Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 29 Jul 2023 19:03 WIB ·

Kritik Terhadap Kualitas Pendidikan Indonesia


 Kritik Terhadap Kualitas Pendidikan Indonesia Perbesar

Oleh : Abdul Warits*

Dalam melangsungkan proses pendidikan di negara Indonesia, masyarakat banyak yang seringkali terobsesi oleh bungkus semata. Sehingga, tidak jarang kita temukan untuk mendapatkan gelar sarjana tanpa merasa berdosa mereka membeli gelar tersebut. Audrey Yu Jia Hiu, penulis buku ini, seorang warga Tionghoa yang tinggal di negara Indonesia merasakan beberapa kegelisahan terhadap paradigma masyarakat Indonesia yang “terobsesi bungkus lupa akan isi”. Ia memotretnya tidak hanya dari segi pandangan masyarakat tentang pendidikan, tetapi juga tentang kemanusiaan.

Buku ini ditulis dengan perasaan mendalam terhadap budaya dan lingkungan di Indonesia dalam beberapa perspektif. Salah satunya adalah tentang ironi pendidikan di masa kini. Menurut Audrey, pendidikan di Indonesia hanya berfungsi sebagai “alat pamer status”(atau alat pamer bingkai) bagi masing-masing individu. Padahal, seharusnya pendidikan berfungsi sebagai alat penggerak dan pendorong kemajuan bangsa sekaligus alat pemersatu. (hal. 10). Akibatnya, sedikit sekali orang yang mencintai ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri.

Maksud “bungkus” di dalam buku ini adalah karakteristik seseorang yang kelihatan dan mudah diobservasi, seperti penampilan, gerak-gerik, dan gaya bicara. Ketika masyarakat Indonesia sudah terobsesi dengan formalitas dalam segala bidang, maka kualitas akan terabaikan apalagi dunia pendidikan yang semakin hari jauh dari peradaban dan kebudayaan. Sementara itu, yang dimaksud dengan “isi” adalah  hal-hal yang mendasar dalam diri orang tersebut tetapi tidak mudah diobservasi, seperti pemikiran, idealisme, motivasi hidup, latar belakang, dan cara berpikir (hal. 17).

Kegelisahan Audrey semakin memuncak ketika ia ditertawakan di depan khalayak umum karena pertanyaan-pertanyaaan anehnya terhadap lingkungan sekitar ataupun mendapatkan perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya, sering diolo-olok dan lain sebagainya. Mereka hanya melihat bungkus luarku yaitu seorang anak kecil perempuan Tionghoa yang “berpikiran aneh”, akhirnya ia tumbuh di Indonesia bagaikan yatim piatu yang dibuang dan ditelantarkan (hal. 90). Mendengar celotehan ini, Barangkali hanya Gus Dur yang mengerti persoalaan warga Tionghoa saat ditelantarkan sehingga Gus Dur memasukkan agama Tionghoa dalam negara kesatuan Indonesia.

Salah satu perlakuan tidak adil lainnya yaitu ketika ia difitnah telah mengganggu rumah tangga orang lain saat mendatangi guru pribadinya. Padahal, ia selalu bersama dengan ibunya saat akan belajar kepada sang guru pribadi tersebut. Karenanya, ia selalu menjadikan buku sebagai satu-satunya harapan. “Merekalah yang setia menemaniku berbicara padaku, membuka segala rahasia dunia ini” (hal. 32). Baginya, buku adalah satu-satunya sahabat yang mampu mengerti dirinya. Sikap ini tentu harus diteladani oleh seluruh elemen yang terlibat dalam dunia pendidikan dengan menjadikan buku sebagai teman terbaik setiap waktu. Bahkan, seharusnya setiap tenaga pendidik di negeri ini harus mewajibkan siswanya untuk membaca sekalipun hanya sedetik saja.

Buku ini juga mengulas tentang perbandingan iklim pendidikan di Indonesia dengan Amerika Serikat. Salah satu yang disinggung adalah tentang “superioritas jurusan”. Di Amerika serikat tidak ada pandangan bahwa bahwa jurusan tertentu superior dibandingkan dengan jurusan lain karena budaya pendidikannya jauh lebih mementingkan “isi” dari pada “bungkus”. Sementara, iklim pendidikan yang diciptakan di Indonesia adalah kecenderungan masyarakat lebih menganggap jurusan agama lebih superior dari pada jurusan lainnnya sehingga kepentingan masyarakat cenderung dikorbankan demi image atau bungkus masing-masing orang atau kelompok (hal. 91). Akhirnya, tujuan pendidikan adalah supaya “terlihat pintar” bukan demi cinta akan ilmu pengetahuan itu sendiri dan juga bukan demi kebaikan ataupun kemajuan masyarakat.

 

Identitas Buku

Judul               : Terobsesi bungkus, Lupa Akan Isi
Penulis           : Audrey Yu Jia Hui
Penerbit         : Bentang Pustaka
Cetakan          : 2019
Tebal              : 183 halaman
ISBN               : 978-602-291-659-8

Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Dekadensi Moral Santri Masa Kini

2 Juni 2024 - 09:54 WIB

Sayyidah Maryam: Jejak Kesucian dan Keteguhan Iman Sang Perawan Suci Ibunda Almasih

1 Juni 2024 - 21:16 WIB

Tafsir Tentang Hutang Piutang QS. Al-Baqarah 282

31 Mei 2024 - 23:18 WIB

Qurban dan Aqiqah: Antara Tuntutan Syariat dan Praktik Sosial

31 Mei 2024 - 18:54 WIB

Makna dan Hikmah Ibadah Haji dalam Islam: Refleksi dari Al-Baqarah/2:197 dan Ali ‘Imran/3:96-97

31 Mei 2024 - 18:49 WIB

Kecemasan di Era Digital: dari Fear of Missing Out sampai Cuberbullying

31 Mei 2024 - 18:06 WIB

Trending di Suara Santri