Oleh: Susi Qamariyah
Warung kopi yang semula sepi dari pengunjung kini telah ram,,ai bahkan, kekurangan tempat untuk sekedar duduk. Terpaksa harus duduk diemperan warung yang berfondasi tanah. Penjual tampak kewalahan melayani pembeli yang mulai berdatangan. Bahkan pelanggan setia warung sebelah pindah semua pada warung baru itu, banyak dari mereka mengatakan setiap menyesap secangkir kopi di sana, kenikmatan serasa milik mereka tersendiri.
“huh, dasar si Wildan, berani-beraninya dia merebut pelangganku.”kata Herul pemilik warung kopi sebelah.
“yang sabar maz, lihat saja nanti aku akan buat mereka tergila-gila akan aroma kopi kita.” Si lelaki tidak menanggapi perkataan istrinya. Amarah benar-benar naik keubun-ubun, andai saja tidak dicegah oleh istrinya,, kemungkinan Wildan telah terkapar sejak tadi.
Wildan semakin kawalahan dan untungnya pelanggan mulai berkurang, sehungga dia punya kesempatan untuk istirahat. “mau dIbuatin kopi bang?.” Tanya Sila sang istri. Wildan hanya mengangguk sambil menyeringai. Tatapannya tertuju pada warung kopi sebelah yang begitu sepi bahkan nyaris tanpa pelanggan. “rasakan itu, suruh siapa kamu mencaci maki keluargaku dan meremahkan usahaku dalm membangun warung ini. Kamu kira aku tidak bakalan punya biaya, lihatlah sekarang warung siapa yang lebih ramai?.” Sila sang istri mengiyakan perkataan suaminya sereaya menyuguhkan secangkir kopi.
**
Malampun tiba, warung milik Wildan masih belum tutup. Sebab pengunjung masih berdatangan. Jiak ada yang pulang pasti ada yang datang, begitu seterusnya. Ditengah-tengah kesIbukan melayani pengunjung, Wildan sempat menoleh pada warung sebelah yang sedang tutup. “tumben sekali warungnya si Herul tutup.” Tukasnya pada sang istri yang juga tengah menatap pada warung yang tampak hening, sepi dan begitu seram karena tidak satupun lampu menerangnya. Rupanya jam menunjukkan pukul 11.30, mau tidak mau Wildan harus segera menutup warungnya dan terpaksa pengunjung warung itu harus segera membubarkan diri. Diam-diam Wildan masih saja memikirkan warung Herul yang tutup malam ini, tidak biasanya. Setibanya dirumah, Wildan langsung merebahkan diri karena penat telah dialami dan ngantuk mulai menyerang perlahan-lahan hingga akhirnya mata itu tertutup rapat.
Rupanya Sila dan Wildan sudah bangun dan siap berangkat kewarung kopinya. Karena, mereka menyangka pengunjung telah lama menanti, mereka terus menaikkan kecepatan melajunya takut para pengunjungnya telah bubar. Setibanya diwarung mereka terkejut melihat kejadian yang begitu tidak diharapkan. Emosi telah menjalar keseluruh tubuh hingga keubun-ubun. Dengan keberanian Wildan melangkah menuju warung sebelah yang telah ramai akan pengunjungnya kemarin.
“eh, si Wildan tumben ke sini?.” Sapa Amina istri Herul. Wildan tidak menanggapi pertanyaan itu.
“hey, sobat, mau menikmati kopi kami?.” Tanya Herul dengan nada mengejek. Tidak ada jawaban dari Wildan, mau tidak mau dia harus duduk dan merasakan kopi racikan herul.
Wildan langsung menyesap kopi itu, tidak bisa dipungkiri kopi Herul lebih eNak dari pada kopi miliknya. Herul yang di sampingnya menyeringai dalam diam menyaksikan Wildan yang telah menghabiskan kopinya, detik berikutnya Wildan telah pulas tertidur untuk selamanya. seringaian Herulpun semakin jelas. Wildan tidak pernah tahu apa yang telah herul campurkan kedalam kopi yang diminum Wilodan tadi, begitupun dengan sila yang juga terkapar dibangku pojok sana. Herul dab Amina tertawa menyaksikan dua mayat mati ditangan mereka.