Santrikeren.id–Dunia saat ini tengah menghadapi tantangan kompleks terkait dengan fenomena Foreign Terrorist Fighters (FTF) yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
Begitulah kata Serdik Sespimti Polri, Kombes Pol Didik Novi Rahmanto dalam FGD dengan judul “Strategi Penanggulangan Deportan Terpapar Radikalisme-Terorisme Guna Mengoptimalkan Penegakan Hukum Dalam Rangka Terwujudnya Keamanan Dalam Negeri”.
“Kehadiran deportan yang terpapar radikalisme-terorisme, merupakan gambaran nyata dari kompleksitas keamanan dalam negeri di Indonesia,” kata Kombes Pol Didik Novi Rahmanto dalam FGD di Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (29/7/2024).
Kemudian dalam paparannya, ia pun mengutip laporan data dari Satgas FTF BNPT tahun 2024, yang mana diketahui bahwa dalam periode tahun 2019-2023 terdapat 36 FTF Indonesia yang dideportasi. Para deportan ini berasal dari beberapa negara seperti ; Afghanistan, Turki, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, dan Thailand.
Kemudian diketahui juga, terdapat ratusan deportan yang telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data, terdapat sebanyak 583 deportan terpapar paham radikalisme-terorisme yang tersebar di 21 wilayah di Indonesia.
Selain itu, terdapat juga fenomena Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dideportasi oleh negara lain karena terpapar radikalisme-terorisme. Berdasarkan pernyataan yang dikutip dari Sekretaris Utama BNPT Bangbang Surono dalam acara Pembekalan dan Pelepasan Calon PMI disampaikan, bahwa sampai pada tahun 2023 terdapat 94 PMI yang terdiri dari 53 laki-laki dan 41 perempuan yang dideportasi karena diduga terlibat terorisme.
Dari data yang dipaparkan ini, Kombes Pol Didik menilai bahwa masih ada tantangan besar dalam konteks penanggulangan radikalisme-terorisme di Indonesia. Di mana ideologi yang dipegang oleh para deportan kasus radikalisme dan terorisme tersebut disinyalir masih sangat kuat.
“Kondisi ini membuat pentingnya penegakan hukum yang optimal menjadi semakin mendesak dalam konteks penanggulangan terorisme, terutama terkait dengan deportan yang terpapar radikalisme-terorisme,” ujarnya.
Bagi Didik, deportan yang terpapar dalam ideologi ekstrem dapat menjadi sumber potensial bagi aksi kekerasan yang mengancam keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, upaya penegakan hukum yang cermat dan proaktif perlu dilakukan untuk mencegah dan menangani potensi ancaman yang timbul dari kelompok ini.
“Kondisi ini tentunya perlu disadari oleh Aparat Penegak Hukum, khususnya Densus 88 AT Polri sebagai satuan yang bertanggung jawab dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia,” tuturnya.
Dalam FGD tersebut, dibahas bagaimana strategi penanggulangan deportan yang telah terpapar paham radikalisme dan terorisme dalam rangka untuk mengoptimalkan penegakan hukum dalam rangka terwujudnya keamanan dalam negeri.
Beberapa hal di antaranya adalah ; kendala dan ancaman yang perlu diantisipasi dalam fenomena pemulangan deportan yang terpapar radikalisme-terorisme, indikator manajemen risiko atau ancaman terorisme terkait penilaian deportan, bentuk kerja sama antara Kementerian dan Lembaga terkait penanggulangan deportan yang terpapar radikalisme-terorisme.
Begitu juga pembahasan tentang upaya alternatif penanggulangan deportan dalam rangka mendukung efektivitas penegakkan hukum terhadap deportan dan menurunkan ancaman radikalisme-terorisme para deportan.
“Dengan merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka peneliti ingin mengadakan kegiatan Focus Group Discussion untuk menggali jawaban dari pertanyaan yang akan disampaikan terkait isu ini kepada stakeholder terkait,” paparnya.
Hadir dalam FGD tersebut di antaranya adalah ; Irjen Pol Eddy Hartono sebagai pembimbing. Kemudian, Kepala Sentra Handayani Romal Uli Jaya Sinaga, akademisi sekaligus Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Muhamad Syauqillah, pengamat terorisme Sholahuddin.
Lalu hadir juga Muhammad Makmun Rasyid dari BPET MUI dan jurnalis sekaligus pengamat terorisme Khoirul Anam.
Salah satu peserta FGD yakni Muhamad Syauqillah mengatakan bahwa salah satu tantangan tersendiri bagi penanganan deportan kasus radikalisme-terorisme adalah ketika terjadi rotasi pimpinan di tubuh institusi aparat penegak hukum.
“Bagaimana staf di lapangan berotasi, Atau kepemimpinan berganti, itu yang kemudian sering mengganggu penanganan deportan yang sedang berlangsung,” kata Syauqillah.
Dengan demikian, ia mengusulkan agar dibuat sebuah pedoman bersama bagaimana fokus penanganan deportan semacam ini bisa dilakukan secara linier tanpa terganggu dengan sistem rotasi di lembaga yang menanganinya.
Termasuk juga soal regulasi dengan human rights. Syauqillah menuturkan bahwa perlu didiskusikan dengan semua stakeholders yang berkecimpung dalam persoalan human rights, yakni tema-tema apa saja yang berkaitan dengan Deportan.
“Maka perlu disepakati pedoman bersama, sehingga staf yang ada akan user friendly dalam penanganan tersebut,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Khoirul Anam juga memberikan masukan tentang perspektif media. Ia menekankan pemahaman kepada media untuk tidak ikut menyumbang ketakutan di kalangan masyarakat dengan narasi kontraproduktif terkait dengan penanganan kasus radikalisme dan terorisme yang ditangani oleh aparat.
“Bagaimana media tidak memberikan narasi yang menakutkan. Di mana narasi yang dibentuk media terkait ini, sering kali dipengaruhi oleh komoditas politik, sehingga media yang diharapkan mencerdaskan masyarakat terkait isu terorisme, tetapi melenceng pada perannya,” papar Anam.
Oleh sebab itu, dalam menyikapi aspek publikasi dan media, Anam menyarankan agar manajemen kehumasan di setiap Kementerian dan Lembaga terkait harus bisa dibekali dengan kemampuan komunikasi media yang efektif.
“Maka selain kerja sama dengan media, yang paling penting adalah manajemen humas di Kementerian dan Lembaga terkait, karena mereka adalah sumber informasi utama,” tuturnya