Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 12 Jun 2024 19:40 WIB ·

Etika Mencari Rezeki Secara Profesional dan Proporsional


 Etika Mencari Rezeki Secara Profesional dan Proporsional Perbesar

Oleh : Abdul Warits 

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa rezeki memang sudah diatur oleh Allah SWT sejak masih dalam kandungan. Lalu, mengapa manusia masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari. Sekelumit problematika dalam menyikapi persoalan yang tidak berbanding lurus dengan realitas ini dijawab dalam buku yang berjudul ‘Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja’ karya dari Imam Al-Muhasibi.

Imam Al-Muhasibi adalah seorang sufi yang karya-karya fokus terhadap tasawuf yang berorientasi terhadap psikologi moral. Ia berhasil memadukan antara, ilmu, tasawuf dan hakikat. Maka tidak salah, jika jika Prof. H. Abdul Kadir Riyadi menyebut kitab al-Makasib ini sebagai kitab yang membahas “Etika Ekonomi”. Sedangkan, Luis Massignnon mengkategorikan pemikiran tasawuf Al-Muhasibi ke dalam genre “moral psychology” yaitu tasawuf yang merambah ke wilayah psikologi moral.

Kitab ini penting menjadi rujukan masyarakat hari ini karena terdapat beberapa relevansi dengan kehidupan nyata masyarakat yaitu sikap-sikap yang perlu disemai agar masyarakat tidak hanya berpikir bagaimana mendapatkan harta yang banyak, tetapi juga bagaimana cara masyarakat untuk mendapatkannya. Tidak hanya tentang mendapatkan harta itu sendiri, tetapi memperhatikan dan mempertimbangkan bagaimana harta itu didapatkan.

Di dalam buku ini, Imam Al-Muhasibi menyebutkan kiat-kiat cara mengonversi iktiar duniawi agar bernilai ukrawi, mendapatkan rezeki halal dan berkah, menjelaskan secara rinci alasan syariat dan logika mengapa kita harus tetap berusaha mencari rezeki, motivasi untuk menjadikan kerja menjadi ibadah, serta mengurai bagaimana konsep “Allah telah mengatur rezeki manusia” dengan mudah dipahami oleh pembaca.

Buku terjemahan ini diawali dengan penjelasan bagaimana memahami hakikat ketentuan rezeki sesuai dengan keterangan yang ada di dalam Al-Quran dan hadits. Salah satu penjelasan Al-Quran di antaranya adalah bagaimana menanamkan sikap tawakal dalam diri manusia. Karena sejatinya, kewajiban seorang muslim sesudah Allah mencukupi rezekinya adalah menggunakan akal pikirannya untuk bertadabbur dan merenungkan penciptaan langit dan bumi, dan menumbuhkan sikap yang positif dalam dirinya (hal. 22). Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnu Athaillah As-Sakandari bahwa akal diiciptakan untuk mengatur dan memikirkan urusan ibadah, bukan untuk mengurusi rezeki. Allah telah menjamin rezeki bagi setiap makhluknya.

Dengan demikian, melalui Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ para ulama’, Allah telah menjelaskan bahwa manusia harus bekerja sesuai dengan perintah Allah. Jika tidak, sudah ada argumentasi (hujjah) yang tegas menyatakan kekeliruan mereka. Sebab itulah, perintah ini bukan hanya semata-mata bekerja akan tetapi juga mencari rezeki dengan tata cara yang benar seperti tidak melanggar batas-batas syariat, menerapkan prinsip wara’ dalam berbisnis, berkarya dan dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan, maka otomatis telah taat kepada Allah dan menjadi orang yang terpuji (hal. 40).

Buku ini menghadirkan kisah-kisah keteladanan dari para sahabat Nabi dalam menafkahi keluarganya. Sebagaimana kebijakan Abu Bakar As-Shiddiq saat menjadi khalifah agar menganjurkan umat Islam untuk bekerja dan mencari nafkah. Sebab bekerja untuk kebutuhan keluarga adalah perbuatan yang paling utam, paling merekatkan kekerabatan, dan ketaatan paling tinggi. Bahkan, Abu Bakar As-Shiddiq berujar,”aku tidak ingin menanggung dosa atas kelalaianku terhadap keluargaku (bila tidak sampai aku nafkahi). Berikan aku gaji yang layak!” (hal.55). Kemudian ditentukanlah gaji yang layak untuk Abu Bakar oleh Umar Bin Khattab dan Ali Bin Abi Thalib agar dia fokus mengatur urusan umat Islam saat kewajiban menafkahi keluarga sudah terpenuhi.

Disebutkan pula di dalam buku ini tentang perdebatan di kalangan para ulama antara bekerja dan tidak bekerja. Ada sebagian ulama yang mengatakan agar tidak bekerja dengan alasan bahwa Allah telah mencukupi rezeki setiap makhluk sehingga bekerja atau berusaha menyiratkan keraguan atas jaminan Allah. Akan tetapi, pandangan ini bertentangan dengan argumen-argumen rasional dan dalil-dalil sahih yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Rasulullah SAWtelah mencontohkan dalam urusan tawakal agar tetap melakukan ikhtiar (hal. 61).

Imam Al-Muhasibi menegaskan bahwa  Allah telah memastikan keutamaan bagi seseorang yang bekerja, dan Rasul-Nya telah memberi tuntunan bahwa bekerja bisa mendekatkan hati kepada Allah dan dapat menambah nilai ibadah, hati yang berserah diiri kepada Allah pasti mendorongnya untuk bekerja sebagai bentuk kepatuhan kepada-Nya.  Maka seharusnya bekerja tidak melemahkan frekuensi hati untuk mendekatkan diri dengan Allah (hal. 75). Penjelasan etika dalam bekerja secara professional dan proporsional di dalam buku ini dibuktikan dengan beberapa alasan ulama, kisah kisah para sahabat, dan dalil Al-Quran. Dilengkapi dengan penjelasan bagaimana bersikap tawakal dan wara’ dalam menghadapi sesuatu yang masih subhat serta beberapa strategi para ulama dalam mendekati dan mendapatkan pemberian dari pemerintah.

Membaca buku ini dengan utuh seakan mendapatkan kebijaksanaan bahwa rezeki yang sudah ditakar oleh Allah perlu untuk diselingi dengan sikap ikhtiar dan wara’ dalam mendapatkannya. Tidak hanya bagaimana kita mendapatkan rezeki, akan tetapi dengan cara dan strategi yang diperbolehkan oleh syariat. Hal ini dilakukan agar bekerja menjadi benar-benar bernilai ibadah di hadapan Allah dan mendapatkan keberkahan di tengah-tengah kehidupan umat manusia.

Judul                : Jika Tuhan Mengatur` Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja?
Penerjemah   : Abdul Majid, Lc
Penerbit          : Turos Pustaka
Cetakan          : Juli, 2022
Tebal               : 181 halaman
ISBN                : 978-623-732-77-07

Artikel ini telah dibaca 23 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Santri Sebagai Pilar Perdamaian di Dunia Perpolitikan

21 November 2024 - 09:10 WIB

Bahaya Politik dan Pertumpahan Darah, Bagaimana Solusinya?

19 November 2024 - 11:42 WIB

macam-macam darah wanita

Peran Santri dalam Membangun Generasi Emas Indonesia

17 November 2024 - 12:42 WIB

Dari Keraguan ke Keyakinan: Menemukan 7 Rahasia Kekuatan Pribadi dalam Diri

16 November 2024 - 10:11 WIB

Menakar Efektivitas Pemberdayaan Sistem Koperasi dalam Program “Solusi Nelayan”

11 November 2024 - 14:43 WIB

Strategi dan Cara Menemukan Perubahan Positif dalam Diri

11 November 2024 - 14:23 WIB

Trending di Suara Santri