang sendiri menjadi penisbatan atau julukan atas suatu alat yang biasa di temukan dalam penampilan wayang sebangai pembawa suasana, juga menjadi bukti akan keberhasilan tersebut.
Bukan hanya itu saja sinden memang marak dipentaskan. Dalam berbagai acara kebuyaan pastinya sinden tidak alpa untuk menjaidi pemanis serta penghibur masyarakat dengan suara merdu dan cengkoknya yang khas. Tetapi keberadaan sinden kebanyakan berdampak pada pendekatan kebahagiaan nafsu belaka, sehingganya Sunan Bonang dan Sunan Kali Jaga membuat syi’iran dengan nada layaknya para sinden khas Jawa. Syi’iran tersebut berniali subuah tatakrama ke[pada sesama dan ketauhitan Islam.
Keberhasilannya dalam penyebaran agama Islam lewat kebudayaan, berbagai pertujukan wayang dan syi’ir-pun sampai saat ini masih dapat ditemukan, dilestarikan oleh segenap masyrakat Jawa. Khususnya yang marak sekali dalam hal syi’irnya.
Berbagai syi’ir sering kali di dendangkan dala berbagai jenis jendre lagu, layaknya hadroh, al-banjari, dangdut dan kosidah. Menjadikannya masyarakat awam terpincut untuk terus medengarkan sampai menyanyikannya disaat ini, dimana kentalnya makna syi’ir itu masih tidak berubah sedikitpun.
Namun, bisakah kita perpikir akan sebuah gerakan islamisasi kebuyaan para sunan tersebut telah finits (selesai) atau tidak? ini kemudian yang masih belum difikirkan oleh generasi zaman ini dari para ulama’, kiai, ustadz, dan tokoh masyarkat saat ini. Semua pada menikmati segala hal akan peninggalan suksesnya islamisasi budaya dari para wali songo. Seakan senua telah usai, dan tidak perlu adanya berbagai pengembangan atau pembaruan.
Bisakah melihat atau menyadari berbagai kebudayaan nusantara—khususnya Jawa— masih dalam belenggu ke-Hindu-Buda-an, dimana masih ada berbagai pandangan melenceng atau melanggar dari syari’at Islam. Layaknya Tayub yang terselenggara ketika acara perkawianan, seorang sinden menari diatas panggung berukuran 4×5 persegi, dengan lantunan tandhek-nya, memarik berbagai undangan pria untuk ikut menari bersama dan menyawer diatas panggung tersebut? Juga bagaimana dengan berbagai acara petik laut yang masih saja membuang berbagai jenis sesajen dan makanan ke laut? Bukankah dengan berbagai kebuadayaan itu telah melanggar syari’at Isalm teang adanaya larangan besentuhan bukan muhrim dan mengumbar aurat, serta membuang-buang makanan? Dan masih banyak lagi lainnya.
Mungkin disini harus dipahami secara bersama, akan usaha islamisasi kebudayaan para wali songo masih belum sepenuhnya selesai. Seperti telah diketahui agama dan budaya sebenarnya memiliki keterikatan sebagai pedoman bertindak dan petunjuk bagi kehidupan.
Sedangkan perbedaannya adalah agama yang mempunyai patokan atau aturan khusus yang lahir dari kitab suci dan utusannya (Nabi). Bukan seperti budanya, malah berdasarkan kebiasaan masyarakat saja. Maka disana baiknya memilah memilih kebudayaan dengan cara yakni, pertama, ketika kebudayaan telah sesuai dengan aturan atau niali-niali keislaman maka patut dilestarikan.
Kedua ketika budaya memiliki nilai yang salah, entah dari nilai dan tujuannya, maka patutnya di hilangkan. Sedangkan yang ketiga, ialah ketika budaya mempunayi nilai dan tujuan salah tapi masih dapat dimodifikasi atau dimasuki nilai keislaman, tentunya baik kita rawat dan lestarikan.
Ketiga cara tersebut telah digunakan oleh para wali songo, utamanya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Sebagaiman yang pertama dan ketiga telah begitu jelas terbahas diatas. Sedangkan yang ke dua mungkin tidak. Jadi bagi untuk yang kedua layaknya acap kali ditemukan diberbagai sejarah budanya Jawa, akan adanya tradisi keduri, lahir dengan tujuan untuk merayakan hasil panen sawah atau ladang.
Hal ini memang mempunyai nilai baik dalam penyelenggaraannya yaitu rasa syukur atas rahmat tuhan berupa hasil panen. Tapi, kesalahan besarnya adalah adanya tujuan menghambur-hamburkan makanan dan meminum tuak dan hibuaran-hiburan lainnya. Maka dari sanalah kemudian menimbulkan berbagai hal yang harus dihilangkan dalam kebudayaan masyarakat Jawa oleh para wali songo.
Lantas bukan langsung menghilangkan dalam artian tidak ada pengganti pada kebudayaan tersebut. Sebab sebuah budanya memang juga menjadi hal yang amat perlu dalam kehidupan masyakat ialah untuk menjadi pembeda dan cirikhas masyarakat tersebut.
Maka dari hal itu kemudian kebudayaan keduri itu, digantikan dengan acara selametan. Diamana acara selamettan tersebut berisikan berbagai kegiatan layaknya hataman atau saling bertukar makanan tau memberikan makanan pada orang miskin. Juga tidak luput darinya ada berbagai rarampatan (sesajen) khas diberbagai daerah Jawa.
Oleh karenanya kita perlu akan gerakan islamisasi budaya digalakkan saat ini, demi memberikan menguatkan nilai keislam di tanah Jawa. juga semata-mata untuk menjaga umat Islam tetap dalam jalan benar menurut syari’at dan nilai-nilai keislaman lainnya.
Seperti halnya Tayaub dan petik laut, sebagaimana bisa dimodifikasi atau disisip nilai keislaman, atau juga dengan menggantoikan kebudayaan baru yang lebih baik dan relevan bagi kaum muslim. Tentunya tanpa menghilangkan cirikhas kebudayaan masayarakat tersebut.
Baiknya gerakan awal dalam memodifikasi atau merubah kebuyaan masyrakat di masa kini, ialah masih sama dengan gerakan wali songo. Gerakan wali songo tentunya masih relevan di gunakan, yaitu dengan cara turun langsung kapada masyarakat dan membuat acara serupa dengan nilai berbeda, seperti Sunan Kali Jaga dan Suanan Bonang.
Bukan malah berkoar-koar menyalahkan berbagai kebuyaan masyarakat, dan bukan juga dengan memberi pemahaman terhadap masyarakat melalu tausiah. Kendati demikian masih banyak yang melakukannya. Namun hal itu hanya sia-sia saja.
Kebudayaan masyarakat dalah salah satu yang telah mengakar dalam otak mereka sehingganya, kadangkala tidak bisa alngsung dirubah hanya dalam sekejab. Apalagi dalam gerakan menyuarakan kesalahan kebudayaan mereka atau memberi pemahaman terhadap mereka.
Pandangan mereka dalam gerakan tersebut pastinya berasumsi bahwa mereka hanya ingin merusak, atau iri akan budanya mereka saja. Fatalnya bisa jadi meeka malah kian memvonis akan gerakan tersebut dengan gerakan sesat. Masyarakat pun kian berkeinginan untuk melawan dan membasmi orang-orang yang terlibat dalam gerakan itu.
Namun, jika dengan turun langsung dan membat acara sama seperti mereka, maka tanpa tersedar mereka—masyarakat—diberikan gambaran, pemahaman dan sekaligus pandangan akan kebudayaannya sendiri salah.
Disanalah kemudian timbul dengan rasa perbandingan dengan apa yang kita suguhkan tersebut adalah lebih baik dari pada yang biasanya. Ketika itu mereka muali membenah diri dan memperbaiki kebudayaan mereka, seperti acara kita atau dengan perubahan berbeda.
*Santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa