Oleh; Moh Syaiful Bahri
Pepatah Arab pernah menulis:
“Tirulah mereka, meskipun tidak bisa mencapai seperti mereka. Sebab, meniru orang-orang besar itu saja sudah suatu kemenangan”.
Setiap orang akan meninggalkan amal selama hidupnya. Artinya, perbuatan baik akan selalu dikenang oleh generasi setelahnya. Tentu hal-hal semacam ini perlu media dan pembelajaran yang cukup luas.
Tidak mudah menjadi sosok yang semasa hidupnya disegani kemudian setelah meninggal dibicarakan kebaikan-kebaikannya. Bukan tidak ada, tetapi jarang dan jika pun ada mereka adalah manusia pilihan di dunia ini.
Bicara mengenai kiprah dan perjuangan yang berbuah kebaikan kepada generasi setelahnya, saya seketika mengingat salah satu buku karya A. Aziz Masyhuri. Buku yang memotret perjuangan dan gerakan dari bilik-bilik pesantren cukup detail dan semacam jalan untuk menyilami taman bernama kebaikan, cinta, kasih sayang dan barangkali adalah rindu.
Seperti yang dikatakan A. Aziz Masyhuri bahwa menulis buku biografi bukan perkara ringan, apalagi tentang orang yang sudah meninggal ditambah lagi biografi ulama yang cukup sedikit orang mengulas dan mempublikasikan perjalanan hidupnya (hlm. 6).
Ini pekerjaan yang bukan hanya membutuhkan energi besar, melainkan juga jejaring untuk mendokumentasikan segala aspek yang berkaitan dengan sosok kiai yang ditulis dalam buku ini.
Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia 1 menggambarkan peran serta pengaruh dari 99 kiai kharismatik di Indonesia. Buku ini memberikan wawasan juga membuka wacana tentang perjalanan spiritual dan pemikiran kiai-kiai yang terhimpun di dalam catatan Aziz Masyhuri, serta sejauh mana sosok kiai-kiai ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat.
Berbicara sosok kiai kharismatik ini tidak bisa lepas dari pesantren. Pesantren pada mula pendiriannya semacam medium untuk menyebarkan Islam dan karenanya memiliki peran besar dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia.
Di sini, kiai-kiai ini tidak saja berjuang untuk menegakkan syariat Islam di bumi Indonesia. Jauh dari itu semua, kiai pesantren mampu menumbuhkan kecintaan santri dan masyarakat kepada bangsa dan negara. Banyak kiai-kiai kharismatik ini berjuang melawan penjajah.
Penulis mengulas cukup cermat latar belakang, pemikiran, Gerakan dan kontribusi masing-masing kiai yang dihadirkan dalam buku ini. Seperti sepakterjang dan nilai-nilai serta pandangan keagamaan dan kebangsaan dari sosok KH. Agung Muhammad Besari, KH. Hasan Besari Tegalsari, KH. Qamaruddin, KH Muhammad Khalil Bangkalan, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Soleh Darat, Syekh Mahfudz At-Tarmasi, KH. Munawwir Krapyak, KH. Zainal Musthofa, KH. Abbas Buntet, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Asnawi Kudus, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Tubagus Muhammad Falak, KH. Ma’shum Krapyak, KH. Zaini Mun’im, KH. Bisri Musthofa, KH. Bisri Syansuri.
Tentu buku Kumpulan biografi kiai ini menjadi langkah awal untuk memahami tentang Sejarah dan perkembangan spiritual di Indonesia melalui kacamata kehidupan para kiai kharismatik.
Salah satu kiai yang memiliki andil cukup besar pada perkembanan pesantren Indonesia adalah Agung Muhammad Besari. Peta jaringan ulama pesantren di Nusantara, lebih-lebih di Jawa tidak boleh melepaskan Pesantren Tegalsari yang merupakan cikal bakal pesantren dengan sistem dan kurikulum pendidikan serta pengelolaan pesantren seperti hari ini (hlm. 28).
Model pesantren dengan sistem pendidikan modern telah mewarnai perjalanan pendidikan Indonesia. Tentu tidak menutup mata pada sistem pendidikan pesantren salaf yang dengan model pendidikan sorogan dan bandongannya juga menjadi pondasi kuat untuk membentuk pola piker dan kemandirian santri juga masyarakat sekitar pesantren.
Sosok seperti Mbah Khalil Bangkalan sudah banyak dibicarakan sampai hari ini, tentu berkat kiprah dan perjuangan semasa hidupnya. Mbah Khalil bukan saja ulama kharismatik yang menjadi pilar berdirinya NU, lebih dari itu Mbah Khalil gencar melawan penjajah.
Uniknya, perlawanan Mbah Khalil sering di belakang layar dengan memberi suwuk (mengisi kekuatan batin/tenaga dalam). Pun beberapa kali masuk tahanan penjajah meskipun pada akhirnya penjajah pusing gara-gara penjara penuh dnegan masyarakat yang silih berganti menjenguk dan ingin ditahan pula bersama Mbah Khalil (hlm. 54).Kecintaan santri dan masyarakat pada kiainya sering kali tidak bisa dinalar dengan akal.
Kiai kharismatik lain Bernama Syaikh Nawawi al-Bantani, setelah kurang dari 30 tahun menimba ilmu dari ulama-ulama di Makkah dan sekitarnya, Syaikh Nawawi mendapat perbendaharaan ilmu keagamaan serta mendapat pengalaman-pengalaman yang relatif cukup memadai untuk menjadi tokoh besar, ulama dan guru besar di Masjidil Haram. Pada akhirnya dengan kapsitas keilmuan dan pengalaman Syaikh Nawawi al-Bantani pada tahun 1860 M, ia mulai aktif mengajar setiap hari di Masjidil Haram (hlm. 79).
Kiai Hasyim Asy’ari pendiri NU yang juga melahirkan anak KH. Wahid Hasyim yang menjadi Menteri Agama Indonesia pertama dengan menggagas sistem pendidikan formal di pesantren. Yang bahkan cucunya kelak menjadi presiden kalangan kalangan santri.
Identitas Buku
Judul Buku : 99 Kiai Kharismatik Indonesia 1
Penulis : KH. A. Aziz Masyhuri
Penerbit : DIVA Press
Cetakan Pertama : Februari 2023
ISBN : 978-623-189-177-8