Oleh : Abdul Warits*
Ketika itu, Sabtu, 15 Juli 2017, Madura sedang berduka atas kehilangan dua sosok kiai yang sangat disegani oleh masyarakat yaitu KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad, Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Latee Guluk-Guluk, Sumenep dan KH. Mannan Fadhaly, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Qulub Polagan, Galis, Pamekasan. Kedua tokoh ulama tersebut adalah pimpinan tertinggi di PCNU Sumenep dan PCNU Pamekasan.
Peristiwa duka ini sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu. Namun, beribu kenangan mengesankan masih melekat pada detak jantung orang-orang yang pernah menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan beliau-beliau dalam membina masyarakat, organisasi, dan mendidik santri setiap harinya di pesantren. Karenanya, kiai di Madura akan senantiasa menjadi “teks yang hidup” dalam kenangan orang-orang terdekatnya; kerabat, santri, alumni, dan masyarakat yang pernah bersinggungan dengannya selama hidup bersama di dunia. Sehingga, mengalirlah cerita tentang karomah dan barokah kiai meskipun beliau telah tiada.
Masyarakat Madura selalu meyakini bahwa orang yang harus dimuliakan setelah kedua orang tua adalah guru (buppa-bappu’,guru, ratoh). Meskipun masyarakat Madura mayoritas adalah masyarakat awam tetapi mereka selalu paham siapa yang harus diutamakan. Memuliakan kiai lebih dari segalanya, sebab kemurkaan kiai diyakini akan membawa petaka dalam hidupnya.
Tidak heran kemudian, jika masyarakat Madura sebenarnya telah mengamalkan Irsyadu Ustadz (petunjuk guru) dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini terjadi, misalnya, ketika mereka mempunyai mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan, memberikan nama kepada anak, merantau, mencari pekerjaan, melanjutkan kuliah, sampai kepada problema paling rumit semisal masalah pribadi dan keluarga, masyarakat hingga bangsa, mereka seringkali sowan ke kiai untuk meminta pertimbangan dalam memutuskannya. Mereka meyakini keputusan kiai sebagai solusi terkahir yang diyakini keberkahaannya dalam hidup mereka. Bahkan, ketika kiai telah tiada pun, masyarakat Madura rela untuk menyambung ikatan batin dengan mengunjungi makamnya.
Oleh sebab itu, kiai adalah pemimpin informal yang tidak membutuhkan kepada Surat keputusan (SK). Beliau dipercaya oleh masyarakat dan mendapat pengakuan sebagai kiai lantaran beberapa kelebihan dan keilmuannya. Oleh sebab itu, tak salah jika dalam buku ini beberapa testimoni muncul dalam rekam jejak perjuangan kiai yang sangat berharga. Segala tentang kiai bagaikan mata air yang mengalir sepanjang kehidupan yang tak menentu hingga masyarakat Madura menemukan muara kehidupannya yang lebih baik. Kiai menjadi “paku bumi” dipulau Madura ini dengan segala kebijaksanaanya dalam menghadapi segala tantangan zaman.
Hal inilah yang menginpirasi beberapa penulis dalam buku ini untuk menuliskan perjuangan KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad dalam bentuk syarah menarik tentang kebiasaannya yang mulia, kewaliannya, akhlak yang mulia, dan beberapa nasehatnya. Buku ini adalah semacam ode sekaligus sebagai salah satu kerja paling kreatif untuk keabadian. Sebab, tak ada yang abadi selain tulisan itu sendiri. Beliau akan selalu hidup dalam hati masyarakat Madura, khususnya masyarakat Sumenep. Walaupun beberapa tulisan dalam buku ini sebagian ada yang berasal dari media online seperti face book atau website.
Kesaksian penulis di dalam buku ini kepada kiai yang pernah dikenalnya, kiai yang pernah memberikan pengaruh, perhatian, sumbangan pemikiran, dalam lika-liku hidupnya menjadi salah satu kekayaan tersendiri bagi masyarakat Madura. Seperti yang diungkapkan Ahmad Baso,“Mengurus NU sepanjang hayat tidak kenal lelah, mengawal umat dan menjaga pesantren, hingga akhir hayat beliau. Hingga beliau berkarakter sebagaimana layaknya orang Madura asli; pekerja keras, pejuang, dan penulis berbakat”.
Kalau kita menilik lebih jauh, kebiasaan kiai adalah representasi dari kitab klasik karya para ulama. Jangan heran jika beliau tidak hanya mengajarkan kitab klasik lewat kata tetapi lebih dari pada itu beliau juga memberikan contoh konklit dari apa yang sudah diajarkan kepada santi dan masyarakatnya. Dalam buku ini, K.M. Musthafa secara cermat memberikan testimoni bahwa kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad adalah ulama kharismatik dengan judul Al-Sari, Kiai Basyir, dan Tirakat mendisiplinkan jiwa yang menjelaskan secara jelas bahwa sikap kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad adalah representasi dari kitab Ihya’ ulumuddin. Lalu, masihkan kita mengabaikan orang yang menjadi “paku bumi” di Madura ini ? atau bisakah kita meniru beliau dalam menghidupkan ilmu-ilmu agama di tengah zaman globalisasi ini.
Judul : Mata Air Keteladanan Kiai Ahmad Basyir
Penulis : Prof. Dr. K.H. Abd. A’la M.Ag, Dkk.
Penerbit : Cantrik Pustaka
Terbitan : 2018
Tebal : 126 Halaman
ISBN : 978-602-6645-55-5