Fenomena takfir dan menghalalkan untuk membunuh orang yang tidak sehaluan dengan kelompok mereka, merupakan ideologi radikal dari wujud intoleransi yang tidak mau menerima pendapat orang lain. Permasalahan ini bermula dari akar yang sama seperti pada pembahasan sebelumnya dalam artikel Bahaya Tuduhan Kafir
Kontesasi tahkim[1] yang memunculkan kelompok Khawarij, memiliki imbas yang begitu nyata. Pasalnya, pecahan dari kelompok Khawarij belum dapat dihilangkan sampai sekarang. Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa permasalahan takfir dan istihlal ad–dima’ (menghalalkan darah kelompok yang tidak sehaluan) adalah kasus paling buruk.
Pembagian pengelompokkan golongan di dalam umat beragama ini, bermula dari nash dari hadis Nabi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (72) dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.”[2] (HR. Ibnu Hibban)
Seorang Muslim diperintahkan agar selalu berhusnudzan kepada sesama Muslim, dan menafsirkan ucapan maupun perbuatannya dengan penafsiran yang baik selama masih bisa ditafsirkan dengan baik.
Imam Ghazali dalam kitab Al-‘Iqtishod mengatakan: “Dan hendaklah berhati-hati ketika mengkafirkan orang selama masih ada jalan. Karena yang menjadikan boleh (menumpahkan darah dan harta) kepada orang yang melakukan shalat menghadap kiblat, yang mendhahirkan diri dengan bacaan “tidak ada tuhan selain Allah” adalah tuduhan yang salah. Kesalahan membiarkan seribu orang kafir dalam keadaan hidup lebih ringan dibandingkan kesalahan menumpahkan darah orang Muslim yang terjaga.”[3]
Baca tentang Bahaya Tuduhan Kafir
Baca juga: Pro Kontra Memblokir Situb Web yang Berbahaya
Follow instagram Duta Damai Santri Jawa Timur
[1] Peristiwa pengangkatan juru Hakim antara kubu Sahabat Ali bin Abi Thalib dan Sahabat Muawiyyah bin Abi Sufyan yang terjadi pada saat Perang Siffin. Dalam kejadian ini Abu Musa al-Asy’ari merupakan perwakilan dan juri bagi pasukan Kufah (pasukan Imam Ali as) dan Amru bin ‘Ash merupakan perwakilan dari pihak pasukan Syam (pasukan Muawiyah).
Kedua perwakilan ini melakukan perundingan untuk menyelesaikan perbedaan antara kaum Muslimin satu dengan lainnya dan kedua pihak sepakat untuk memberikan pendapat sesuai dengan Alquran dan hadis. Usulan perundingan diajukan dengan tipu daya Amru bin ‘Ash dan Muawiyah dalam rangka menyelamatkan pasukan mereka dari pasukan Imam Ali as.
[2] Muhammad bin Hibban ad-Darimi, Shahih ibnu Hibban (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998), XIV/104.
[3] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtidshod fî al-I’tiqod (Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah, 2004), 135.
والذي ينبغي أن يميل المحصل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً. فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأ، والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك محجمة من دم مسلم. وقد قال صلى الله عليه وسلم: أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله محمد رسول الله، فإذا قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها. وهذه الفرق منقسمون إلى مسرفين وغلاة، وإلى مقتصدين بالإضافة إليهم، ثم المجتهد يرى تكفيرهم وقد يكون ظنه في بعض المسائل وعلى بعض الفرق أظهر.
Fenomena Takfir