Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 26 Des 2022 19:02 WIB ·

Fatwa Jihad Mengusir Para Penjajah


 Fatwa Jihad Mengusir Para Penjajah Perbesar

Oleh: Alaek Mukhyiddin

“Tidak ada satu pun yang dapat diperbuat untuk meredakan perlawanan para ulama kecuali ditumpas sampai habis.”

Snouck Hurgronje

Pernyataan sarjana barat sekaligus penasihat Belanda tersebut, menjelaskan secara tidak langsung pada kita, bahwa perjuangan santri dan ulama tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun realitanya masih sedikit santri dan ulama yang memangku gelar pahlawan. Bahkan cenderung aneh di telinga kebanyakan orang kalau sosok dengan baju taqwa dan sarung sederhana itu bisa berkontribusi besar untuk kemerdekaan negara.

Hal itu karena di sd atau sekolahan-sekolahan yang lain kita hanya dicekoki tentang usaha bangsawan, tokoh nasionalis dan tentara untuk kemerdekaan Indonesia. Tidak ada nama santri atau ulama sama sekali. Toh, kalaupun ada, mungkin hanya sebagai pemanis saja. Oleh sebab itu, kita tidak perlu kaget kalau dalam pertempuran 10 November di Surabaya, fatwa jihad Kiai Hasyim Asy’ari kalah pamor dengan pidato Bung Tomo yang berapi-api.

Kalau mau jujur, mungkin tanpa jasa dari para ulama yang dawuhnya lebih didengar dari pemimpin perjuangan mana-pun, terasa mustahil kemerdekaan akan segera diraih dan mendapat dukungan dari banyak kalangan. Pelosok desa tidak akan mengenal Bung Karno karena dahulu tidak ada televisi sehingga sulit untuk mengenali. Tidak seperti sekarang yang ada kejadian sedikit saja, masyarakat ujung jawa sudah mengetahuinya.

Meskipun itu hanya urusan sepele seperti KDRT. Di sinilah peran ulama dan santri yang cukup signifikan. Mereka menjadi corong bagi tokoh nasionalis di berbagai desa dan kalangan bawah. Dengan pengaruhnya yang besar mereka mengeluarkan fatwa Jihad untuk bahu membahu mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Di pesantren Sidogiri sendiri, ada Kiai Abdul Jalil bin Fadhil yang gugur bersama belasan muridnya. Jasad beliau dibuang ke sungai yang pada akhirnya membuat sepanjang aliran air semerbak wangi oleh darahnya. 

Ternyata, jauh sebelum dirayakannya seratus tahun Kerajaan Protestan Belanda pada 1913 M, muncul perang suci di Aceh pada awal abad ke-17 yang dipelopori oleh para guru agama. Perang tersebut mirip dengan perang suci yang diarahkan oleh Gereja Protestan di abad ke-11. Bedanya Perang Salib dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 M dalam sidang Konsili Clermont, sedangkan Perang Suci Aceh digaungkan oleh Syaikh Abbas Ibnu Muhammad di dalam kitabnya Tadhkirat ar-Radhikin pada tahun 1873 M.

Sebagaimana Paus Urbanus II yang menyerukan angkat senjata melawan Turki Seljuk, Syaikh Abbas mengeluarkan resolusi untuk jihad memerangi wilayah Aceh yang dikuasai oleh Belanda. Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan bahwa Aceh merupakan Dar al-Islam, kecuali daerah yang diperintah oleh Belanda maka menjadi Dar al-Harb. Jihad merupakan kewajiban fardu ain bagi umat Islam termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar al-Islam. Efeknya tentu luar biasa sehingga ketika Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah pada Januari 1904, Rakyat Aceh tetap solid melawan serdadu Belanda. Tentunya yang melanjutkan estafet jihad tersebut adalah para ulama Aceh yang terus berlanjut hingga tahun 1942 M.

Mungkin perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro (pangeran sekaligus ulama) hanya bertahan lima tahun (1825-1830), tapi surat-surat berisi fatwa jihad yang beliau tulis untuk kemudian disebar luaskan pada tokoh, bangsawan serta ulama, dapat memercikkan semangat jihad yang baru. Sehingga kemudian memicu pemberontakan petani di Banten, lahirnya tokoh Karismatik Kiai Zaenal Mustofa yang memimpin perlawanan Rakyat Singaparna dan banyak peristiwa lainnya juga yang dipicu oleh fatwa jihad dari beliau.

Pengaruh para ulama yang kerap disebut pendeta Islam itu diakui oleh tokoh penjajah sekelas Thomas S. Raffles (Letnan Gubernur EIC yang memerintah pada 1811-1816 M). Thomas berkata:

“ Karena mereka begitu dihormati maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar memberontak. Mereka juga menjadi alat paling bahaya bagi para tokoh nasionalis yang menentang Kolonial. Pendeta Islam itu ternyata merupakan golongan yang paling aktif dalam setiap pemberontakan.”

Fatwa Jihad bukan sekadar seruan atau serupa selebaran pasukan sekutu saat mengetahui perwira tinggi mereka tewas, tetapi lebih menentukan arah kemerdekaan bangsa ini. Bahkan jauh lebih menentukan daripada bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Kota Hiroshima dan Nagasaki. Fatwa jihad telah menjadi kartu truf perlawanan. Oleh karena itu meletuslah ledakan dahsyat seperti Perang Paderi, Perang Aceh, Perang 10 November dan banyak peristiwa lainnya yang sama menegangkannya dengan apa yang dialami Rakyat Jepang, saat setelah kekaisarannya menyerang diam-diam Angkatan Laut Amerika Serikat  di Pearl Harbor.    

Fatwa Jihad yang lain juga hadir di Surabaya karena pada 25 Oktober 1945 sudah bercokol tentara Belanda dan sekutu di Surabaya yang ingin menjadikan Indonesia sebagai kue untuk dibagi-bagikan. Untungnya tiga hari sebelum itu Kiai Hasyim Asy’ari sudah mengultimatum:

“Orang yang mati membela tanah air dari serangan penjajah adalah mati syahid.” Singkat, padat dan jelas, tetapi bisa menimbulkan euforia yang mirip dengan pasukan muslim di bawah komando Thariq bin Ziyad saat menaklukkan Andalusia.

Sehingga saat para santri dan ulama tahu tentang pendaratan penjajah, maka ribuan santri ber-sukacita ke Surabaya dengan dipimpin Kiai Wahab Hasbulloh, Kiai Masykur dan Kiai Machrus Ali Lirboyo. Akhirnya terjadilah pertempuran hebat yang membuat terbunuhnya Brigjen A.W.S Mallby. Hal itu membuat Jenderal Eric Carden Robert mengultimatum agar supaya Rakyat Surabaya meletakkan senjatanya. Di sinilah pidato Bung Tomo yang fenomenal itu ikut berperan.

Kemudian datang gelombang pasukan santri dan ulama berikutnya, guna menyongsong pertempuran 10 November yang berdarah. Pasukan santri tersebut dipimpin Kiai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, serta Kiai Subchi dari Parakan Wonosobo yang terkenal dengan kelompok jihad Bambu Runcing Parakan. Mereka sama gagahnya dengan aksi Puputan Margarana yang dilakukan oleh pasukan Ciungwanara-nya I Gusti Ngurah Rai pada 19 November 1946. Jadi, tidak bisa dimungkiri, kalau semangat religius Islami dapat mengubah jalannya peperangan. Meskipun semua itu harus dibayar mahal dengan lautan api dan banjir darah.

Dari uraian pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa relasi santri dan ulama memiliki prestasi tinggi karena dapat membuat semua elemen kalangan bernaung di bawah panji fatwa jihad. Sebagai azimat bangsa, Fatwa Jihad mampu membuat rakyat, santri, ulama dan tentara bahu-membahu mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.

Oleh karena itu, mungkin fatwa-fatwa jihad telah membekas dalam sejarah, namun efeknya masih bisa kita rasakan hingga kini, sehingga negara ini menjadi Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghofur, Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo.

*Santri Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur.

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tantangan dan Peluang Pesantren di Era Modern

27 September 2024 - 14:53 WIB

Mengetahui Seseorang Banyak Membaca Buku atau Tidak, Begini Caranya

22 September 2024 - 14:08 WIB

Peran Perempuan Muslim dalam Kepemimpinan: Menggali Kembali Ajaran Islam tentang Keadilan Gender

22 September 2024 - 14:04 WIB

Perayaan Maulid Nabi Sarana Memperkuat Persatuan Kebangsaan

21 September 2024 - 11:07 WIB

Pesantren: Pusat Pendidikan dan Pengembangan Karakter

21 September 2024 - 08:35 WIB

Upaya Dasar Pencegahan Bullying Di Pesantren

20 September 2024 - 21:13 WIB

Trending di Suara Santri