Oleh: Lailur Rahman
Memasuki 2023, Indonesia dipediksi akan menghadapi ancaman inflasi dan resesi ekonomi. Indikator paling jelas adalah dunia sedang bangkit dari pengaruh Covid-19 yang melanda. Disamping itu, ancaman inflasi juga merambah dalam sektor krisis energi dan geo-politik dunia yang sedang tidak stabil.
Resesi perekonomian global tentu potensial merambah ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Menghadapi kondisi demikian, penting untuk segera ditangguhkan guna menahan keadaan stagflasi yang diakibatkan dari ancaman resesi global. Hal ini menggeliatkan pemerintah untuk segera memastikan hukum guna mengantisipasi keadaan yang memicu penurunan nilai uang (inflasi) negara.
Melemahnya peningkatan perekonomian ini, salah satunya terdapat dalam perusahaan yang berguguran, hingga memicu lemahnya daya beli. Informasi ini jelas dikuatkan oleh pernyataan Presiden Jokowi bahwa, di tahun 2023 ini, Indonesia menghadapi situasi yang kurang cerah. Dengan begitu, strategi yang dipasung oleh pemerintah saat ini, mengambil inisiatif dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 sebagai pengganti dari Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.
Sederhananya, sebelum Perppu No. 2/2022 diterbitkan, dengan substansi yang sama kita mengenal UU Cipta Kerja. Namun, dalam keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2022, UU ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada tahun 2020 lalu. Pasalnya, kedudukan dari UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan begitu, MK memberikan jangka perbaikan UU Cipta Kerja ini selama dua tahun, yakni sampai 2023. Namun, Pembahasan UU Cipta Kerja ini mengalami ‘mangkrak’. Hingga, inisiatif Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja guna menggantikan UU Cipta Kerja No. 11/2020, resmi diterbitkan oleh Presiden Jokowi.
Corak khusus dari Perppu ini memang pada dasarnya merujuk pada esensi UU Cipta Kerja. Layaknya di wilayah gaji pokok, upah minimum buruh, peraturan jam kerja, dan regulasi yang berkenaan dengan kontrak kerja lainnya. Dengan kata lain, terbitnya Perppu ini sekaligus menjadi jawaban pemerintah atas ‘kegentingan yang memaksa’ dan biasnya UU Cipta Kerja dalam meregulasi sistem kerja yang ada di suatu perusahaan atau lembaga perekonomian negara.
Tidak dapat dipungkiri, sejauh ini Perppu No. 2/2022 dipahami sebagai langkah pemerintah Indonesia dalam menaggapi resesi ekonomi global. Hal ini berdasarkan prediksi World Trade Organization (WTO) yang menurunkan angka prediksi 2,3% dari prediksi asal 3,3% pada tahun 2023 ini. Artinya prediksi ini akan memicu penurunan keuntungan perusahaan yang meningkatkan sempitnya lapangan kerja, sehingga akan mengancam terhadap kemerosotan inflasi dalam suatu negara.
Tantangan dalam menghadapi fase pelik di tahun 2023 ini, pada dasarnya sekian purnama lalu telah diupayakan oleh pemerintah melalui suatu regulasi. Hingga, UU Cipta Kerja diinisiatifkan menjadi pembahasan untuk wilayah peraturan kerja, buruh, gaji, serta paruh waktu dalam suatu perkerjaan di usaha perekonomian Indonesia. Walaupun pada akhirnya, UU Cipta Kerja melewati batas limit perbaikan dari Mahkamah Konstitusi yang mengakibatkan Perppu No. 2 Tahun 2022 diterbitkan berdasarkan kegentingan resesi ekonomi global yang pula dikhawatirkan merambah ke Indonesia.
Penting diketahui, setidaknya terdapat dua faktor atas diterbitkannya Perppu ini. Pertama, terkait dengan wujud dari kepastian UU Cipta kerja yang sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Pasalnya, UU Cipta Kerja dinilai cacat secara formil. MK menilai dalam pembentukan UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, UU Cipta Kerja ini tentu akan memicu potensi ketidakpastian hukum yang tidak dapat dihindari. Hingga pada akhirnya MK memberikan waktu perbaikan undang-undang sampai dua tahun yang dihitung sejak tahun 2020. Namun nahasnya, pembentukan UU Cipta Kerja terlihat kentara ketidakpastiannya, dengan dikeluarkannya Perppu No. 2/2022.
Kemudian faktor kedua berkenaan dengan keadaan prediksi dari resesi global. Suatu situasi yang memicu kemunduran ekonomi dan menurunnya keuntungan perusahaan. Dengan begitu, Perppu Nomor 2/2022 ini mulai mengatur secara rigid terkait upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota.
Menariknya, misalkan kita mengambil salah satu contoh dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022, diantaranya tertuang Pasal 59 ayat (1) yang telah diubah yang berkenaan dengan ketentuan Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) atau dikatakan sebagai pekerja kontrak. Di dalam pasal itu disebutkan bahwa PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Padahal, UU Cipta Kerja sebelumnya menimbulkan sederet kontroversi yang juga berkenaan dengan isi substansi pasal yang tertuang juga di Perppu.
Dengan demikian problematika substansi undang-undang ini kembali terulang. Kepastian hukum tentu menjadi indikator besar akan terlaksananya regulasi yang dapat menjawab tantangan global. Khususnya, menghadapi resesi perekonomian global yang mengancam ini.
Tugas pemerintah memungkinkan memilah peraturan ini yang masih bersifat absurd yang bias untuk dipahami oleh banyak kalangan. Kewenangan Presiden dalam menerbitkan Perppu dengan cepat yang didasarkan pada ‘kegentingan yang memaksa’ juga mempunyai resiko politik yang sangat besar. Konsekuensinya jelas, jika tidak merambah ke dalam sektor inflasi dan resesi ekonomi, maka juga akan berdampak pada ancaman kondisi geo-politik yang terombang-ambing, mengingat, tahun 2023 merupakan tahun politik guna keberlangsungan pemilu 2024.
Selanjutnya, DPR mempunyai dua pilihan: baik meneruskan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang telah diterbitkan, atau tetap melanjutkan status UU Cipta Kerja sebagai undang-undang yang inkonstitusional secara permanen yang diakibatkan telah melewati batas putusan MK selama dua tahun. Tentu upaya kepastian hukum ini segera final, dengan mengacu pada munculnya tuna-tunas resesi global tahun 2023, baik menghadapi tantangan dalam meningkatkan mata uang negara, kepastian regulasi dari gaji dan waktu kerja buruh, serta perbaikan dalam pembangunan ekonomi nasional.
*Direktur Akademi Hukum dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta