Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 27 Mei 2024 22:39 WIB ·

Biografi Imam Abu Hasan Al-Asyari


 Biografi Imam Abu Hasan Al-Asyari Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Dalam ranah teologi, Ahlussunnah wal jamah memang berbeda dengan paham muktazilah yang cenderung rasionalitas. Akan tetapi, Abu Al-hasan Al-asy’ari sebenarnya adalah seorang yang pernah menganut paham muktazilah. Meski pada akhirnya ia sadar bahwa ahlussunnah adalah jalan terbaik. Menurut Tajudin As-subki menyatakan bahwa selama 40 tahun Abu Hasan Al-Asy’ari menganut paham muktazilah sebelum akhirnya Allah melapangkan dadanya lalu membela agama Allah dengan membantah segala pemikiran yang sesat.[1]

Abu Hasan Al-Asyari memang dikenal sebagai ulama yang memiliki kecerdasan dan ketajaman pemahaman yang sangat luar biasa, zuhud, dan qanaah. Bukti-bukti tentang keteladaannya dapat kita temukan dari sikapnya untuk melakukan shalat istikharah saat dirinya dan umatnya dirundung permasalahan akidah yang luar biasa ketika itu. Kemudian, ketika tertidur ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan diperintahkan untuk menetapi sunnahnya. Sejak saat itulah, Abu Hasan Al-Asyari berpegang teguh pada prinsip ahlussunnah wal jamaah. Bahkan, ia berhasil menulis kitab Al-luma’, sebuah kitab pedoman teologi ahlussunnah wal jamaah yang ditulis 1100 tahun yang lalu.

Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Muktazilah akhirnya meninggalkan ajaran Muktazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asaakir, ialah pada suatu malam al- Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW. Mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Muktazilah salah.[2]

Menurut suatu riwayat, ketika al-Asy’ari mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan didepan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Muktazilah, antara lain, Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan- pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut: “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya.[3]

Argumentasi teologis Abu Hasan Al-Asyari terhadap problematika umat Islam pada abad ke-9 masehi. Saat itu aliran Muktazilah, Qadariyah, Khawarij, dan Syi’ah Rafidhah masih menjadi pegangan masyarakat. Akidah tersebut mendakwahkan pemahaman beberapa hal mendasar—yang oleh Abu Hasan Al-Asy’ari—dinilai keluar dari jalur ahlussunnah. Melalui kitab Al-Luma’ Al-Asy’ari menyegarkan kembali pemahaman teologi Islam dan mengembalikannya ke alur pemahaman yang seharusnya.

Al-Asy’ari mempelajari ilmu Kalam dari seorang tokoh Muktazilah yaitu Abu ‘Ali al-Jubbâi. Karena kemahirannya ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun demikian pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran Muktazilah dan condong kepada pemikiran para Fuqaha dan ahli Hadis, pada hal ia sama sekali tidak pernah mengikuti majlis mereka dan tidak mempelajari ‘aqidah berdasarkan metode mereka.

Abu Hasan Al-Asyari dengan sangat lugas. Misalnya ketika ada orang bertanya apa dalil yang menunjukkan bahwa makhluk memiliki pencipta yang menciptakannya dan pengatur yang mengatur dirinya? Maka jawabannya adalah sebagai berikut: dalil yang menunjukkan hal itu adalah manusia yang berada pada puncak kesempurnaan (sempurna bentuk dan sifatnya) sebelumnya berupa nutfah (air mani) lalu bermetamorfosa menjadi segumpal darah. Kemudian menjadi daging dengan darah dan tulang. Sebab itulah, menurut Abu Hasan Al-Asyari manusia tidak bisa mengubah dirinya sendiri dari keadaannya saat ini ke keadaan yang lain. Karena dapat kita lihat, manusia memiliki akal yang tidak dapat menciptakan pendengaran ataupun penglihatannya sendiri. Sebagaimana diapun tak dapat menciptakan anggota tubuh bagi dirinya sendiri.[4]

Contoh kecil ini adalah bentuk resistensi yang dilakukan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari terhadap aliran-aliran yang lain yang menyimpang dari ahlussunnah. Meski harus diakui bahwa saat masa mudanya Abu Hasan Al-asyari berguru kepada  pemuka sekte Muktazilah, justru pengalaman berdiskusi dengan mereka ini menjadi bekal untuknya kelak dalam mematahkan segala argumentasi muktazilah ketika terpanggil untuk membela ahlussunnah wal jamaah.

Persoalan sepele tentang teologi menjadi permasalahan mendasar yang akan menggoyahkan Iman seorang untuk beralih ke aliran lain. Maka, analisis dari argumentasi yang disampaikan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari menjadi pembelaan yang siginifikan terhadap Ahlussunnah wal jamaah menjadi perantara untuk meneguhkan akidah umat Islam.

Referensi 

[1] Imam Asy’ari, Alluma, Pedoman Teologi Ahlussunnah Wal Jamaah, (Jakarta: Turos Pustaka, 2021), hal, 202.

[2]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Ed. II. (Cet. I; Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2002), hal, 66.

 

Artikel ini telah dibaca 51 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Politik Damai: Jalan Menuju Kehidupan yang Harmonis

21 November 2024 - 08:56 WIB

Politik dan Kemanusiaan dalam Pilkada Serentak

19 November 2024 - 11:09 WIB

Membangun Kehidupan Berbangsa Melalui Toleransi dan Keadilan

30 Oktober 2024 - 06:13 WIB

Radikalisme dan Upaya Pembentukan Desa Siaga sebagai Benteng Keamanan Nasional

30 Oktober 2024 - 05:55 WIB

Menilik Sejarah Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

26 Oktober 2024 - 05:18 WIB

Radikalisme dan Tantangan yang Dihadapi Negara

26 Oktober 2024 - 05:06 WIB

Trending di Kontra Narasi