Oleh: Ahmad Mutawakkil
Dr. Idham Chalid, seorang intelektual dan pemimpin Muslim terkemuka Indonesia, meraih pengakuan internasional dengan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir pada 2 Maret 1957. Pada 8 November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberinya gelar Pahlawan Nasional.
KH. Dr. Idham Chalid dikenal sebagai figur sentral dalam tiga era: Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru. Karirnya mencakup berbagai jabatan, seperti anggota Dewan Daerah Banjar (1947), anggota Parlemen RIS (1949-1950), Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dan lebih banyak lagi.
Lahir di Setui, Kalimantan Selatan, pada 5 Muharram 1341 H/27 Agustus 1922, Idham Chalid menempuh pendidikan di Al-Madrasatur Rasyidiyah Amuntai dan Pondok Modern Gontor Ponorogo. Mulai mengajar di Gontor pada usia 18 tahun, ia kemudian menjadi Wakil Direktur Kulliyatul Muallimin al-Islamiyyah (KMI). Pendidikannya yang luas mencakup kursus Bahasa Jepang di Jakarta, memungkinkannya menjadi penerjemah dalam dialog antara ulama dan Jepang.
Peran utama Idham Chalid tergambar dalam perjuangan kemerdekaan. Sebagai Sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di Amuntai dan Ketua Partai Masyumi Amuntai, ia aktif dalam panggung politik nasional selain peran aktifnya di Nahdlatul Ulama.
Idham Chalid memegang rekor sebagai pemegang kursi kekuasaan politik terlama di Indonesia dan pemimpin NU terlama. Kecakapan logika luar biasanya juga menjadi keunggulannya.
Pengenalan Idham Chalid terhadap NU dimulai sejak tinggal di Setui pada usia di bawah 10 tahun. Beliau aktif dalam mengurus Sarikat Islam dan NU, dan memperluas wawasan tentang tokoh-tokoh NU selama belajar di Gontor.
Sebagai anggota DPR pada masa pemerintahan RIS (1949-1950), Idham Chalid menjadi ‘sekretaris pribadi’ KH. A. Wahid Hasyim dan kemudian diangkat sebagai Ketua PB Ma’arif NU. Dalam beberapa tahun, ia memimpin Gerakan Pemuda Ansor dan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi Ketua PBNU pada Muktamar ke-19 tahun 1952-1956.
Keputusannya untuk meninggalkan Masyumi dan beralih ke NU, serta peran aktifnya dalam menumpas gerakan PKI, menunjukkan keberpihakan Idham Chalid pada NU dan nilai-nilai yang dipegangnya.
Idham Chalid juga memainkan peran penting dalam mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Presiden Soekarno mengakui kontribusi besar NU dalam hal ini. Meninggal pada 11 Juli 2010, Idham Chalid tetap dikenang sebagai sosok penting dalam sejarah Indonesia.