Oleh : Mutawakkil
Ibnu Katsir, nama yang tak asing bagi para pengkaji Al-Quran, telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menyebarkan ilmu tafsir.
Beliau adalah salah satu ulama terkemuka yang karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi para penafsir Al-Quran hingga saat ini.
Dengan gaya bahasa yang sederhana dan jelas, Ibnu Katsir berhasil menyajikan tafsir Al-Quran yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Pendapat dan gagasannya yang inovatif memberikan sudut pandang baru dalam memahami isi dan kandungan Al-Quran.
Nama lengkap beliau adalah Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir bin Dau’ bin Katsir Al-Qursyi Ad-Dimisyqi As-Syafi’, seperti yang tercatat dalam kitab ‘Umdatut Tafsir ‘anil Hafiz Ibnu Katsir.
Beliau lahir pada tahun 701 Hijriah (ada juga yang mengatakan lahir pada tahun 700 H) di sebuah desa bernama Majdal, Suriah bagian selatan. Ibnu Katsir wafat pada bulan Sya’ban 774 H. Masa Kecil Ibnu Katsir kecil tumbuh sebagai sosok seorang anak yang memiliki nasib kurang beruntung dalam hidupnya.
Beliau tumbuh sebagai anak yatim, karena ayahnya, Syekh Al-Khatib Syihabuddin Abu Hafs bin Katsir wafat pada tahun 703 H, tepatnya ketika usia Ibnu Katsir menginjak dua tahun.
Kemudian ia hidup bersama dengan ibu dan saudara-saudaranya. Baca Juga Kompleksitas Khilafah dalam Tafsir Ibnu Katsir Ayahnya merupakan seorang ulama ahli khutbah dan ahli fiqih pada masanya. Ia merupakan rujukan banyak orang ketika ada suatu problematika dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Meskipun harus kehilangan ayahnya di usia sangat muda, semangat Ibnu Katsir untuk menuntut ilmu tidak pernah padam.
Kepergian sang ayah saat Ibnu Katsir baru berusia dua tahun tentu menjadi pukulan berat, namun ia mampu bangkit dan membuktikan bahwa tidak adanya sosok ayah bukanlah penghalang untuk meraih cita-cita.
Kegigihannya dalam menuntut ilmu akhirnya membuahkan hasil, membuatnya menjadi salah satu ulama besar dalam sejarah Islam.
Tumbuh di lingkungan keluarga yang sangat religius, Ibnu Katsir sejak kecil telah ditempa dengan nilai-nilai keislaman.
Ayahnya seorang ulama, ibunya seorang wanita salehah, dan para pamannya juga ulama yang alim. Pendidikan awal Ibnu Katsir didapat langsung dari para pamannya. Berkat lingkungan yang kondusif ini, Ibnu Katsir mampu menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan dengan sangat baik.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Muhammad Syakir dalam kitab ‘Umdatut Tafsir: اِشْتَغَلَ بِالْعِلْمِ عِنْدَ أَخْوَالِهِ بَنِي عُقْبَة بِبَصْرَى، فَقَرَأَ الْبِدَايَةَ فِي مَذْهَبِ أَبِي حَنِيْفَةَ وَحَفِظَ جُمَلَ الزَّجَّاجِي وَعَنَى بِالنَّحْوِ وَالْعَرَبِيَّةِ وَاللُّغَةِ وَحَفِظَ أَشْعَارَ الْعَرَبِ
Artinya, “(Ibnu Katsir) menekuni ilmu pengetahuan kepada para pamannya, Bani Uqbah di Bashrah. Kemudian ia belajar kitab Al-Bidayah dalam mazhab Imam Abu Hanifah, hafal kitab Jumal (ilmu nahwu) karya Imam Az-Zajjaj, juga mendalami ilmu nahwu, bahasa Arab, dan bahasa lainnya. Ia juga menghafal syair-syair Arab.” (Ahmad Muhammad Syakir, ‘Umdatut Tafsir ‘anil Hafiz Ibni Katsir, [Maktabah Darul Wafa], halaman 23).
Selain beberapa kitab di atas, di tempat tersebut Ibnu Katsir juga sangat giat membaca dan menghafal Al-Quran. Ia menyelesaikan hafalan Al-Quran ketika memasuki usia 11 tahun.
Ia tidak hanya hafal, namun juga tahu terhadap semua bacaan-bacaan Al-Quran dengan mengikuti mazhab-mazhab ulama ahli qira’ah. Setelah Ibnu Katsir berhasil mendapatkan banyak cabang ilmu syariat dari pamannya, ia melanjutkan studi keilmuannya menuju kota Bashrah bagian timur.
Di tempat tersebut ia mendalami ilmu fiqih mazhab Syafi’i kepada salah seorang ulama tersohor dalam kalangan mazhab Syafi’iyah, yaitu Imam An-Nawawi. Ia juga berguru kepada Imam Taqiyuddin Al-Fazari, Imam Burhanuddin Al-Fazari, dan Imam Kamaluddin ibnu Qadhi Syuhbah.
Di bawah bimbingan para ulama terkemuka, Ibnu Katsir tidak hanya berhasil menyerap ilmu agama secara mendalam, tetapi juga mampu menghafal kitab-kitab klasik seperti At-Tanbih karya Imam As-Syirazi.
Hal ini sebagaimana dikatakan: تَفَقَّهَ عَلىَ الشَّيْخَيْنِ: بُرْهَانِ الدِّيْنِ الْفَزَارِي وَكَمَالِ الدِّيْنِ ابْنِ قَاضِي شُهْبَة، وَحَفِظَ التَّنْبِيْهَ لِلشِّيْرَازِي فِي فُرُوْعِ الشَّافِعِيَّةِ وَمُخْتَصَرِ ابْنِ الْحَاجِبِ Artinya, “(Ibnu Katsir) mendalami ilmu fiqih kepada dua guru, yaitu: Imam Burhanuddin Al-Fazari dan Kamaluddin ibnu Qadhi Syuhbah. Ia berhasil menghafal kitab At-Tanbih karangan Imam As-Syirazi, yang menjelaskan tentang cabang-cabang fiqih mazhab Syafi’iyah. Ia juga menghafal kitab Mukhtashar karangan Imam Ibnul Hajib.” (Ibnu Katsir, Muqaddimah Qashashul Anbiya’, [Darul Qalam], halaman 9).
Selain berguru kepada Imam Al-Hafiz Abul Hajjaj Al-Mazzi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Najmuddin Al-‘Asqalani, Imam Abul Qasim Al-Azdari, Syamsuddin An-Nabilusi, Dhiyauddin An-Nahwi, dan Bahauddin Ibnu ‘Asakir Ad-Dimisyqi, Ibnu Katsir juga menimba ilmu dari banyak ulama terkemuka lainnya pada masanya.
Perjalanan menuntut ilmu yang panjang telah membuahkan hasil yang luar biasa bagi Ibnu Katsir. Ia tidak hanya menguasai satu cabang ilmu, namun berhasil mendalami berbagai disiplin ilmu agama.
Kepakarannya yang luas ini membuatnya dihormati oleh banyak ulama pada masanya.
Berikut ini beberapa karya-karyanya:
Ahkamut Tanbih.
Jami’ul Masanid.
Tafsir Al-Qur’anil Azhim.
Al-Ahkamus Sughra fil Hadits.
Al-Ijtihad fi Thalabil Jihad.
Ikhtisharu ‘Ulumil Hadits.
Al-Bidayah wan Nihayah.
Thabaqatul ‘Ulama; dan kitab-kitab lainnya.