Oleh: Susi Qamariyah
Bunyi bel dan teriakan pengurus sudah akrab ditelingaku selama tiga tahun di pondok pesantren. Dengan malas kulangkahkan kaki ke kamar mandi seraya mengambil wudhu. Ajian adalah kegiatan yang paling kuenggani, namun semua ini tetap kulakukan karena sudah menjadi kewajiban.
“Mbak, kapan liburnya sih?” tanya salah satu temanku, aku hanya mengedikkan bahu
“Adik-adik dipercepat, jangan sampai ada yang terlambat” kata pengurus meneriaki kami kembali. Aku mempercepat kegiatanku di kamar mandi dan tergesa-gesa memakai pakaian yang sedari tadi tergantung di kardus di atas lemariku.
“sekarang bagiannya ustaz Idris kan?” tanyaku pada salah satu teman kamarku ketika sudah sampai di musalla pesantren.
“iya, tapi kayaknya dia tidak mau masuk”
“loh, kenapa? Bukannya dia paling rajin” susan sahabatku menimbrung pembicaraanku dengan dita.
“aku dengar dia sakit hampir satu minggu” kata dita
“sudah doakan saja semoga beliau cepat sembuh” kataku menutup pembicaraan mereka.
Sebenarnya pak idris masih ada ikatan keluarga denganku dari nenek, hanya saja aku diam tidak memberi tahu teman-temanku karena aku rasa itu tidak terlalu penting. Menurutku beliau yang paling beruntung, karena hanya beliau yang menjadi guru apalagi sampai punya pesantren.
“sal, duduknya yang rapi! Jangan seperti itu” tegur salah satu pengurus padaku yang duduk berselonjor.
“iya mbak” sautku smabil membenarkan posisi duduk yang benar.
“pojok, jangan berisik! Ustaz idris sudah datang” ujar pengurus pada anak-anak di pojokyang sedari tadi bicara tanpahenti.
Om idris datang? Bukannya tadi dita bilang sakit? Batinku
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
“sebelumnya saya minta maaf. Aba sekarang tidak bia hadir jadi saya yang menggantikannya. Baik sebelum dilanjutkan mungkin ada pertanyaan?”
“ustaz siapa namanya?”
“nama ya? Nama saya ahmad fajar, panggil saja saya fajar”
Hah! Kok bisa kak fajar sih?. Lagi-lagi akumembatin. Pelajaranpun segera dimulai, aku ingin cepat-cepat keluar karena risih akan tatapan kak fajar padaku, apalagi ditambah dengan senyuman, aku takut ada teman-teman yang melihat dan nanti malah timbul kesalah fahaman.
“sal, kamu kenapa sih? Kok dari tadi banyak gerak” kata susan menegurku. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Kulirik kak fajar, tatapannya masih mengarah kearahku seakan-akan memberi isyarat untuk bicara denganku. Namun akau langsung membuang tatapanku ke arah lain.
Ajianpun selesai, aku segera keluar dari musalla mendahului temanku. Aku takut apa yang tak pernah kuinginkan terjadi. Sesampainya dipondok aku dipanggil pengurus keamanan, jarang-jarang aku berurusan dengan keamanan bahkan dibilang tidak pernah hanya kali ini saja dan itu membuatku takut bukan main.
“ada apa mbak?”
“ada yang perlu”
“siapa mbak?”
“sepupunya”
Aku melangkah gontai ketempat pengiriman. Seketika langkahku terhenti melihat siapa yang mengunjungiku, dengan perasaan takut dan tak karuan aku menghampirinya.
“assalamualaikum kak, tumben ke sini ada perlu apa?” tanyaku sambil membuang muka. Karean tanpa dijawabpun akupun bisa menebak jawabannya.
“waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi
“alhamdulillah baik” jawabku ketus. Hening. Kami sama-sama terdiam tak ada yang berusaha mengalah mencairkan suasana.
“ekhem, kamu tidak perlu marah sama orang tuamu, di sini yang patut disalahkan itu aku. Karena kau yang tidak mengizinkan aba untuk membatalkan perjodohan ini” aku diam mendengarkan setiap kalimat yang ia lontarkan kepadaku. Tak ada niatan untuk mejawab, karena aku malas untuk menanggapinya apalagi masalah ini. Karena aku diam kak fajar ikutan diam, aku memandanginya ternyata dia juga melalukukan hal yang sama.
“alasan kakak apa? Padahal om idris sudah ingin membatalkannya, kenapa kakak masih ingin mempertahankan?” kataku menggebu, kudengar dia menghela napas
“harus berapa kali kukatakan padamu, kalau aku itu mencintaimu. Apa kamu butuh alasan lain?”
“simpan saja alasanmu, lebih baik sekarang kakak kembali ke pondoknya. Di sini pesantren, masalah ini tidak baik kalau dibahas di sini. Apalagi kita sama-sama santri” kataku mengingatkan. Kak fajar hanya mengiyakan perkataanku
“salam sama om idris, semoga cpat sembuh. Assalamualaikum” pamitku seraya beranjak meninggalkannya.
Sekembalinya ke pondok aku memikirkan percakapan tadi, semuanya kembali berputar begitu saja tanpa ada perantara yang memutarnya.
“sal, kamu harus jelasin semuanya” kata susan tiba-tiba
“maksudmu apa nih?”
“kamu siapanya ustaz fajar?”
“bukan siapa-siapa” jawabku sambil melangkah pergi meninggalkan susan yang menggerutu tidak jelas.
“maafkan aku ya san, bukannya aku tidak mau cerita. Hanya saja sekarang aku lagi malas apalagi soal kak fajar” batinku
Sehabis magrib, aku meluapkan semuanya yang kusimpan mulai kemarin melalui air mata. Aku menangis sejadi-jadinya, mengenai prjodohan itu. Perjodohan yang tidak kuinginkan adanya apalagi dengan keluargaku sendiri.
“kamu kenapa menangis sal? Kalau ada apa-apa cerita sama aku atau sama dita jangan dipendam sendiri “ saran susan sambil mengelus bahuku dengan saying. Lagi-lagi aku diam,bimbang antara bercerita atau tidak.
“benar sal, punya masalah itu jangan dipendam sendirian” dita ikut menimbrung. Perlahan-lahan aku mulai bercerita semuanya dimulai dari keterikatan keluarga antara aku dan kak fajar hingga perjodohan itu, perjodohan yang tak pernah aku harapkan.
“aku harus bagaimana?” tanyaku meminta pendapat
“sudah salat istikharah? Kalau belum, salatlah! Semisal hasilnya baik kau harus berusaha mecintainyasesulit apapun itu” lagi-lagi susan bersuara
“betul sal, apalai ustaz fajar begitu mencitaimu jadi kamu harus berusaha mencintainya balik” ujar dita
Aku hanya mendengarkan perkataan mereka, tak ada niatan merespon sama sekali. Aku mulai mengikuti saran susan dan dita untuk melakukan salat istikharah. Sudah satu minggu aku melakukannya dan hasilnya tetap sama.
“mungkin ini yang terbaik” batinku
Perlahan-lahan aku ulai menerima kenyataan ini, karena sekuat apapun aku menyangkal kehadirannya, kalau allah tidak menghendaki tidak berpisah semuanya akan sia-sia. Aku juga sudah bilang ke ibu kalau aku mulai menerima kak fajar, entahlah apakah ibu akan memberi tahu om idris. Satu minggu setelah itu kak fajar mengunjungiku kembali, apalagi yang akan dia bicarakan aku tak tahu.
“bagaimana kabarnya?” tanyaku mulai pembicaraan
“Alhamdulillah baik, seperti yang kamu lihat sekarang”
“ada perlu apa kak?”
“makasih, udah mau menerima kakak. Aku harap itu bukan paksaan”
“iya, sama-sama. Insyaallah ini bukan paksaan kok kak, ini murni dari hati salma”
“kamu jaga diri baik-baik ya. O iya, jika suatu saat kakak jauh dari kamu, jangan pernah lupain kakak sebagai orang yang mencintaimu” aku hanya mengangguk dan kembali ke pondok dengan perasaan yang mulai sulit kuartikan.
Satu minggu setelah kunjungan itu, aku mendapat kabar yang merobek isi hatiku. Kabar yang tak ingin kudengar, ibu mengunjungiku dengan air mata yang tertahan di kedua bola matanya.
“ada apa bu? Kelihatannya ibu bersedih?”
Kakakmu nak….” Katanya menggantungkan kalimatnya
“maksudnya kak fajar? Dia kenapa?”tanyaku setenang mungkin meski hatiku mulai tak karuan.
“dia…. Diakecelakaan nak, dan tak bisa tertolong lagi”
Deeggg,,,,
Seseorang, siapapun itu tolong katakan kalau ini hanya mimpi
“ibu pasti bercanda kan?”
“tidak nak, ibu tidak bohong. Kakakmu benar-benar kecelakaan”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, tangisku pecah walau tanpa suara. Kenapa disaat aku mulai mencintainya dia malah pergi meninggalkanku hingga akupun tak sanggup untuk mengejarnya
“kamu yang sabar ya nak, ibu ngerti perasaanmu kok. O iya, ini ada titipan dari om idrisnya, katanya ia menemukan disaku jaket kakakmu” aku menerima amplop itu dan merobeknya, sebenarnya aku tak sanggup membaca isinya, kentara sekali kalau tulisan itu masih baru ditulis
Untuk adikku salma….
Sal,,
Aku harap tuhan selalu erbaik hati akan keadaanmu. Di sudut manapun semoga kebahagiaan menyertaimu. Aku mendengar kamu mulai menerima kehadiranku dan itu membuatku senang. Aku harap itu bukan paksaan hanya karena kamu kasihan akan aku.
Sal,,,
Aku harap kamu selalu mencintaiku di sudut manapun itu, aku mohon jangan pernah merubah rasa itu apalagi sampai melupakanku sebagai orang yang mencntaimu dengan tulus.
Sal,,,
Aku mencintaimu.
Berbahagia selalu sayangku.
Kakakmu
Ahmad Fajar
Aku kembali menangis setelah membaca surat itu. Kenapa aku harus kehilangannya disaat aku mulai mencintainya? Dan kini aku mengerti ucapannya sewaktu mengunjungiku kemarin, jadi tu maksud ucapannya kala itu.
Tuhan,,,
Lindungi dia selalu
Ucapku dalam hati, kemudian beranjak pergi setelah berpamitan kepada ibu. Aku harus mulai merelakan dia pergi meski nyatanya semuanya sangat menyesakkan