Oleh: Ahmad Danieal Karim
Berbicara cinta, setiap orang pasti memiliki rasa cinta, kehendak untuk mencintai, perasaan cinta dan suka terhadap sesuatu. Meskipun yang dicinta adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat, setidaknya cinta sudah dapat memunculkan zatnya. Sama halnya ketika Rasulullah mencintai umatnya yang ada di akhir zaman, cinta yang sangat besar terhadap sesuatu yang tiada di depan mata, tidak dapat diraba, didengar, bahkan tidak semasa dengannya Tetapi bagaimana beliau dapat mencintai hal yang tidak jelas keberadaannya. Hal seperti ini tidak cukup bila hanya dijawab dengan perumpamaan angin yang terus memberi kesejukan namun angin itu sendiri tidak dapat dilihat.
Orang yang terlalu mengandalkan rasionalitas akan acuh terhadap perumpamaan yang demikian, orang seperti itu membutuhkan jawaban yang dapat dicerna oleh akal. Jika cinta ada ukurannya, maka ukuran cinta beliau sudah melampaui batas normal. Namun sebenarnya cinta tidak ada ukurannya. Cinta memiliki arti sendiri tergantung setiap pengalaman para pencinta. Lantas apa definisi cinta terkait sudut pandang tentang kecintaan Rasulullah terhadap umatnya? Pastinya beliau memiliki definisi sendiri mengenai cinta yang dirasakan olehnya.
Dilansir dari situs NU Online (6/10/2022), Imam Qadhi Iyadh, di antara empat makna cinta kepada Rasulullah adalah mengutamakan hal yang dicintai. Perspektif Qadhi Iyadh di sini terbukti dengan adanya Islam yang dapat dianut oleh siapa saja tanpa memandang siapa dan apa dia. Hidup Rasulullah dikorbankan untuk menyebarluaskan agama Islam, agama yang mengajarkan anti permusuhan dan saling mengayomi. Perjuangan dalam mewujudkan keadaan yang demikian telah dijalani oleh beliau, untuk apa beliau berjuang terhadap hal seperti itu? Tidak lain untuk umatnya.
Jika ditilik lagi, zaman akhir penuh dengan dusta dan kerusakan. Namun sebab perjuangannya dunia dapat menghindari dusta dan kerusakan yang bertebaran dengan cara mengamalkan sikap tarahum (saling menyayangi) yang diajarinya. Dengan adanya sikap ini, sebagai manusia yang saling membutuhkan satu sama lain, agar tergerak untuk tidak menyesatkan sesama manusianya pada jalan yang tidak seharusnya.
Dari sebab adanya cinta timbullah kerinduan terhadap yang dicintainya. Sepasang kekasih akan saling merindukan setiap saat untuk saling bertemu dan bertukar pandang. Jika kita juga mencintai Rasulullah yang telah mencintai dan pastinya merindukan umatnya, niscaya akan muncul rasa cinta diiringi rindu kepadanya.
Selanjutnya, apa yang harus kita ungkapkan ketika kerinduan itu membuncah. Salawat adalah hal yang paling pas untuk mengungkapkan kerinduan kita kepadanya. Salawat akan menjadi media guna lebih akrab dengannya, dengan salawat kita seakan-akan berdialog dengan Rasulullah, “inilah aku yang engkau rindu dan juga merindukanmu, kini telah datang ke hadapanmu untuk bertemu,” kira-kira begitu isi percakapan kita dengannya saat melantunkan salawat.
Segampang itukah bertemu dengan Rasulullah? sedangkan diri ini berlumuran dosa dan merasa tidak pantas untuk bertemu dengan orang suci seperti dia. Hal yang paling mendasar adalah kamu harus tetap bersalawat tanpa peduli seberapa banyak dosa yang telah dikerjakan, sebab salawat tidak memandang suci dan tidaknya seseorang bahkan orang-orang yang bobrok dalam ilmu agama semisal muallaf yang baru masuk islam pun dapat membaca dan memperoleh ganjaran salawat. Tidak mampu pada amalan bertemu Nabi yang bacaannya panjang, maka salawat menjadi pilihan tepat untuk kita. Salawat menjadi bacaan yang dapat kita baca di mana dan kapan saja, salawat relavan di setiap zaman, dan tentunya salawat dapat mengantarkan kita untuk memperoleh syafaat.
Saat cinta yang mendominasi dalam jiwa, maka semua akan dikorbankan demi cinta, apapun itu, bahkan ketika cinta sudah memuncak nyawa pun akan dikorbankan untuk cinta. Coba dilihat kembali para pejuang Islam saat berperang dulu, demi Rasululah yang dicintai dan demi kejayaan Islam yang dibawa oleh Rasulullah, mereka rela berjuang di medan jihad demi apa yang Rasulullah inginkan, yakni kejayaan Islam sehingga umat setelahnya dapat mencicipi nikmatnya Islam.
Negara Indonesia saja merdeka sebab adanya kecintaan pada tanah air dan generasi mendatang. Sekarang apa yang akan dibalas kepada mereka yang telah rela berkorban demi kita. Mereka yang berjuang, kita yang mencicipi. Mereka yang berjuang, kita hanya duduk manis di depan rumah. Lantas di mana terima kasih kita terhadap mereka? Kita dapat memohonkan ampun terhadap mereka, mendoakan mereka yang tidak dapat melihat kita namun masih sanggup mencintai kita, adalah hal termudah yang dapat kita lakukan sebagai ungkapan terima kasih.
Orang sering kali dilema terhadap keabsahan cinta pada Nabi melalui salawat. Memang salawat yang kita panjatkan tidak diketahui apakah sampai atau tidak kepadanya. Dilema yang seperti itu sudah biasa, sebab letak hati keimanan berbeda dengan letak hati kepercayaan kita terhadap sesuatu termasuk hal yang empiris atau dapat diindra. Tidak ada yang tahu terhadap hal yang gaib, sampai atau tidaknya yang penting kita sudah memaksimalkan usaha. Tapi orang yang menggerutu bahwa dia sudah berusaha dengan maksimal tapi seperti tidak ada hasil dari usaha tersebut, maka jalur langit (doa) ditambah tawakal harus maksimal juga, sebab tiga hal tersebut mempunyai korelasi erat guna mencapai kesuksesan.
Syafaat yang dijanjikan Rasulullah bukanlah isapan jempol belaka. Kisah pengarang burdah, syekh al-Bushiri, yang dahulunya sakit parah lalu dapat sembuh ketika selesai menulis burdah yang berisi pujian terhadap Nabi dari awal sampai akhir, itu adalah kisah yang benar adanya. Ketika tidur dia bermimpi Nabi, ketika bangun dia menulis pujian kepadanya hingga akhirnya dia sembuh dari sakit parah yang menimpanya. Allah memberikan pertolongan kepada sang syekh dengan perantara sang Nabi. Masih ragukah Anda untuk mencintainya dengan alasan tiada fakta yang mendukung? Padahal kisah cinta kepada beliau berserakan di luar sana.
*) Ahmad Danieal Karim, putra sulung dari Khatim Alfamah sekaligus Santri Angkatan Ke III Rayon KH. Ahmad Basyir AS PP Annuqayah Latee, Guluk-guluk Sumenep.