Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 29 Jul 2023 14:35 WIB ·

Kesakralan Perempuan dalam Tatanan Sosial


 Kesakralan Perempuan dalam Tatanan Sosial Perbesar

Oleh : Abdul Warits*

Perempuan selalu menjadi perbincangan dalam setiap situasi dan kondisi, apalagi dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Stereotipe terhadap perempuan seakan menimbulkan distorsi yang kemudian melahirkan perspektif bahwa perempuan cenderung disalahkan dalam dunia sosial ketimbang kaum laki-laki. Maka, dalam novel yang diterjemahkan oleh Aminahyu putri ini, peran perempuan menjadi hal urgen yang harus diperhitungkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang seringkali menyimpan berbagai patologi sosial di dalamnya.

Sebenarnya buku ini adalah salah satu dari empat seri novel wanita penghuni surga lainnya, karya Sibel Eraslan, novelis perempuan asal Turki. Keempat wanita yang dituliskannya memang menyimpan teladan yang harus digugu dan ditiru oleh seorang perempuan. Keempat perempuan tersebut adalah Khadijah, Fatimah Az-zahra, Asiyah, dan Maryam. Mereka mempunyai cara tersendiri dalam menempuh surga yang ingin diraihnya. Salah satu cara mereka adalah dengan bersikap patuh kepada siapa saja (Allah, manusia atau seorang suami), gigih dalam perjuangan, serta ikhlas dan sabar dalam menghadapi tantangan hidup yang menegangkan.  Oleh sebab itu, bagi perempuan yang ingin belajar mengenai pengorbanan bisa belajar kepada Khadijah, istri nabi Muhammad SAW, yang selalu mendukung perjuangannya dalam menyampaikan risalah (misi) kepada umatnya, tentang keteguhan memegang akidah bisa belajar kepada Asiyah, Istri Fir’aun. Kemudian, jika ingin belajar tentang keikhlasan dan cinta, kasih sayang, belajarlah kepada Fatimah Az-Zahra. Lalu yang terakhir, jika ingin belajar tentang kesabaran kepada bunda Maryam.

Buku ini layak dibaca bagi seorang perempuan dalam mengarungi kehidupan rumah tangganya yang kerapkali akan diuji dengan berbagai cobaan di dalamnya. Dalam novel ini, penggambaran tentang cara mengatasi kemandulan sangat menarik dalam keluarga Imron dan Hanna—yang keduanya—kemudian melahirkan anak yang bernama Maryam lalu Maryam melahirkan Nabi Isa As. Meskipun mandul adalah perihal yang cacat bagi perempuan atau bahkan dikecam sebagai sesuatu yang terlaknat dalam pandangan masyarakat Al-Quds (Baitul Maqdis/ Palestina) ketika itu, justru Hanna menghadapinya dengan tegar. Memang, dalam dirinya selalu bergejolak sebuah keinginan untuk menjadi seorang ibu. Maka, dalam tradisi masyarakat, perempuan bisa dikatakan sebagai seorang ibu jika ia bisa melahirkan seorang anak. Karenanya, di dalam novel ini,  dipaparkan, “Menjadi ibu adalah mulia namun susah. Seorang ibu yang rendah hati, serendah tanah yang memandang ke langit menantikan turunnya curahan air hujan, seraya membuka dirinya dibawah hamparan langit. Kemudian, menjadi ibu yang begitu gigih, meradang, menerjang, berjuang, demi menghadiahkan apa yang dianugerahkan kepadanya dari langit”(hal.15)

Sementara, Imron, Suami Hanna, sangat menginginkan anak yang lahir dari istrinya berjenis kelamin laki-laki, tapi ternyata malah perempuan yang lahir. Kesabaran Hanna menunggu lahirnya anak yang bernama Maryam telah membuktikan kepada kita bahwa sejatinya seorang anak yang hebat lahir dari rahim seorang perempuan yang hebat. Begitu pula, ketika Maryam melahirkan nabi Isa As. Atau Al-Isya, Istri nabi Zakaria, yang melahirkan nabi Yahya. Semua anak yang dilahirkan oleh mereka menjadi orang hebat pada zamannya. Kesimpulannya, seorang ibu adalah al-ummu madrasatul al-ula (ibu adalah sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Sikap dan prilaku anak tergantung bagaimana seorang ibu mendidiknya dengan disemai sikap baik pula sejak anak itu masih kecil. Ibu yang baik pasti selalu mengedepankan hati nurani kepada anak-anak yang diasuhnya.  

Lalu, apa yang menarik dari kisah Maryam sebagai bunda suci sang Nabi dalam novel ini ? Tiada lain  adalah karena kesabarannya dalam menanggung fitnah yang ditujukan padanya lantaran ia telah mengandung seorang anak tanpa seorang bapak. Selain itu, ia juga menjadi orang yang terpelihara sejak kecil dari berbagai kejahatan duniawi. Hal ini terbukti ketika Maryam ingin dicelakakan menggunakan binatang buas semacam ular berbisa yang diletakkan dalam ruangannya di Baitul Maqdis. Tetapi, hal itu gagal, justru Maryam kemudian bisa berinteraksi dengan hewan-hewan yang buas dan membahayakan itu.

Kisah lain yang paling mengesankan dari cerita tentang bunda Maryam adalah ketika ia divonis sebagai perempuan yang tentu tak sekuat kaum laki-laki dalam mengabdi di Baitul Maqdis. Akan tetapi, dengan kegigihannya, ia berhasil membongkar anggapan lemah pada dirinya dengan tetap berusaha melindungi anaknya dari kecaman masyarakat yang berusaha membunuhnya layaknya seorang ayah sekaligus ibu bagi nabi Isa As. Menghadapi berbagai kecamuk dan cacian itu Maryam diperintahkan diam saja oleh Allah, hingga Nabi Isa sendiri yang menjawab pertanyaan aneh-aneh itu. Ah, ini lebih aneh lagi, seorang bayi yang bisa bicara dan menjawab segala pertanyaan yang ditujukan kepada ibunya.

Novel ini menarik dibaca bagi perempuan yang ingin menjadi ibu yang benar-benar sejati, melindungi dan mengasihi anaknya dengan sepenuh hati. Kisah Maryam ini memberikan stimulus kepada kita sebagai manusia bahwa perempuan juga mempunyai nilai sakral yang tiada tara dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat, seorang lelaki hebat lahir dari seorang perempuan yang hebat pula. Artinya, di balik kehebatan seorang laki-laki pasti ada perempuan hebat di belakangnya seumpama Khadijah, Fatimah Az-Zahra, Asiyah, dan Bunda Maryam.

Sementara, kekurangan yang menghantui terhadap novel ini adalah adanya pengulangan kalimat yang sama dengan kalimat sebelumnya. Di samping itu, kurang jelinya pengarang dalam membuat alur yang menarik sehingga terkadang pembaca dibuat sedikit bingung. Kisahnya seakan tidak runtut. Novel ini tidak bisa membawa emosi pembaca untuk berperan dalam menciptakan keharuan yang menggelora. Hanya makna dan hikmah yang diprioritaskan.

Hari ini, percaya atau tidak, tentu tidak ada yang seperti Maryam, melahirkan anak tanpa seorang Bapak. Akan tetapi, perempuan yang meniru kesabaran Maryam, keteguhan Asiyah, kasih sayang dan cinta Fatimah Az-zahra, atau semangat perjuangan Khadijah, barangkali ada. Sekarang, tergantung anda sebagai perempuan, semasih jalan surga terbuka, sikap anda perlu ditata. Semoga saja sebagian anda menjadi yang ke-lima sebagai wanita penghuni Surga. Amin. Wallahu a’lam.

Identitas Buku

JUDUL BUKU:
Maryam, Bunda Suci Sang Nabi
PENULIS:
Sibel Eraslan
CETAKAN:
Cetakan ke-VII, 2017
PENERBIT:
Kaysa Media
TEBAL BUKU:
463 Halaman
ISBN:
978-979-1479-76-9

Artikel ini telah dibaca 7 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Jejak Keagungan dan Kebijaksanaan Wanita yang Diabadikan Kitab Suci

5 Oktober 2024 - 06:32 WIB

Pesantren Menghadapi Pilkada dan Politik: Antara Netralitas dan Partisipasi

30 September 2024 - 05:29 WIB

Peran Guru Ngaji di Madura

29 September 2024 - 23:30 WIB

Santri dan Demokrasi: Peran Pesantren dalam Membangun Bangsa

29 September 2024 - 23:03 WIB

Ciri Khas Pesantren Madura: Menggali Tradisi, Pendidikan, dan Nilai Lokal

29 September 2024 - 21:10 WIB

Ekologi Pesantren: Mengintegrasikan Kehidupan Spiritual dan Lingkungan

29 September 2024 - 20:36 WIB

Trending di Suara Santri