Oleh: Abdul Warits
Media sosial telah menjadi kepentingan berbagai kalangan untuk mencapai berbagai tujuannya di berbagai ranah kehidupan seperti politik, ekonomi, budaya, seni, sosial dan lainnya. Media sosial hari ini memang menjadikan manusia bisa mengekpresikan sebebas-bebasnya kehendaknya.
Di sisi lain, media sosial menjadi positif jika digunakan untuk mempromosikan produk-produk atau berbagai jenis bisnis lainnya. Akan tetapi, media sosial akan menjadi “keruh” ketika masyarakat hanya menciptakan hoaks yang menjadi epidemi terhadap pemikiran masyarakat Indonesia.
Media sosial hari ini yang semakin menunjukkan perkembangannya setiap waktu. Kita tahu, seringkali gerak media yang ada di Negara Indonesia dibenturkan dengan beragam kasus-kasus actual lainnya. Seperti media ketika dihadapkan dengan kontestasi politik, sikap independensi, etika dan lainnya.
Seringkali hoaks akan dianggap menjadi fakta yang tertunda. Bagaimana tidak, jika awalnya seringkali penyebarnya sengaja melempar hoaks kemudian terjadi perdebatan. Dalam perdebatan itu, akan ada pro dan kontra. Lalu, opini dimainkan. Kemudian aka nada usulan-usulan untuk penyelesaian sampai saling menantang di pengadilan. Dari sinilah hoaks itu bisa jadi benar sesuai fakta atau tidak. Inilah yang dimaksud bahwa hoaks adalah fakta tetapi masih tertunda.
Fakta-fakta baru media massa salah satunya bagaimana peran hanstag sebagai salah satu pemicu sekaligus menjadi pemersatu. Akan tetapi, gerakan hanstaq ini merupakan gerakan spontan masyarakat dari berbagai macam kepentingan. Sehingga hanstaq menjadi gerakan sosial masyarakat masa kini. Karenanya, kita tidak bisa memandang sebelah mata hanstaq yang ada di media sosial.
Hanstaq bisa menjadi pisau bermata dua. Ia bisa membuat popularitas seseorang atau lembaga, mencari keuntungan dan lain-lain. Namun demikian, hanstaq juga menjadi aturan hukum sementara hakimnya adalah individu. Netizen bisa menghakimi orang lain atau lembaga tertentu hanya dengan hanstaq sehingga kemudian menjadi trending topic di jagat media massa.
Sebagai masyarakat terdidik, dalam menyikapi berbagai macam hanstaq yang bergentayangan saat ini seyogyanya kita harus menyikapinya sebagai sebuah gerak perkembangan teknologi komunikasi. Meski hanstaq tersebut seakan mengajak berperang pikiran dan emosi apalagi saat ada kontestasi politik di negeri ini. Jangan sampai hanya gara-gara hanstaq ini kemudian terjadi tindakan kekerasan di Negara Indonesia sampai bertumpah darah. Maka, hanstaq harus dibalas dengan hanstaq. Maka, masyarakat Indonesia bukan masih berada dalam budaya komentar tetapi lebih kepada budaya berpikir dan bekerja. Karena berpikir dengan jernih menghadapi media sosial akan lebih mematangkan seseorang dalam merespon sesuatu.
Menjamurnya media massa online hari ini menjadi tugas tersendiri bagi kaum terdidik agar tidak mudah diprovokasi oleh berbagai kepentingan. Karena realitanya, masyarakat kita dalam mengkonsumsi sebuah informasi memang berdasar kepada selective perception yaitu kecendrungan individu yang secara sadar akan mencari informasi yang bisa mendorong kecenderungan dirinya (bisa pendapat, sikap atau keyakinan). Sebab itulah, diperlukan sikap kritis dan tabayun (verivikasi) dalam menyerap fakta yang ada dalam sebuah berita. Karena media sosial telah menjadi alat penyebar luas hasrat manusia.
Media tidak hanya memberitakan fakta linear tetapi fakta yang menyeluruh dan mencakup. Misalnya media memberitakan proses latar belakang, proses dan riwayatnya, dan mengaitkannya dengan yang lain. Dengan hal ini, maka media akan memiliki reputasi yang baik, tidak hanya sebatas sebagai alat komoditas fakta politik untuk tujuan-tujuan politik sesaat pula.