Oleh: Abdul Warits
Radikalisme dan kurikulum pesantren merupakan topik yang kompleks dan memerlukan analisis mendalam, terutama karena pesantren merupakan institusi pendidikan Islam yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan nilai dan karakter generasi muda Muslim di Indonesia.
Dalam konteks ini, kurikulum pesantren memainkan peran penting dalam menentukan jenis pemahaman agama yang diajarkan kepada para santri.
Jika kurikulum tersebut berbasis pada tafsiran yang ekstrem dan eksklusif, ada potensi munculnya radikalisme. Namun, jika kurikulumnya didasarkan pada ajaran Islam yang moderat, inklusif, dan rahmatan lil ‘alamin, pesantren justru dapat menjadi benteng melawan radikalisme.
Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan terkait radikalisme dan kurikulum pesantren:
1. Peran Kurikulum dalam Pembentukan Pemahaman Agama
Kurikulum pesantren menjadi fondasi dalam membentuk cara pandang santri terhadap agama. Ketika kurikulum hanya menekankan satu tafsiran yang sempit dan tidak membuka ruang dialog dengan pandangan lain, ini berisiko membentuk pemahaman eksklusif yang melihat perbedaan sebagai ancaman.
Sebaliknya, jika kurikulum didesain untuk mengajarkan Islam secara holistik, dengan penekanan pada toleransi, pluralisme, dan sikap moderat, pesantren dapat menjadi pusat pendidikan yang membentengi santri dari pengaruh radikalisme.
2. Pentingnya Pemahaman Sejarah Islam yang Kritis
Salah satu aspek penting dalam melawan radikalisme adalah pemahaman yang kritis dan historis tentang perkembangan Islam. Radikalisme sering kali muncul dari interpretasi literal dan sempit terhadap teks-teks agama, tanpa memahami konteks sejarah dan sosial.
Oleh karena itu, kurikulum pesantren harus mencakup pengajaran sejarah Islam yang lebih mendalam, dengan mengajarkan bagaimana Islam berkembang dalam berbagai budaya dan konteks, serta bagaimana perbedaan pandangan telah menjadi bagian dari sejarah panjang peradaban Islam.
3. Kombinasi Ilmu Agama dan Pengetahuan Umum
Pesantren yang hanya fokus pada ilmu agama tanpa membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern berisiko membatasi wawasan santri. Integrasi antara ilmu agama dan pengetahuan umum, termasuk tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan teknologi, akan membantu menciptakan generasi santri yang lebih terbuka terhadap dunia luar dan lebih siap menghadapi tantangan modern tanpa tergelincir ke dalam pandangan ekstrem.
4. Pengawasan dan Standardisasi Kurikulum
Pemerintah memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan dan standardisasi kurikulum pesantren, terutama untuk memastikan bahwa tidak ada materi yang berpotensi mendorong radikalisme atau kekerasan.
Namun, pendekatan ini harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak dianggap sebagai upaya intervensi berlebihan terhadap otonomi pendidikan Islam. Pengawasan harus dilakukan dengan melibatkan ulama, kiai, dan tokoh pesantren yang berpengaruh, sehingga tercipta kurikulum yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sekaligus selaras dengan nilai kebangsaan Indonesia.
5. Peningkatan Kualitas Guru dan Pengajar
Kualitas pengajar di pesantren sangat berpengaruh terhadap bagaimana kurikulum diajarkan dan diinterpretasikan. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi guru pesantren menjadi hal penting untuk memastikan bahwa mereka mampu mengajarkan ajaran Islam yang moderat dan kontekstual.
Pelatihan bagi guru dalam hal pendidikan toleransi, deradikalisasi, dan pendekatan moderat dalam pengajaran agama menjadi langkah penting dalam menangani potensi radikalisme di pesantren.
Secara keseluruhan, kurikulum pesantren memiliki potensi besar dalam mencegah atau malah menumbuhkan radikalisme, tergantung pada bagaimana materi agama diajarkan dan bagaimana santri diarahkan dalam memahami nilai-nilai agama dan kebangsaan.
Dengan penyesuaian kurikulum yang tepat, pesantren dapat terus berperan sebagai garda depan dalam membentuk generasi Muslim yang moderat, berwawasan luas, dan mampu hidup harmonis dalam masyarakat yang plural.