Oleh : Tarmidzi Ansory*
Perayaan hari kemerdekaan sudah selesai dilaksanakan, angka 78 menjadi saksi perjuangan kemerdekaan, sudahkah nasionalisme kita telah menyala atau masih buram karena tidak punya contoh untuk dijadikan cerminan.
Tulisan ini ingin mengulas sosok yang bisa dijadikan panutan untuk menata jiwa nasionalisme agar bisa menyala. Ialah Habib Lutfi Bin Yahya berasal dari Pekalongan Jawa Tengah sekaligus saat ini menjabat anggota dewan pertimbangan presiden. Ketika berbicara sosoknya tentu kita semua akan banyak mengambil ibrah atau pelajaran dari berbagai ilmu atau jejak kehidupan yang dicontohkan.
Salah satu hal yang sering habib Lutfi gaungkan hingga sekarang mengenai rasa nasionalimenya yang tak kunjung padam. Ia mencontohkan bagaimana menjaga dan tetap berbangga menjadi penduduk pribumi Indonesia, ia sangat gencar sekali menyuarakan esensi pentingnya mencintai dan merawat Negara ini.
Bahkan wujud tersebut sangat terasa ketika menghadiri beragam acara yang menghadirkan beliau pasti kita akan selalu menemui bendera merah putih Indonesia yang senantiasa berkibar entah berbentuk nyata atau visual.
Belum lagi isi mauidzah hasanahnya pasti mengajak kepada kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar) berupa wujud merawat tali persatuan sekaligus seakan menjadi jawaban bagi fenomena panas hari ini, banyak dilakukan oknom tidak bertanggung jawab dengan menbenturkan atau mengadu domba keberadaan ulama/kiai dengan para habaib untuk merusak persatuan penduduk pribumi.
Lebih mirisnya lagi ketika muncul wacana tes DNA bagi para habaib, hal itu sangat berbahaya dan bisa merusak persepsi masyarakat awam yang notabene hanya latah dan suka ikut-ikutan tanpa menelisik kebenaran. Meskipun setiap ada problematika muncul, pasti tersirat penyebab yang terkandung. Seperti kata pepatah tidak akan ada asap, apabila tidak dihidupkan api.
Menanamkan semangat nasionalisme
Setelah mengikuti beberapa hiruk pikuk perkembangan dari negeri ini, dimana embrio-embrio perpecahan mulai bermunculan dan bisa berdampak kehancuran. Rasanya hadirnya Habib Lutfi seperti oase di tengah padang pasir kegersangan.
Langkah yang diambil habib Lutfi bin yahya yang sangat gencar dan semangat menanamkan nasionalisme sifat kebanggaan kepada NKRI patut diapresiasi. Sebab memang ulama yang mangajak untuk berbuat melakukan kebaikan sudah banyak, atau rata-rata pastinya isi ceramahnya atau gerakan yang digelorakan berisi ajakan amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi jarang dari mereka yang menyuarakan sifat nasionalisme atau patriotisme.
Kecintaan habib lutfi dan himmahnya menyuarakan persatuan sangatlah begitu besar. Setuju atau tidak pondasi kokoh persatuan di Indonesia, terlahir dari para tokoh-tokoh dan para ulama’, habaib, yang punya kontribusi penting untuk merawat sendi-sendi persatuan dan persaudaraan melawan ujaran-ujaran kebencian dalam bingkai keberagaman.
Dawuh perintah mereka semua kepada rakyat republik Indonesia, seperti semuanya sudah dianggap benar.
Maka sewajarnya tugas dari ulama’, habaib menyuarakan nilai-nilai persatuan. Hal sangat bahaya apabila ada sebagian mereka firqoh melakukan gerakan tandingan. Atas dasar ketidaksenangan terhadap para pemimpin yang menurut mereka kurang, justru terkadang tidak sedikit yang menyampaikan ceramah berupa ujaran kebencian parahnya hal itu diutarakan kepada khalayak masyarakat awam, yang belum mampu mengendalikan emosi dan tidak punya prinsip pedoman.
Oleh karenanya fenomena tersebut tidak sedikit menyeret masyarakat dalam lingkungan jurang kebimbangan, serta kadang ikut arus melakukan ujaran kebencian sebagai benih munculnya perpecahan.
Contoh ngerinya ketika sudah gagal merajut persatuan, kita sebut saja Negara timor tengah seperti libia, sudan, suriah dan lainnya menjadi contoh nyata untuk dijadikan pelajaran bagi Negara Indonesia. Sehingga sebagai wujud mengantisipasi dan menyebarkan nasionalisme sejak dini. Maka Habib Lutfi punya cara tersendiri untuk merawat bingkai NKRI.
Ada beberapa persoalan penting kita ketahui beliau al-Habib lutfi bin Yahya mengajarkan kepada warga Negara Indonesia semua pertama agar tidak gengsi mengakui hasil rempah-rempah bumi pertiwi, sebab masih banyak sekali tempat atau daerah yang menamai produk sendiri yang tumbuh dari bumi NKRI, justru ketika dipasarkan membawa iming-iming nama daerah atau Negara luar negeri. Semisal kalau di pulau madura ada yang namanya pepaya California, jambu Bangkok, soto arab dan banyak lagi yang lainnya.
Padahal semua itu tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia, tapi mengapa mereka enggan mau menyebut ini papaya Indonesia, Ini Jambu Indonesia, Ini soto Indonesia dan seterusnya. Problematika tersebut membuat otak kita berfikir mungkinkah itu strategi masyarakat dalam memasarkan produknya agar cepat laku dan mahal harganya atau malah memang gengsi menjual dengan menyebut identitas dengan nama negaranya.
Kedua beliau juga berpesan agar kita semua senantiasa menghormati pemimpin dalam hal ini mulai dari kasta paling bawah hingga pimpinan Negara tertinggi. Pengamalannya bisa hormat dalam menyebut jabatan atau profesinya, kalau perlu jangan sampai menyebut namanya paling tidak kita bisa menyebut sebutan Pak (bagi kalangan pejabat), Gus, lora, mas, romo, kiai dan lainnya (bagi kalangan ulama).
Meskipun harus berbeda usia anggaplah kita saat ini berusia lebih tua dari pada kepala desa kita, sepantasnya kita tetap memanggil bapak sebagai bentuk menghormati profesinya. Jangan sampai panggilan cebong, kampret yang sempat terkenal selesai penghelatan pilpres 2019, masih dilestarikan hingga sekarang.
Tanpa kita sadari fenomena semacam itu selain merendahkan wibawa seorang pimpinan Negara juga bisa mencemarkan nama Negara Indonesia di mata Negara dunia.
Ketiga saling menjaga hubungan kita dengan sesama, dengan alam dan hewan yang tidak berbisa. Sebagaimana allah telah memulyakan ketiganya dalam mengabadikan lewat bait surat atau ayat-ayat al-qur’an. Salah satu implikasinya penghormatan kepada manusia, sebut saja keberadaan surat annas, Muhammad dan lainya.
Bagi hewan ada surat Al-ankabut (laba-laba), Al- baqarah (sapi), An- naml (Semut) dan lainnya. Selain itu juga ada ayat yang memperhatikan tumbuhan sebut saja ayat 57 surat al-a’raf, belum lagi dalam membahas eksistensi lingkungan allah swt telah mengajarkan lewat firmannya dalam al-quran.
Akhirnya rasa nasionalisme yang tertanam dalam sosok maulana Habib Lutfi Bin Yahya sudah sangat kompleks, sehingga jika kita mau belajar ilmu nasionalisme cukuplah bercermin mengikuti jejak-jejak beliau disitulah sebenarnya kita sudah belajar menjadi seorang yang nasionalis dengan tetap peduli kepada bingkai perbedaan dan mengedepankan kesatuan dengan diisi semangat memperbaiki hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, hewan dan alam lingkungan. Tidak perlu membuka teori-teori dari buku barat hanya untuk mau belajar sifat nasionalisme agar tertanam. Wallahu a’lam.
*Mengabdi Di PC ISNU Pamekasan dan Sditkis Al-Mardliyyah