Oleh: Moh. Faiq
Keterlibatan Kiai dalam politik bukan merupakan sesuatu yang baru, melainkan fenomena yang terus terjadi dan terus berlangsung hingga saat ini. Keterlibatan mereka, tentunya berangkat dari niat mulia, yaitu ingin menjadikan politik sebagai media dakwah, dan perjuangan dalam mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Namun, dalam frame politik segala tindak tanduk Kiai seringkali dianggap tidak mencerminkan ajaran agama, hal ini didorong oleh fakta-fakta sosial politik Kiai yang timpang yang diperankan Kiai dalam politik. Maka dari itu, politik dapat mengangkat derajat Kiai sekaligus dapat meruntuhkan martabat dan harga diri Kiai. Bahkan tak jarang politik justru dapat mempengaruhi eksistensi lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kiai.
Persoalan keterlibatan kiai dalam berpolitik harus dilihat dalam perspektif relasi antara Islam dan politik sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, dan secara konseptual bersifat polyinterpretable. Bahwa pilihan kiai untuk ikut atau tidak terjun ke dunia politik tergantung kepada persoalan konsep tersebut.Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya kiai bersikap dalam politik praktis? Lepas dari perdebatan konseptual soal poliinterpretasi terhadap relasi antara Islam dan politik tadi, seharusnya kiai tetap mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar. Tentu dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Amar ma’ruf nahi munkar sebetulnya tugas yang paling utama seorang kiai dalam melakukan transformasi sosial. Di dalamnya menyangkut persoalan penegakan terhadap keadilan, penegakan hak-hak asasi manusia dan demokratisasi, serta perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan segala macam bentuk tirani dan kezaliman.
Di sinilah sebetulnya kiai harus bereperan. Jika konsep demikian ini dipahami, saya kira tidak ada lagi seorang “kiai” yang mau menjadi tangan panjang penguasa yang korup, yang disebut oleh al-Ghazali sebagai ulama su’ (ulama buruk).
Komitmen kiai terhadap persoalan kebangsaan harus ditegakkan sebagai bentuk ketundukan terhadap Tuhan. Nilai-nilai ini pulalah yang harus tegak di dalam setiap masyarakat sehingga jauh dari praktik-praktik KKN. Saya kira Gus Dur benar –secara teoretik– ketika menegaskan, “bahwa Islam menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi”. Dan itulah sesungguhnya yang diemban oleh Nabi dalam risalahnya. Apa pun namanya yang dipraktikan Nabi dalam memimpin umat di Madinah sebetulnya tidak lepas dari urusan penegakan moral tersebut (Innama buistu liutammima husn al-akhlaq).
Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan relasi antara kiai, masyarakat dan penguasa? Dalam hal relasi antara masyarakat, kiai dan penguasa, persoalannya sebetulnya ada pada “kerjasama antara kiai dan penguasa (ulama’ dan umara’). Jika kerjasama yang dilakukan adalah menyangkut persoalan sosial-kemasyarakatan (keumatan) –bukan kolusi dan legitimasi terhadap kemunkaran yang dilakukan penguasa– saya kira justru yang dibutuhkan sekarang ini. Itulah perlunya “reposisi ulama”.
Kiai harus memposisikan diri sebagai kontrol kekuasaan, penyeiimbang hegemoni penguasa, dan penegak moral sebagaimana posisi setiap utusan Allah itu, bukan sebaliknya, menjadi broker politik. Jika kesadaran ini terwujud dalam setiap elit agama (kiai), maka kemungkinan untuk mengembalikan citra politik kiai yang selama ini minor akan segera sirna.