Oleh:Abdul Warits*
Tubuhku kecil meski angin senantiasa menerpanya sepanjang waktu. Ombak yang beriak, menjadi kenangan terindah dalam hidupku, berdebur bersama keresahanku di laut ini. Keresahan yang tidak mungkin aku ceritakan kepada siapapun. Walaupun, aku selalu dihempas gelombang seharian.
Seperti rindu, aku mulai berani menyimpannya rapat-rapat dalam gemuruh batinku yang tidak menentu. Barangkali, hidup ini akan indah jika dijalani dengan penuh lapangdada. Tuhan akan selalu mendengar keluh kesah hambanya dalam setiap rapal doa dan usaha.
Aku sangat bersyukur bisa tinggal di negara Indonesia ini. Banyak bentangan pulau-pulau yang bisa aku singgahi. Aku merasa tenang berada di dilautnya yang biru dipenuhi biota. Karang, batu dan pasir, ikan-ikan kecil, dan seorang pemuda adalah temanku. Meskipun, aku seringkali bertengkar dengan gelombang yang terkadang menghempaskan konflik, berdebur dalam tubuhku.
Aku tetap memahami asin air laut sebagai perbedaan. Bagiku, tidak mudah hidup di laut. Laut menyimpan gemuruh. Hanya saja, aku bertahan di pantai ini karena satu alasan : aku hanya ingin berdamai dengan segala keadaan dan lingkungan sekitar.
Pertengakaranku dengan gelombang kadang-kadang melahirkan kesalapahaman satu sama lain, tapi itu sudah biasa dalam hidupku. Padahal, tekadku hanya ingin mengantarkan niat suci nelayan mengarungi samudra. Cita-citaku tidak muluk-muluk, aku hanya ingin berdamai bersama mereka yang ada disekitarku. Dan, hanya gelombanglah yang mengerti masalah hidup saat ini.
“Mengapa pemuda itu malas mendekat padaku?”tanyaku
“Aku tidak pernah berniat untuk menghambat jalanmu. Hanya saja, aku ingin manusia di daratan itu merasa tenang, tidak riuh seperti di lautan ini” aku membela.
“Memang, apa salahku?” gelombang tidak terima. Ia selalu saja tidak ingin mengalah. Ia bahkan ingin menghantam apa saja yang menghalangi jalannya. Kupikir, orang yang berwatak seperti gelombang ia akan selalu fanatik.
“Kamu terlalu bergemuruh?”sindirku.
“Bergemuruh itu memang sifatku sebagai gelombang” ia mengelak dengan segala alasannya.
“Sekalipun bergemuruh, kamu tidak bisa menghentikan kapal-kapal yang ingin mencuri ikan itu tenggelam, apalagi kapal-kapal yang membawa narkoba. Aku kecewa padamu!” ucapanku meninggi terbawa emosi.
***
Aku muak mendengar perdebatan-perdebatan yang tidak ada gunanya. Percakapan itu menusuk jantungku. Peristiwa itu dan segala keegoisan gelombang telah aku catat dalam perjuanganku untuk selalu hidup damai. Nyatanya, gelombang selalu memvonisku sebagai buronan dari segala permasalahan di negeri ini.
Aku hanya bisa membela diriku semampu mungkin. Membela kebenaran yang sangat sulit dilakukan kebanyakan orang. Jika keadaannya seperti ini, aku seringkali mengalah dan meninggalkan pantai ini. Aku harus meninggalkan segala kenangan yang pernah berdebur dalam sanubari saat bersama teman-temanku. Meskipun, pantai ini sangat tentram bagi kehidupanku. Barangkali, untuk sementara, aku harus bersikap bijak atas permasalahan hidup yang telah menimpaku.
Oh, tuhan! bantulah hambamu dalam menghadapi kehidupan yang berliku ini.
***
Aku lebih memilih pindah ke kota. Kota ini sangat ramai, berdesakan. Perasaanku terasa tenang berada di kota ini. Sebab, banyak orang yang akan menolongku. Maka, ketika orang-orang menyebut negeri ini sebagai negeri pendidikan, aku yakin akan diperlakukan oleh mereka baik. Barangkali, dalam bayang pikiran, nasibku akan sama dengan para remaja di kota ini : saling bertukar pikiran untuk ilmu pengetahuan.
Aku benar-benar merasa terdidik berada di sini. Aku bahkan girang ketika berada di keraton, diperhatikan layaknya seorang bayi yang baru lahir. Dulu, ketika aku masih tinggal dipantai, sulit sekali aku membela kebenaranku pada gelombang. Akan tetapi, di kota ini, aku justru dikeramatkan oleh orang-orang sebagai perangkul kebenaran, lambang negara yang bersih dan suci.
Aku selalu tabah ketika bersengketa dengan gelombang. Kupikir tuhan memang maha adil kepadaku yang selalu bersabar dalam menghadapi cobaan. Kesabaran untuk memperjuangkan perdamaian memang butuh ketekunan.
Mula-mula masyarakat di kota ini percaya terhadap kesakralanku ketika gunung Krakatau meletus dengan sangat dahsyat. Suaranya yang menggema pada gendang telinga membuat mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Lalu, aku memulai hidupku di kota ini. Hingga orang-orang tak lagi meremehkanku dan bahkan mereka memberikan tempat tinggal di dekat keraton dan pastinya aku sangat dekat dengan raja-raja.
Hidup dikota besar memang tidak mudah seperti yang aku bayangkan. Kota besar tidak bisa menjamin seseorang menjadi sejahtera hidupnya. Banyak sekali permasalahan kehidupan yang musti diselesaikan. Salah satunya adalah sikap orang-orang yang seringkali merasa bangga bersengketa tentang ajaran agama. Padahal, menurutku, agama apapun pasti mengajarkan kebenaran. Lalu, kenapa harus saling berdebat, fanatik, hingga muncul konflik-konflik yang berujung pada kekerasan.
Sepertinya hidupku lebih sulit dikota ini, ketika dihadapkan terhadap pertanyaan orang-orang tentang agama. Memang kuakui, aku bukan tokoh agama, akan tetapi, orang-orang selalu menuduhku sebagai biang keladi dari permasalahan di kota ini. Rasanya aku telah gagal menjawab amanah mereka. Ya, pepatah memang benar, kepercayaan akan memindahkan gunung. Aku menyadari telah banyak melalaikan amanah mereka. Sementara, gunung Krakatau yang pertama kali mengkeramatkan keberadaanku, hari ini tidak lagi se-sakral masa lalu.
“Kenapa dikota ini masih terjadi konflik? bukankah kami telah mempercayaimu sebagai perangkul kebenaran?” sindiran mereka seperti bunyi sirine.
“Perdamaian tidak perlu dengan suara lantang. Tapi, perlu untuk disemai pada diri seorang masing-masing!” jawabku lugu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya membela kemudian kembali termangu memandangi mereka yang seringkali bersengketa tentang masalah agama.
“Apakah kamu tidak bisa merangkul kebenaran?”
“Kebenaran itu relatif”
“Lalu?”
“Relatif itu tergantung mereka yang menilai!”
“Omong kosong! kalau kamu memang tidak bisa menjadi pendamai di kota ini, lebih baik kamu pergi saja, tinggalkan kota ini sejauh mungkin!” hardik mereka kejam. Bagiku, sulit memang membela diri dalam keadaan sedang bersalah.
Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pergi dari kota ini, terusir untuk yang kedua kalinya. Aku harus meninggalkan kota yang teramat romantis bagiku. Lantaran di kota ini, aku dilahirkan dengan cinta dan kasih sayang. Namun, aku percaya bahwa cinta yang berlandaskan kasih sayang pada akhirnya akan diuji. Tersebab cintalah orang bertahan dan berusaha memperjuangkan hidupnya. Sama sepertiku saat ini, aku berusaha mencintai mereka dengan cara mengalah untuk sementara. Menjauh dari rasa dendam dan kebencian orang-orang.
***
Kota ini sangat metropolitan. Udara yang tercemar seakan menyesakkan hidupku. Asap knalpot, corong pabrik, menjadi menu saban hari apalagi kasus-kasus korupsi yang kerapkali bergentayangan di kalangan pemerintahan. Tiada pilihan lain, kecuali pura-pura merasa betah di kota ini, walaupun harus dipaksakan.
Aku berjalan lunglai seperti kakek tua yang menyusuri sudut kota ini. Aku seumpama gelandangan, bertubuh kotor dengan polusi dan debu yang hinggap dibadanku. Hingga suatu ketika, tuhan mempertemukanku dengan seorang perempuan yang ramah dan perempuan itu merawatku dengan penuh kasih sayang. Berkat belaian tangannya, aku diberi nutrisi dengan siraman air segar saban pagi. Betapa sejuk kurasakan dalam tubuhku.
“Siapa ini, Tien?” tanya Soeharto, suaminya, ketika kami bertiga saling beradu tatapan.
“Namanya Keben!”
“Keben! dari mana ?” lanjutnya. Terkejut.
“Ia tinggal di tepi pantai, tetapi pindah ke kota Yogyakarta. Ia sampai ke kota ini karena dikucilkan oleh orang-orang lantaran satu permasalahan yang tidak perlu aku ceritakan padamu”
“Oh, begitu”
Memandang dari berbagai sudut kota ini, aku sering menemukan lingkungan yang semraut. Tetapi, aku membersihkan kota ini dengan penghijauan agar tidak telalu menyesakkan sehingga orang-orang bisa hidup damai. Aku juga seringkali menemukan orang yang melecehkan agama, lebih buruk dari pengalamanku ketika berada di kota Yogyakarta.
Tak ada yang bisa kulakukan, kecuali dalam setiap detak waktu, aku selalu tercenung memikirkan nasib negeri ini. Tanpa kusadari, pikiran-pikiran itu membuatku kering kerontang dan tubuhku kini telah tumbang (*)
Annuqayah, 2018 M.