Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 6 Sep 2023 06:43 WIB ·

Kepada Pacarku, “Tak Pernah Aku Mencintai Perempuan se-Radikal Ini”


 Kepada Pacarku, “Tak Pernah Aku Mencintai Perempuan se-Radikal Ini” Perbesar

Oleh: Rasyiqi 

Warung kopi, aroma kopi yang harum, dan obrolan santai ala-ala sudut kampung. Nah, mari kita lanjutin ngobrol seru tentang radikalisme. Tenang aja, gak bakal pake bahasa filsafat yang ribet. Ini mah ngobrol sambil canda-candi, tapi tetap ada bahan buat dipikirin.

Jadi, apa sih radikalisme itu? Istilah ini sering banget kita denger, terutama dalam konteks politik, sosial, dan agama. Tapi, apa kita udah bener-bener ngerti apa itu radikalisme? Atau malah kita salah paham? Yuk, simak bersama-sama, bro!

Dari Segi Bahasa. Pertama-tama, kita mulai dari yang simpel aja. Kata “radikal” berasal dari bahasa Latin “radix,” yang artinya akar. Jadi, kalau kita lihat secara harfiah, radikalisme itu kayaknya berkaitan dengan akar-akaran, ya. Tapi, jangan bayangin akar pohon yang sok ngatur, ini beda.

Dalam dunia filsafat, radikalisme adalah sikap atau pandangan yang gak suka sama tradisi, otoritas, atau kebiasaan yang udah ada. Mereka ini kayak “rebel” yang pengen ganti semuanya dari bawah, dari akar. Nggak puas dengan yang udah ada, dan mau mereformasi semuanya dengan tegas, tanpa kompromi.

Gimana sih sejarahnya? Kalau kita bongkar sejarahnya, radikalisme ini muncul sebagai gerakan politik di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19. Ini jaman di mana orang-orang mulai nggak betah sama sistem sosial dan politik yang ada. Mereka ngebet banget pengen perubahan yang lebih demokratis, egaliter, dan manusiawi.

Nah, tokoh-tokoh radikal di masa itu jadi panutan, lho. Ada Jean-Jacques Rousseau, yang ngebahas soal kesetaraan dan hak asasi manusia. Ada Karl Marx, yang dikenal sebagai bapak komunisme. Dan banyak lagi tokoh-tokoh radikal lainnya yang berani mengkritik dan menentang sistem-sistem yang dianggap enggak adil.
Jadi, radikalisme di sini lebih kayak semangat perubahan buat kebaikan bersama. Mereka ini kayak tim advokat sosial yang kerjanya ngegoyangin pondasi-podasi yang udah lama.

Tapi Radikalisme dalam Konteks Wakanda, eh, Indonesia, cerita radikalisme beda, bro. Biasanya, istilah radikalisme lebih sering disambungkan sama kekerasan, terorisme, atau ekstremisme agama. Ini gara-gara banyak banget peristiwa teror yang ngaku-ngaku dilakuin demi agama, kayak Bom Bali tahun 2002, Bom JW Marriott 2003, Bom Thamrin 2016, sampe Bom Surabaya 2018.

Selain itu, media massa dan media sosial juga jadi aktor penting yang suka banget ngehebohin tentang radikalisme. Sayangnya, kadang-kadang berita-berita itu gak akurat, gak seimbang, atau bahkan nggak bertanggung jawab. Akibatnya, orang-orang jadi bingung dan takut ngomongin radikalisme.

Ketidakpahaman atau kesalahpahaman tentang konsep-konsep agama juga jadi salah satu faktor yang bikin ribet. Kata “jihad,” “khilafah,” “syariah,” atau “takfir” seringkali disalahartikan atau dipelintir. Ini jadi bahan bakar konflik yang memanas.

Bukan Semua Radikalisme Jahat. Titik! Ada banyak tokoh-tokoh agama yang bahas ini, ngomong asal tanpa dasar pake bahasa yang benar ala PUEBI dan dirujak dengan istilah-istilah ilmiah-arab. Malah seolah-olah yang radikal itu dirinya sendiri. Biasanya membahas ini dimulai dari sejarahnya, hingga terakhir kedongkolannya terhadap kelompok FBI, HTI dan barang sejenisnya. Mending kita ngobrol santai kayai gini ya kan?

Tapi, dengerin baik-baik, bro, percaya deh, radikalisme itu gak selalu buruk atau berbahaya. Radikalisme juga bisa jadi sikap atau pandangan yang positif, konstruktif, dan bermanfaat buat masyarakat. Kok bisa? ‘Kok bisa’ itu pertanyaan ya? Hehe.

Nah, radikalisme bisa jadi pemicu buat perubahan-perubahan yang lebih baik, lebih adil, atau sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kalau kita gak pernah ada yang berani nantangin status quo, gimana kita bisa maju? Radikalisme bisa jadi semangat buat nyari ide-ide baru, gagasan-gagasan segar, atau pemikiran-pemikiran kritis yang bisa bermanfaat.
Tapi, Ingat, Ada Dua Jenis Radikalisme. Oke, jadi sekarang kita tahu radikalisme itu nggak selalu negatif. Tapi, perlu diingat, ada dua jenis radikalisme yang perlu kita bedakan: radikalisme filosofis dan radikalisme praktis.

Radikalisme filosofis itu kayak orang yang punya sikap atau pandangan yang berani mengkritik atau menolak tradisi, otoritas, atau kebiasaan yang ada kalau dianggap nggak rasional, nggak adil, atau nggak manusiawi. Mereka ini lebih kayak intelektual yang suka mikir keras.
Radikalisme praktis itu lebih ke metodenya, bro. Jadi, ini cara mereka nyatain sikap atau pandangan yang tadi. Kalau radikalisme filosofis itu tentang pemikiran, radikalisme praktis itu tentang tindakan nyata.

Nih, kalau radikalisme filosofis ini didasarkan sama akal sehat, nurani, dan rasa kemanusiaan, bisa jadi sumber inspirasi yang keren. Mereka ini bisa jadi motivasi buat kita belajar lebih banyak, membaca lebih luas, atau berdiskusi lebih mendalam. Jadi, kayak pendorong buat kita berkembang dan jadi lebih pintar, bro!

Selain itu, radikalisme filosofis juga bisa jadi sumber ide-ide inovatif. Mereka ini kayak penyumbang ide-ide segar buat masyarakat. Jadi, kalau ada yang punya gagasan baru yang bagus, jangan langsung dianggap radikal, ganti deh istilahnya, ya. Mungkin itu solusi buat permasalahan yang udah lama kita hadapi.

Kalau radikalisme filosofis itu jadi inspirasi maka radikalisme praktis jadi strategi yang efektif bahwa dilakukan dengan cara-cara yang damai, demokratis, dan dialogis. Mereka ini bisa jadi alat perjuangan buat mengubah atau mereformasi sistem-sistem yang nggak sesuai dengan kepentingan umum, hak asasi manusia, atau kesejahteraan sosial.

Misalnya, gerakan sipil non-kekerasan kayak gerakan Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat atau gerakan Gandhi di India. Mereka ini radikal dalam tindakan mereka, tapi nggak pake kekerasan, bro. Hasilnya? Perubahan besar yang positif buat masyarakat.

Tapi, jangan salah gunakan, lebih tegasnya, jangan bodoh banget lah! Radikalisme filosofis dan praktis bisa jadi ancaman kalau disalahgunakan atau disalahartikan. Misalnya, radikalisme filosofis yang didasarkan pada emosi, fanatisme, atau dogmatisme bisa jadi masalah. Ini bisa jadi sumber konflik, kebencian, atau intoleransi.

Itu semua tergantung darimana otaknya diimpor, kalau emosian, fanatik berbaju toleran (alias fanatik terhadap toleran itu sendiri) atau dogmatis alias ngangguk-ngangguk saja begitu ikut pengajian, nggak baca buku atau baca bukunya nggak selesai-selesai kayak baca kemauan wanita, yo pasti akan langsung nge-cap radikal.

Kita tahu, radikalisme praktis yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, terorisme, atau ekstremisme juga jelas-jelas nggak bisa diterima. Ini malah jadi sumber masalah yang bisa mengancam keamanan masyarakat. Kita juga tahu, kalau nggak boleh otak-atik yang baik-baik dari sistem yang ada saat ini, kita juga tahu kalau nggak boleh bertentangan dengan pluralisme, toleransi, dan demokrasi yang menjadi dasar negara Indonesia.Tapi ya jangan Cuma itunya saja yang selalu dibahas gak kelar-kelar. Tetanggamu yang kelaparan apa sudah dibantu?

Kesimpulannya, Bijaklah dalam Menggunakan Istilah Radikalisme
Jadi, gimana, bro? Sekarang kita udah lebih ngerti soal radikalisme, kan? Kita perlu bijak dalam memahami dan menggunakan istilah ini dalam konteks apapun. Jangan langsung teriak-teriak “radikal, radikal!” tanpa mikir panjang. Mari berpikir kritis, rasional, dan toleran dalam berpikir dan bertindak.

Kita juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan kemanusiaan dalam berinteraksi dan bermasyarakat.
Jadi, selagi ngopi dan nyemil pisang goreng, mari kita lanjutkan obrolan santai ini. Kalau ada yang punya pandangan atau pendapat, jangan sungkan buat sharing, bro! Yang penting, tetap jaga rasa hormat dan saling mendengarkan. Semoga ngobrol kita bisa jadi langkah awal buat pemahaman yang lebih baik tentang radikalisme.

Dulu saya punya teman yang mungkin akan anda cap radikal juga, saya ajak nonton bokep, saya ajak ngopi, saya ajak ngelirik cewek, sebulan langsung sembuh dia dari keradikalannya.
Sesimpel itu. Kalau teroris?.Itu sudah urusannya BNPT bukan BNPR (Badan Nasional Penganggulangan Radikalisme), emang ada BNPR?. Saya yakin teroris tidak akan bisa radikal. Karena yang radikal itu ketika akal meningkat, emosi menyingkat. Karena aku berkata pada Pacarku “Tak Pernah Aku Mencintai Perempuan Seradikal ini”.

*Aktifis, Alumni Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan. 

Artikel ini telah dibaca 23 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Politik Damai: Jalan Menuju Kehidupan yang Harmonis

21 November 2024 - 08:56 WIB

Politik dan Kemanusiaan dalam Pilkada Serentak

19 November 2024 - 11:09 WIB

Membangun Kehidupan Berbangsa Melalui Toleransi dan Keadilan

30 Oktober 2024 - 06:13 WIB

Radikalisme dan Upaya Pembentukan Desa Siaga sebagai Benteng Keamanan Nasional

30 Oktober 2024 - 05:55 WIB

Menilik Sejarah Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

26 Oktober 2024 - 05:18 WIB

Radikalisme dan Tantangan yang Dihadapi Negara

26 Oktober 2024 - 05:06 WIB

Trending di Kontra Narasi