Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Ruang Tokoh · 10 Mei 2024 22:47 WIB ·

Biografi Imam Al-Ghazali


 Biografi Imam Al-Ghazali Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thaus Ahmad al-Thusy al-Ghazali. Lahir tahun 1058 M/450 H di Ghazalah, desa dekat Thus (sebuah kota kecil di Iran), suatu daerah yang pada masa itu dikenal sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan. Dari kota ini lahir sejumlah penyair dan ulama besar, seperti Firdawsi, Umar Kayam, Abu Yazid al-Busthami dan Husayn ibn Manshur al-Hallaj. Ayahanda al-Ghazali sendiri adalah seorang ulama.

Namun, sayang ayahandanya terlalu cepat dipanggil Allah. Al-Ghazali ditinggal Sang Ayah ketika ia masih kecil. Sebelum wafat, Sang Ayah telah menitipkan al-Ghazali kepada salah seorang temannya yang dikenal sebagai sufi hingga al-Ghazali berumur 15 tahun. Usai belajar pada teman Sang Ayah itu, al-Ghazali belajar ilmu  fikih Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-Radzkani. Tahun 465 H., al-Ghazali berangkat ke Jurjan Mazandaran untuk belajar kepada Imam Abi Nashr al-Isma’ili.

Pada waktu di Jurjan ini, al-Ghazali menulis buku pertama, al-Ta’liqat fi Furu’ al-Madzhab. Buku berjudul al-ta’liqat yang berupa catatan-catatan kecil sebagai komentar atas berbagai isu dan persoalan kalam dan filsafat.[1] Tidak hanya itu dalam mengarungi mencari pengatahuan ia mendapat bimbingan dari seorang guru sufi yang paling setia membantu perkembangan spiritual al-Ghazali adalah Yusuf al-Nassaj. Ia mengarahkan untuk sering berzikir dan melakukan praktik-praktik sufistik[2]

Tahun 470 H. /1077-8 M., ketika berumur 19 tahun, al-Ghazali berangkat ke Nishabur untuk belajar di al-Nizhamiyah. Di sekolah ini, ia belajar fikih, teologi, logika, filsafat Ibnu Sina pada Abu al-Ma’ali al-Juwaini. Ia mendapat julukan Imam al-Haramain (imam dua masjid haram) (1085 M). Dalam waktu yang relatif singkat (7 tahun) dan pada saat usia yang masih muda (antara 18-25 tahun) ia sudah dapat menulis sekian banyak karya dengan kualitas yang sedemikian tinggi. Dia patut dianggap sebagai ulama-intelektual raksasa, bahkan oleh gurunya sendiri. Al-Juwaini yang merasa “tersaingi” oleh muridnya pernah berkata kepadanya dengan nada sedikit bercanda, “engkau telah menguburkan dengan karya-karyamu. Tidakkah engkau bersabar sejenak hingga aku mati, baru engkau menuliskan ide-idemu.”[3] Al-Juwaini sangat membanggakan al-Ghazali. Ia kerap menugaskan al-Ghazali untuk memimpin diskusi-diskusi ilmiah. Setelah al-Juwaini meninggal dunia (478 H./1085), al-Ghazali belajar tasawuf pada Abu Ali al-Fadh ibn Muhammad ibn Ali al-Farmadhi al-Thusi (w. 1084), salah seorang murid Imam al-Qushairi, penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyah. Dari al-Farmadhi, al-Ghazali banyak belajar jalan-jalan kesufian hingga al-Farmadhi meninggal dunia di Thus pada tahun 477 H./1084 M.

Kedalaman ilmunya itulah yang mengantarkan al-Ghazali menempati kedudukan puncak di Universitas Nizhamiyah. Di perguruan tinggi itu al-Ghazali tak hanya mengajar melainkan juga ditunjuk sebagai rektor dalam usia 34 tahun. Selama empat tahun lamanya (1091 M.-1095 M.), al-Ghazali menjabat rektor al-Nidzamiyah di Baghdad. Namun, selama menjadi rektor al-Ghazali merasa ada yang salah dari pemerolehan jabatan dan karir intelektualnya.[4] Ia ingin segera meninggalkan Baghdad dan berhenti sebagai rektor. Pada tahun 488 H./1095 M, al-Ghazali menderita suatu penyakit yang menyebabkan aktivitas mengajarnya terganggu. Ada yang berkata bahwa penyakit itu muncul akibat keraguan al-Ghazali, apakah ia akan tetap melanjutkan karir politiknya sebagai rektor ataukah berhenti sebagai rektor lalu pulang ke kampung halaman. Kebimbangannya ini dituturkan al-Ghazali dalam kitabnya, al-Munqidz min al-Dlalal sebagai berikut: “Pernah aku merenung dan berfikir untuk meninggalkan Baghdad dengan segala kemewahannya. Tetapi, hatiku ragu. Keinginan kuat di waktu pagi untuk menggapai kebahagiaan akhirat tiba-tiba pupus di sore hari. Kecenderungan duniawi telah menjadi rantai pengikatku. Suara keimanan dalam hati berseru, “bersiaplah! Umur tinggal sedikit sementara perjalanan masih panjang. Ilmu dan amalmu hanya pamer dan imagi. Jika kamu tak segera mempersiapkan bekal menuju akhirat, maka kapan kamu akan mempersiapakan? Jika kamu tak memutus diri dari pengaruh dan godaan duniawi, maka kapan kamu akan memutus? Saat itu, maka muncullah kemauan keras untuk lari dan membebaskan diri. Lagi-lagi setan berkata, “itu hanya perasaan sesaat, tak perlu kamu hiraukan, karena sebentar lagi juga akan sirna.  Tak usah kamu tinggalkan kedudukanmu ini, karena kamu akan menyesal. Tak mudah kamu meraihnya kembali”.

Lama aku terombang-ambing antara tendensi duniawi dan motif ukhrawi. Hampir enam bulan, sejak awal Rajab 488 H. hingga puncaknya ketika Allah mengunci lisanku dan aku tak kuasa untuk mengajar. Pernah aku hendak memaksakan diri, demi menyenangkan orang-orang, tetapi tidak satu katapun bisa keluar dari mulutku. Sangat menyedihkan. Nafsu makan hilang dan kesehatan merosot. Para dokter yang merawatku putus asa. Mereka berkata bahwa penyakit itu bersumber dari hati (amr nazala bi al-qalbi); tidak ada obatnya kecuali istirahat dan melepaskan diri dari segala pikiran. Lalu aku bersandar hanya kepada Allah hingga Allah meringankan hatiku untuk berpaling dari urusan kedudukan, harta,…

Tak terlalu lama dari itu, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad. Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, ia menegaskan bahwa dirinya takut masuk neraka jika terus menerus hidup dalam lingkungan kerja yang tak bermoral. Ia khawatir dirinya akan terseret dalam perbuatan tercela seperti korupsi yang yang marak di kalangan para ulama istana saat itu. Bagi al-Ghazali, kenikmatan dunia dengan segala tipu dayanya adalah musuh Allah (fa inna al-dunya ‘aduwwuh Allah azza wa jala bi ghururiha). Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, ia menjelaskan bahwa karya intelektual yang telah dihasilkannya tak menjadi jembatan untuk mengantarkan dirinya untuk berada dekat di sisi Allah.

Ia berkata bahwa tendensi duniawi seperti kedudukan dan popularitas (thalab al-jah wa intisyar al-shit) adalah motif dominan (ba’itsuha wa muharrikuha) di balik penulisan karya-karya itu. Dengan alasan etis moral itu, Al-Ghazali keluar dari Baghdad menuju Damaskus Suria, selama dua tahun. Waktu di Damaskus ini, ia menghabiskan banyak waktunya dengan bersemedi di menara mesjid Umayyah yang belakangan dikenal dengan Menara al-Ghazali. Sambil menjalani hidup asketik dan pelaksanaan ritual peribadatan, Al-Ghazali mulai menulis Ihya’ Ulum al-Din.

Dari Damaskus, ia terus mengembara menelususi berbagai negara, seperti Jerusalem, Hebron, Mesir (Kairo dan Alexandria), Madinah, Mekah, kembali ke Baghdad sebentar di bulan Juni 1097, sebelum akhirnya ia pulang ke kampung halamannya, Thus. Setelah berbulan-bulan berada di Mekah dan Madinah, ia memilih kembali ke tanah kelahirannya. Tentang kepulangannya ini, al-Ghazali dalam kitab al-Munqidz min al-Dhalal menyatakan, “Dari pengembaraan panjang ini, aku pulang ke rumah, karena panggilan anak-anak dan keperluan keluarga lainnya. Ketika di rumah, aku berusaha untuk ‘uzlah, khalwat, dan membersihkan hati (tashfiyah al-qalbi li al-dzikr). Berbagai peristiwa, urusan keluarga, dan keperluan hidup, mempengaruhi tujuan dan mengganggu kejernihan khalwat (tusyawwisyu shafwah al-khalwah). Hanya sesekali aku bisa mendapat kesempatan sempurna. Aku tidak putus asa dan khalwat terus berjalan. Demikian, sampai berlangsung sekitar sepuluh tahun”.[5]

Selama berada di kampung halamannya ini, al-Ghazali melanjutkan menulis kitab sekaligus mengajarkan Ihya` Ulum al-Din. Ia berdakwah menyampaikan hasil yang diperolehnya dalam mencari kebenaran. Al-Ghazali menyeru agar orang bertaubat dan mendorong mereka meninggalkan hidup keduaniwian. Baginya, semua perjalanan spiritual bagi manusia yang terjerembab dalam dosa mesti dimulai dari sebuah penyesalan dan pertobatan. Al-Ghazali juga menyeru agar orang beriman kembali pada kehidupan sederhana demi menggapai kehidupan akhirat. Di tanah kelahirannya ini, al-Ghazali membangun Khaniqah bagi para sufi dan madrasah bagi mereka yang hendak belajar agama. Di Khaniqah dan madrasah ini, al-Ghazali menenggelamkan seluruh aktivitas kesehariannya dengan membaca al-Qur`an, mengajar, berpuasa, shalat tahajjud, dan berpuasa hingga meninggal dunia. Beberapa tahun sebelum meninggal, Al-Ghazali seperti melakukan konversi intelektual dari rasionalisme ke sufisme.

Al-Ghazali meninggal pada waktu Subuh hari Senin, 14 Jumad al-Tsani 505 H. bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M., dalam usia 53 tahun (namun di buku Memahami Ajaran Tasawuf yang ditulis oleh Ust. Labib Mz Al-Ghazali meninggal usia 54 tahun (Ust. Labib Mz, 2011, 84)). Sedangkan menurut Ibnu al-Imad, ia meninggal usia 55 tahun. Al-Ghazali dimakamkan di luar Thabaran, dekat makam seorang penyair terkenal, Firdawsi. Tentang kematinnya, saudara Al-Ghazali bernama Ahmad bercerita bahwa suatu waktu al-Ghazali berwudhu` dan berdo’a, dan kemudian berkata; “bawakan kain kafanku”, kemudian ia mengambil dan menciumnya, dan meletakkan di hadapan mukanya seraya berkata, “dengan senang hati saya memasuki Kehadirat Kerajaan”.

Kemudian ia meluruskan kakinya dan berlalu menemui sang Khalik. Nama Al-Ghazali (Abu Hamid al-Ghazali) sangat populer di lingkungan umat Islam. Rasanya amat jarang pelajar Islam yang tak mengenal tokoh ini. Ia bahkan menempati kedudukan istimewa di hadapan umat Islam (arfa’u makanah bayna al-nas). Sejumlah kitab buah tangan al-Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri.

Hampir semua pondok pesantren di Indonesia terutama di Jawa dan Madura mengajarkan kitab-kitab tasawuf karya al-Ghazali seperti Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, hingga kitab Ihya’ Ulum al-Din. Pada saat ini di pesantren, kitab Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, dan Ihya’ Ulum al-Din banyak menghiasi rak buku para santri. Jika kitab Bidayah al-Hidayah mendapatkan kedudukan khusus di kalangan santri yunior (mubtadi’), kitab Minhaj al-Abidin menjadi bahan kajian santri setengah senior (mutawassith), maka kitab Ihya’ Ulum al-Din mendapatkan perhatian pokok di kalangan santri senior (muntahi) dan para ustadz bahkan kiai-pengasuh pondok pesantren.

Sebagaimana umumnya para sufi lain, Imam al-Ghazali meletakkan tasawuf tetap dalam koridor syariat. Baginya, tasawuf tak boleh dipisahkan dari syariat. Namun, syariat yang dijalankan al-Ghazali bukan syariat yang bersifat legal formal semata melainkan syariat yang basah dengan spirit moral dan etika. Syariat adalah wadahnya, sedangkan tasawuf adalah isinya. Dalam konteks itu, Al-Ghazali melakukan interpretasi esoterik terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Inilah salah satu jasa intelektual al-Ghazali yang dicatat sejumlah akademisi muslim kontemporer.

Al-Ghazali adalah tokoh Islam yang bisa memadukan antara fikih yang bergerak di wilayah eksoterik dan tasawuf yang berjuang di domain esoterik. Dengan kehadiran al-Ghazali, polemik panjang antara ahli fikih dan ahli tasawuf saat itu bisa diminimalkan kalau tak bisa diakhiri sama sekali. Bahkan, tak hanya durasi ketegangan antara fuqaha dan ulama sufi yang bisa dikurangi melainkan juga volume penyerangan dan penghukuman mati terhadap para sufi–sekurangnya pada zaman Al-Ghazali–bisa terus ditekan.

Referensi

[1] Abdul Kadir Riyadi, Arkeologi Tasawuf: Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), hal. 152.

[4] Ust. Labib MZ, Memahami Ajaran Tasawuf, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, Cet I, 2001). Hal. 82

 

Artikel ini telah dibaca 41 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ini Daftar 17 Pahlawan Indonesia asal Jawa Timur

29 Agustus 2024 - 23:06 WIB

Istimewa! Berikut Daftar 22 Ulama Nusantara yang Dimakamkan di Jannatul Ma’la

28 Agustus 2024 - 15:11 WIB

Biografi Syekh Mahfudz At-Tarmasi

28 Agustus 2024 - 14:32 WIB

Nasionalisme Syekh Nawawi Al-Bantani dan Pengabdiannya di Masjidil Haram

28 Agustus 2024 - 13:19 WIB

Mengenal Syekh Nawawi Al-Bantani, Ulama Indonesia yang Mendunia

27 Agustus 2024 - 20:13 WIB

Ini 12 Pahlawan Nasional dari Tokoh NU

25 Agustus 2024 - 09:51 WIB

Trending di Ruang Tokoh