Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 16 Nov 2022 07:00 WIB ·

Konsep Islam Nusantara dan Pendirian Negara


 Konsep Islam Nusantara dan Pendirian Negara Perbesar

Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika dan seterusnya, karena Islam dibangun di atas landasan yaitu al-Qur’an dan sunah (nas-nas syariat), serta memiliki acuan maqāṣīd al- syarīʻah (tujuan syariat). Maqāṣīd al-syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqrā ꞌ(penelitian).

Ulama zaman dahulu sudah banyak melakukan penelitian dengan menjadikan nash, ‘ilat, hikmah dan hukum syariat sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat, terdapat tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Akan tetapi dalam konteks di sini yang dikehendaki dengan maslahat adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yaitu hifẓal-dīn, hifẓal-ʻaql, hifẓal-nafs, hifẓal-māl, dan hifẓal-ʻirḍ.

Tonton juga: RESOLUSI JIHAD BELUM USAI || shoot movie duta damai santri jawa timur

Pembagian Maslahat Menurut Ulama Uṣūl Fiqh

Ulama Uṣūl Fiqh membagi maslahat menjadi tiga bagian:

Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya, seperti; kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiah.

Kedua, maslahat mulgāh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Ketiga, maslahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nas khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.

Penting Maqāṣīd al-syarīʻah

Perhatian kepada Maqāṣīd al-syarīʻah dianggap penting karena mencakup:

Pertama, dalam memahami nuṣūṣ al-syarīah (nas-nas syariat) dengan memperhatikan maqāṣīd al-syarīʻah dapat melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual, akan tetapi kontekstual.

Kedua, dapat diberlakukan untuk memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nas secara langsung. Artinya lahirnya dalil-dalil sekunder (selain dari al-Qur’an dan sunah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-qiyās, istiḥsān, sadd al-żarīʻah, ʻurf,dan maṣlaḥah mursalah seperti disinggung di atas.

Baca juga: Politik Berbasis Makarimul Akhlak

Penjelasan Dalil-dalil Sekunder

Al-qiyās sendiri memiliki makna memberlakukan hukum yang memiliki acuan nas untuk kasus yang tidak memiliki acuan nas, karena di dalamnya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.

Istiḥsān ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil atau ketentuan hukum umum, karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.

Sadd al-żarīʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan kepada mafsadah (kerusakan).

Urf adalah tradisi atau adat istiadat yang dijalani oleh manusia, baik personal maupun komunal.ʻ Urf (kebiasaan) seseorang atau masyarakat ini harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang shahih akan bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqāṣid) syariat.

Al-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsūt menjelaskan:

اَلثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ

Yang ditetapkan oleh ʻurf (adat istiadat) sama dengan yang ditetapkan oleh nash.

Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya, karena yang pertama (dalil nas) bersifat ilahiah sementara yang kedua (dalil ‘urf) bersifat insaniah. Berhubung Islam dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi, ia bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.

Prinsip Syariat al-Wasathiyyah

Selain nuṣūṣal-syarīʻah dan maqāṣīd al-syarīʻah, Islam juga memiliki mabādiꞌ al-syarīʻah (prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasathiyyah.

Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan40) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Wasathiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-wāqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti taslīm atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi tidak menutup mata dari realita yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.

Banyak kaidah Fikih yang mengacu pada prinsip wāqiʻiyyah, di antaranya:

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

“Kemudharatan harus dihilangkan.”

اِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اِتَّسَعَ ، وَاِذَا اِتَّسَعَ ضَاقَ

“Dalam Kondisi sempit terdapat kelapangan, dan dalam kondisi lapang terdapat kesempitan.”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Penolakan terhadap kemslahatan harus diprioritaskan daripada pemerolehan kemaslahatan.”

اَلنُّزُولُ اِلَى الْوَاقِعِ الدُّنْيَ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْمِثْلِ الْأَعْلَى

“Turun ke realitas yang lebih rendah ketika tidak mungkin mencapai idealisme yang lebih tinggi.”

دَارِهِمْ مَادُمْتَ فِيْ دَارِهِمْ، وَحَيِّهِمْ مَا دُمْتَ فِيْ حَيِّهِمْ

“Beradaptasilah dengan mereka selama kamu masih ada dikediaman mereka, dan hormatilah mereka selama kamu masih berada di kampung mereka”

Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah Fikih ibadat mengatakan:

لَا يَعْبُدُ اِلَّا بِمَا شَرَعَ

“Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya

Sebaliknya, kaidah fikih muamalat mengatakan:

اَلْمُعَامَلَاتُ طَالِقٌ حَتَّى يَعْلَمُ اَلْمَنْعُ

Muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.”

Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahli al-Sunnah di Negara ini dalam periode berikutnya.

Tujuan Mendirikan Negara

Tujuan didirikannya negara harus sejalan dengan tujuan syariat sesuai dengan kaidah-kaidah di atas yaitu terwujudnya keadilan, kemakmuran serta berketuhanan yang Maha Esa. Negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrawi ini, yang tercermin seperti di Indonesia, sejatinya sudah memenuhi tujuan syariat. Setidaknya menurut konsep al-Mawardi mengatakan:

اَلْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِى حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

“Kepemimpinan negara diletakkan sebagai kelanjutan (pengganti) tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia”.

Konsep Islam Nusantara dan Pendirian Negara
Konsep Islam Nusantara dan Pendirian Negara

Artikel ini telah dibaca 5 kali

Baca Lainnya

Telaah Isu Terorisme di Indonesia pada Era Orde Baru (1966-1998)

29 Agustus 2024 - 22:52 WIB

Telaah Isu Terorisme di Indonesia pada Era Pasca Kemerdekaan (1945-1965)

29 Agustus 2024 - 22:49 WIB

Bahaya Intoleransi dan Pentingnya Nilai nilai Kebhinekaan di Indonesia

29 Agustus 2024 - 22:45 WIB

Telaah Isu Terorisme di Indonesia: Dari Masa ke Masa

29 Agustus 2024 - 22:41 WIB

Kampanye Perdamaian: Memperkuat Fondasi NKRI

29 Agustus 2024 - 22:35 WIB

6 Nilai Utama Karakter Santri dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

12 Agustus 2024 - 23:03 WIB

Trending di Kontra Narasi