Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 5 Des 2023 07:28 WIB ·

Karakteristik Kepemimpinan Kiai di Pesantren Indonesia


 Foto: islam.nu.or.id Perbesar

Foto: islam.nu.or.id

Oleh: Abdul Warits

 Karakter merupakan faktor yang sangat urgen dalam kepemimpinan. Karena dengan karakter seorang pemimpin akan selalu dikenang dalam kepemimpinannya. Salah satunya tentang karakteristik kepemimpinan kiai dalam menjalanan roda kepemimpinan di pesantren.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di negara Indonesia. Pesantren selalu mengalami dinamika dalam setiap jejak kepemimpinan seorang kiai. Akan tetapi, pesantren selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga terus menjadi lembaga pendidikan yang teladan dan senantiasa ditiru di tengah-tengah masyarakat.

Kepemimpinan pesantren saat ini berfokus pada pembelajaran dan peningkatan keterampilan santri, bertindak sebagai educator, dan memiliki jiwa entrepreneur. Makna dari karakteristik keterampilan tersebut adalah pemimpin ingin menciptakan santri yang siap guna di masyarakat, bukan saja di bidang pengetahuan agama tetapi juga pengetahuan umum dan keterampilan hidup (life skill).

Maka tidak heran jika di pesantren terdapat istilah  “pengasuh, pembina, pembimbing, murabbi dan pengarah”. Posisi seorang kiai dalam sebuah pesantren, adalah  laksana jantung bagi kehidupan santri, karena kiailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, hingga pemimpinnya yang  terkadang juga sebagai pemilik tunggal bagi pesantren.

Pada gilirannya seseorang yang menjadi kiai dan diakui “ke-kiaian-nya” adalah berkat kedalaman ilmu agamanya, serta kesungguhan perjuangannya, keikhlasannya dan keteladannya di tengah-tengah kehidupan umat, dan kekhususannya dalam beribadah serta kewicaraannya sebagai seorang pemimpin. Oleh karena itu,  kiai menjadi pemangku kebijakan tertinggi di pesantren,  berjalan atau tidaknya kegiatan yang ada di pesantren adalah atas izin dan restu dari kiai.

Tipologi Pesantren di Indonesia

Pesantren merupakan institusi pendidikan khas Indonesia dan mengakar kuat dari budaya asli bangsa Indonesia.[1] Dalam perkembangannya, pesantren mengalami pergulatan dari sisi manajemen, tata kelola, dan bahkan dari segi kurikulum. Perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan zaman menuntut pesantren bermetamorfosis dan beradaptasi.

Meski pada awalnya, pesantren di Indonesia bercorak tradisional yaitu pesantren yang berpijak pada tradisi yang telah lama ada di Indonesia. Tradisi ini dapat dilihat dari dua hal: Pertama, ia memilih tetap berideologi Islam tradisional yaitu ideologi yang disebut sebagai ideologi ahlussunnah wal jamaah. Kedua, tetap mempertahankan pengajaran kitab  kuning sebagai ciri khas pesantrennya.[2]

Menurut Iksan K. Syahri dalam bukunya Pesantren, Kiai dan Kitab Kuning mengatakan bahwa terdapat tiga tipologi pesantren dalam perspektif Kementrian Agama yaitu pesantren tradisional, pesantren modern dan pesantren konvergensi.[3] Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya, tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantrennya. Jenis pesantren inilah yang masih tetap eksis mempertahankan tradisi tradisi pesantren klasik dengan corak keislamannnya.[4]

Karakteristik Kepempimpinan Kiai

Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika.[5] Menurut ahli psikologi, ada delapan atribut  variabel yang sering diteliti terkait karakter, yakni: orientasi sosial, kontrol diri, kepatuhan, percaya diri, empati, kesadaran, pemahaman moral, dan rasa kemanusiaan/toleransi.

Karakteristik kepemimpinan kiai di pesantren di antaranya sebagai berikut: Pertama, Kepemimpinan Transaksional. Adalah sebuah model yang digunakan oleh kiai dalam memimpin pesantren dengan cara memposisikan kepengurusan-santri  sebagai kolaborator yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, kepemimpinan transaksional merupakan perilaku kiai yang menekankan pada perhatiannya dengan transaksi personal antara kiai dengan pihak yang melingkupinya, seperti pengurus pesantren, santri, dan lain sebagainya.

Maka esensinya Pesantren telah berhasil dalam membangun social linking yaitu suatu kompetensi warga masyarakat menciptakan keterhubungan dengan pemerintah. Social linking merupakan sumber-sumber pelindung utama terhadap resiko terpapar radikalisme dan ektremisme kekerasan. Selain itu, pesantren memiliki sumber pelindung dari social bonding yaitu rasa terikat warga komunitas dengan komunitasnya dan social bridging yaitu semacam kemampuan komunitas membangun keterhubungan secara horizontal dengan identitas lain yang berbeda.

Resiliensi komunitas mengandaikan penguatan koneksi sosial pesantren baik internal pesantren (bonding) antara komunitas pesantren dengan komunitas luar (non-muslim) maupun hubungan pesantren dengan institusi pemerintah (social linking). Salah satu modal sosial pesantren yang menjadi kekuatan kebertahanan pesantren adalah nilai-nilai dari Panca Jiwa sebagaimana yang dipraktikkan oleh pesantren Gontor sebagai nilai perekat. Lima nilai tersebut di antaranya adalah Keikhlasana, kesederhanaan, Ukhuwah Islamiyah, Kebebasan dan Kemandirian atau berdikari. Pesantren Gontor dengan mengandalkan “Panca Jiwa” ini telah menjadikan sebagai salah satu faktor pelindung pesantren dari radikalisme dan ektremisme kekerasan. Bagi warga pesantren, Panca Jiwa telah berhasil.[6]

Kedua, kepemimpinan kharismatik-transfomatif. Model kepemimpinan trasformasional merupakan pola kepemimpinan kultural. Dalam rangka mendorong perputaran organisasi, pemimpin yang menggunakan model ini mesti memiliki kepribadian yang dapat dijadikan kekutan untuk mempengaruhi bawahannya, sehingga jajaran di bawahannya, dapat mencontoh, mempercayai, dan respek terhadap pemimpinnya.

Selain itu, ada beberapa karakteristik kepemimpinan yang terdapat di dalam pesantren. Pertama, Teori genetis menyatakan bahwa pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya. Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi-kondisi yang bagaimanapun juga, yang khusus.

Secara filosofis, teori tersebut menganut pandangan determintis. Kedua, Teori sosial (lawan teori genetis) menyatakan bahwa pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dibentuk, tidak dilahirkan begitu saja. Setiap orang bisa jadi pemimpin, melalui usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri.

Ketiga, Teori ekologis atau sintesis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu), menyatakan bahwa seorang akan sukses menjadi pimpinan, bila sejak dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan, juga sesuai dengan tuntutan lingkungan atau ekologisnya.[7]

Pesantren di Indonesia memiliki tiga tipologi. Pertama, Tradisional. Kedua, modern. Ketiga, konvergensi. Sedangkan untuk karakteristik kepemimpinan kiai di pesantren. Pertama, Kepemimpinan Transaksional. Kepemimpinan ini biasanya dilaksanakan oleh pesantren modern. Kedua, kepemimpinan kharismatik-tranformatif. Kepemimpinan ini biasanya digunakan oleh pesantren dengan tipologi tradisional atau konvergensi.

Referensi 

Hanun Asrorah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Iksan K. Sahri. 2021. Pesantren, Kiai dan Kitab Kuning.Yogyakarta. Cantrik Pustaka.
Imam Syafe’i. Pondok pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. dalam jurnal Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017.
Ridwan Abdullah Sani.`T.th. Pendidikan Karakter. Bandung. Cipta Pustaka.
Irfan Abu Bakar, dkk. Resiliensi Komunitas Pesantren Terhadap Radikalisme. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
Faqih Affandi M. Pola Kepemimpinan Kiai dalam Pendidikan Pesantren dalam jurnal Jurnal Pendidikan Universitas Garut  Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut.
[1] Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal,184.
[2] Iksan K. Sahri, Pesantren, Kiai dan Kitab Kuning (Yogyakarta : Cantrik Pustaka, 2021), hlm,47.
[4] Imam Syafe’i, “Pondok pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter”, dalam jurnal Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017, hal, 87.
[5] Ridwan Abdullah Sani, Pendidikan Karakter, Bandung: Cipta Pustaka, hal, 6
[6] Irfan Abu Bakar, dkk, Resiliensi Komunitas Pesantren Terhadap Radikalisme, Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , hal, 104.
[7] Faqih Affandi M, “Pola Kepemimpinan Kiai dalam Pendidikan Pesantren ”, dalam jurnal Jurnal Pendidikan Universitas Garut  Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut, hal, 21.

Artikel ini telah dibaca 53 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Santri Sebagai Pilar Perdamaian di Dunia Perpolitikan

21 November 2024 - 09:10 WIB

Bahaya Politik dan Pertumpahan Darah, Bagaimana Solusinya?

19 November 2024 - 11:42 WIB

macam-macam darah wanita

Peran Santri dalam Membangun Generasi Emas Indonesia

17 November 2024 - 12:42 WIB

Dari Keraguan ke Keyakinan: Menemukan 7 Rahasia Kekuatan Pribadi dalam Diri

16 November 2024 - 10:11 WIB

Menakar Efektivitas Pemberdayaan Sistem Koperasi dalam Program “Solusi Nelayan”

11 November 2024 - 14:43 WIB

Strategi dan Cara Menemukan Perubahan Positif dalam Diri

11 November 2024 - 14:23 WIB

Trending di Suara Santri