Oleh : Abdul Warits*
Suatu waktu aku akan mengajakmu ke sini, Kirana. Ke pantai untuk bersantai menenangkan segala macam keruwetan dalam pikiran kita masing-masing. Aku tahu, kau pasti sibuk dengan pekerjaanmu di sana. Tetapi, tidak apa-apa, aku rela menunggumu di pantai ini. Kau pasti suka pada pantai yang akan kutawarkan padamu. Pantai yang mulai sejak dahulu memiliki banyak kenangan yang tak akan dilupakan dalam hidup kita.
Tahukah engkau, Kirana? Seringkali aku melamun di pantai ini. Bayangan matamu selalu jumpalitan di antara deru gelombang yang kulihat dari tepi pantai telah menghentikan separuh detak dalam jantungku. Bahkan, sampai kuhafal ketika kita menggali lubang di pasir putih lalu aku mengajakmu untuk menginjak jebakan yang telah aku buat. Kita tertawa bersama disaksikan ikan-ikan kecil yang berkeliaran di palung laut. Atau berkejar-kejaran sepanjang pantai yang membentang dari ujung timur hingga ujung barat.
Betapa indah sekali, Kirana. Kulihat rambutmu yang tergerai oleh angin yang nakal. Yang paling kuingat; ketika aku seringkali usil padamu. Aku pernah membuatmu marah bukan kepalang lantaran bola yang kumainkan tak bisa kau rebut. Jika sudah seperti itu, pasti wajahmu cemberut padaku. Kucubit saja hidungmu. Kau akan tersenyum lagi padaku dan justru kau mengejarku melewati pepohonan kelapa di pantaiku. Aku masih ingat itu.
Entah sekarang. Aku kesepian di pantai ini. Setiap hari aku hanya berteman dengan desir angin yang mengabarkan kepergianmu ke negeri sebrang. Betapa aku sangat kesepian di pantai ini. Sejak kita membubarkan masa-masa suka cita mengejar cerita hidup yang sesungguhnya. Aku tak tahu, sudah sampai mana cerita hidupmu saat ini. Barangkali, engkau sudah punya cerita baru dan skenario yang berbeda dalam menjalani lika-liku hidup ini. Aku hanya bisa berdo’a. Semoga engkau baik-baik saja disana dan masih ingat pada kenangan yang tertinggal di pantai ini.
Meskipun angin di pantai ini berdesir dengan penuh kemesraan pada daun-daun yang rindang. Aku tetap saja tidak tenang jika kau masih tidak datang ke pantai ini. Sudah lama, kumenunggu kedatanganmu dengan setia di pantai ini. Dari pagi menjelang petang aku menunggumu di sebuah dingklik bambu. Tak ada yang datang. Bahkan hingga matahari tenggelam dan burung-burung kembali ke sangkarnya.
***
Masdura, aku di sini baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan tentang keberadaanku. Aku sudah bahagia di sini meski tanpa cintamu yang begitu dalam padaku. Kau memang lelaki paling baik yang pernah kukenal selama ini. Begitu perhatian, penuh kasih sayang, dan bijaksana menghadapi persoalan. Tetapi, apalah daya, jalan yang kita tempuh memang diciptakan tuhan dengan arah yang berbeda. Barangkali, aku telah dikutuk gelombang karena meninggalkanmu sendirian di dusun Ghirsereng. Biarlah gelombang yang mengutuk hidupku, sepenuhnya kau musti juga harus menjaga laut agar ombak masih setia bersamamu sampai kapanpun.
“Dasar perempuan tidak tahu diri,“ucap mertuamu menuduhku.
***
Selepas isyak, aku kembali lagi ke pantai menemani kakek nyolo. Barangkali, kalau malam minggu ia akan datang ke pantai ini. Minggu adalah hari libur dalam kelender nasional, bukan?. Malam minggu adalah malam yang biasa digunakan sebagian orang untuk sekadar melepas lelah selama seminggu bekerja. Aku sangat yakin engkau akan datang ke pantai ini, Kirana. Keyakinanku mengalahkan debur ombak yang menghantam karang-karang. Lebih dari itu, aku tahu ketika dulu bercerita padaku; bahwa kau lebih suka menikmati laut ketika malam hari sembari melihat kerlap-kerlip lampu di seberang pulau.
“Tidakkah kau akan pulang ke kampung halaman liburan ini, Kirana? Dan masihkah kau ingat pada pantai bersejarah di desa kita?” tanyaku. Suatu ketika dalam pesan singkat yang kulayangkan dari handphoneku.
Tak ada jawaban. Dua hari bahkan berminggu-minggu aku menunggu jawaban darinya. Tapi hasilnya masih nihil. Ia tidak menjawab pesan yang telah kukirimkan. Mungkinkah ia lupa padaku? Ataukah ia sudah tidak ingin mengingatku lagi ? atau barangkali ia sedang bekerja dan sibuk disana. Ah, aku tak tahu juga apa yang telah ia lakukan disana.
“InsyaAllah, Surya. Aku akan pulang. Tunggu saja di tempat biasa kita menuai tawa.” jawaban yang kudapati dari layar handphoneku. Setelah sebulan lamanya aku menunggu jawaban darinya. Hampir saja aku putus asa menunggu jawaban darimu, Kirana.
“Kau minta apa, Surya? nanti kubawakan oleh-oleh untukmu,” tawaran yang meyakinkan.
“Tak usah repot-repot, Kirana. Cukup kau pulang saja. Aku sudah bahagia. Dan jangan lupa bawa hatimu untukku. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.” Jawabku polos.
Tak pernah kuduga kita akan berpisah di pantai ini dengan perpisahan yang tidak kita harapkan. Aku masih ingat janjimu untuk tetap mengenang peristiwa di pantai ini. Kau juga pernah berkata padaku bahwa jika pekerjaanmu sudah selesai kau akan pulang dan akan mengajakku kembali ke pantai ini. Barangkali, aku sangat merasa bahagia jika engkau kembali ke pantai ini, Kirana. Suatu saat, aku akan mengajakmu berlayar menyisiri pantai menggunakan perahu cadik milik kakekku. Kau pasti akan senang, Kirana.
***
Ternyata benar, kulihat dari tepi pantai engkau yang ayu sedang duduk di dingklik bambu. Namun, apa yang terjadi, kini kau telah berubah. Tidak seperti pesona Kirana dahulu yang kukenal. Wajahmu yang asri telah banyak dipolesi oleh berbagai macam produk kecantikan. Pastinya mahal. Penampilanmu sangat menor ala orang kota.” Inikah dirimu saat ini, Kirana?” pikirku dalam hati.
“Surya…” suara lantang terdengar. Ia melihatku dari jauh. Aku masih saja tertegun memandangnya sejak tadi. Dengan perasaan berat bercampur ragu aku langkahkan kaki menghampirinya ke dingklik bambu tersebut.
“Kau kemana saja setahun ini, Kirana ?” tanyaku biasa.
“Aku bekerja, Sur. “Jawabnya sembari memainkan handphone barunya.
“Bekerja dimana ?”tanyaku penasaran.
“Aku bekerja di negeri orang” jawabnya.
“Oh, iya aku lupa. Perkenalkan ini Radit. Tunanganku.” aku bersalaman dengannya.
“Deg” seketika hatiku bergetar mendengar perkataan Kirana. Aku tak percaya ia telah bertunangan secepat ini. Haruskah kukubur semua kenangan itu dalam debur ombak?. Kenanganku seperti pancaroba yang datang tak mengenal musim kemarau atau hujan. Sungguh memilukan, bukan?. Aku juga tak pernah menyangka peristiwa ini akan terjadi dan pada akhirnya aku akan mengalah dan merelakan hati yang sama-sama terikat kebersamaan rela menghempas angin sepoi-sepoi yang menenangkan hati menjelma badai di lautan ini.
Ah, aku memang tak beruntung. Sejenak, kutermenung di tempat itu.
“Sur, kok ngelamun. Lagi mikirin apa ? Tanya Kirana padaku.
“Tidak. Aku kesana dulu ya…. Kasihan kakek sendirian.” dengan cepat aku pergi dari dingklik bambu itu.
“Iya, nanti kalau sudah selesai kesini lagi ya ?” suaranya yang tak ingin kudengar lagi darinya. Kirana memintaku untuk menemuinya lagi.
“ Iya, insyaAllah “ jawabku.
Aku sedikit kuat menahan air mata luka di depanmu, Kirana. Bukan hanya itu, aku hanya tak menduga gadis polos yang kukenal dan kukagumi seperti dirimu telah berubah drastis sejak meninggalkanku satu tahun yang lalu. Aku hanya sempat berpikir :
“Benarkah seperti ini cara kita mengubah haluan hidup ?”