Oleh: Saiful
Perkembangan politik Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena menarik dalam sejarah modern bangsa ini. Berawal dari perjuangan mendirikan negara berdasarkan prinsip-prinsip Islam, politik Islam telah melalui berbagai transformasi seiring dengan perubahan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Dari masa kemerdekaan hingga era Reformasi, ideologi politik Islam di Indonesia telah beradaptasi dan bertransformasi, menuju apa yang oleh beberapa sarjana disebut sebagai post-Islamisme.
Buku ini ada empat bagian; arsitek politik Islam; agama dan politik; radikalisme, terorisme, dan puritanisme di Indonesia; dan isu-isu kontemporer sosial-keagamaan di Indonesia. M. Mujibuddin memulai dengan mendefinisikan konsep-konsep dasar seperti Islamisme—sebuah gerakan yang berupaya menerapkan hukum Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat—dan terorisme—tindakan kekerasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik atau ideologis. Penulis berargumen bahwa tidak semua gerakan Islamisme berujung pada terorisme, meskipun ada kelompok tertentu yang menggunakan kekerasan sebagai alat perjuangan.
Bab-bab selanjutnya mengeksplorasi bagaimana Islamisme muncul dan berkembang dalam konteks sejarah dan politik tertentu, terutama di Timur Tengah. Penulis menelusuri akar-akar ideologis dari gerakan-gerakan Islamis, mulai dari Ikhwanul Muslimin di Mesir hingga kelompok-kelompok jihad modern seperti Al-Qaeda dan ISIS. Penulis juga mengulas bagaimana berbagai negara, baik di dunia Muslim maupun Barat, merespons ancaman terorisme dan bagaimana hal ini memengaruhi kebijakan domestik serta internasional.
Salah satu kekuatan buku ini adalah pendekatan akademis yang kritis namun objektif. M. Mujibuddin tidak hanya mengandalkan literatur Barat, tetapi juga mengintegrasikan sumber-sumber dari dunia Islam, sehingga memberikan perspektif yang lebih seimbang. Namun, buku ini juga mengajak pembaca untuk kritis terhadap cara media dan pemerintah membingkai narasi tentang Islam dan terorisme, yang sering kali cenderung menyederhanakan masalah dan menciptakan stereotip negatif terhadap umat Islam secara keseluruhan. Namun demikian, bisa jadi menantang bagi pembaca yang kurang familiar dengan terminologi akademis atau konteks sejarah yang dibahas. Meskipun penulis berusaha menjelaskan konsep-konsep dengan cukup rinci, beberapa bagian mungkin memerlukan pemahaman lanjutan tentang studi Islam dan politik Timur Tengah.
Semangat kebangkitan Islam mulai terlihat ketika para pemimpin Muslim muncul ke ruang public dengan membawa gagasan negara Islam. Gerakan-gerakan Islam di Mesir dan India merupakan contoh bagaimana kebangkitan Islam secara politis tampil ke public dengan respons atas dominasi Eropa di dunia Islam, baik secara politik ataupun pengetahuan (hal. 14). Dari masa kemerdekaan hingga era Reformasi, ideologi politik Islam di Indonesia telah beradaptasi dan bertransformasi, menuju apa yang oleh beberapa sarjana disebut sebagai post-Islamisme. Artikel ini akan menelusuri perjalanan ini, mulai dari peran para arsitek politik Islam di masa awal kemerdekaan hingga dinamika post-Islamisme yang muncul dalam lanskap politik kontemporer Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, politik Islam berperan signifikan dalam menentukan arah politik dan ideologi negara, dengan tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir, Wahid Hasyim, dan Zainul Arifin sebagai arsitek utama yang memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam konstitusi negara. Partai Masyumi, sebagai kendaraan politik utama kelompok Islamis, mengadvokasi pembentukan negara berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Namun, upaya tersebut menghadapi tantangan besar ketika konsensus nasional memilih Pancasila sebagai dasar negara, yang mengakibatkan marginalisasi formal aspirasi kelompok Islamis dalam perdebatan konstitusi. Meskipun demikian, pengaruh politik Islam tidak lenyap; ia terus berkembang melalui keterlibatan dalam parlemen dan pemerintahan, menunjukkan adaptasi dan kontinuitas peran politik Islam dalam struktur negara.
Memasuki era reformasi, keadaan perpolitikan Indonesia berubah. Perubahan ini didasarkan atas hadirnya kesadaran masyarakat tentang politik. Bahkan keadaan semacam ini melahirkan berbagai macam ormas, terutama Islam. Misal, Front Pembela Islam (FPI), Komite Persiapan Pembentukan Syariat Islam (KPPSI), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (hal. 56-57). Kita bisa melacak post-Islamisme dari sini. Hadirnya ormas dan parpol Islam. Tapi, hal ini bukan semata-mata bahwa fenomena tersebut baru dalam panggung perpolitikan Indonesia, karena jauh sebelum hal tersebut pada awal reformasi, ada gerakan Islamisme yang dikomandani Kartosoewirjo (DI/TII) untuk mengganti NKRI menjadi negara Islam.
Berbeda dari periode awal kemerdekaan, partai-partai Islam pada era Reformasi tidak lagi mengusung agenda negara Islam secara eksplisit; sebaliknya, mereka menekankan penerapan nilai-nilai Islam dalam kerangka Pancasila dan demokrasi. Pergeseran ini mencerminkan perubahan ideologis penting di mana Islam diakui sebagai sumber nilai moral dan etika dalam politik, tanpa menjadikannya sebagai dasar hukum negara. Dalam konteks demokrasi Indonesia yang pluralistik, politik Islam terus beradaptasi, mencari relevansi dan dukungan di tengah masyarakat yang beragam.
Identitas Buku
Judul Buku : Terorisme, dan Islamisme
Penulis : M. Mujibuddin
Penerbit : IRCiSoD
Halaman : 188 hlm: 14 x 20 cm
ISBN : 978-623-5348-08-7