Oleh : Abdul Warits*
Masyarakat Madura akan menghadapi Pemilihan pada tahun 2024 mendatang. Masyarakat akan menyumbangkan hak demokrasinya masing-masing. Memilih dengan hati nurani adalah salah satu perantara agar pemilihan kepala desa sesuai dengan harapan bersama, tidak menimbulkan konflik, menjaga kerukunan dan keharmonisan. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa pemilihan kepada desa di pulau Madura mengandung nilai-nilai fanatisme dan harga diri yang tidak pernah padam dalam kenangan masyarakat.
Menjadi pemimpin ideal tidak mudah. Sebab, secara tidak langsung, pemimpin ideal sangat didambakan oleh setiap lapisan masyarakat dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga negara. Sebab itulah, menentukan pemimpin yang ideal dalam membangun desa tentu sangat diimpikan demi kemajuan bangsa Indonesia dari wilayah pinggiran yang menyimpan sejuta potensi yang musti dikembangkan. Buku ini tentu akan menjadi bekal dalam membangun peradaban bangsa dari wilayah desa. Karenanya, masyarakat seharusnya mempunyai kriteria-kriteria yang berdasarkan kepada rasionalitas dan pertimbangan yang matang agar bisa memilih pemimpin yang benar-benar bisa membela kebenaran dan kesejahteraan bersama.
Dari itulah, buku ini menghadirkan beberapa keteladanan kepemimpinan Jawa yang sangat berpengaruh dalam mengubah tatanan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih berwibawa. Karena kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain agar mau melakukan sesuatu dengan senang hati. Maka, untuk menjadi seorang pemimpin harus memiliki sikap kepemimpinan yang baik agar bisa diterapkan kepada lingkungan sekitarnya. Dengan pengetahuan dari buku ini, masyarakat dan pemimpin yang terpilih akan diarahkan dalam mencari jati diri yang lama terpendam dengan berbagai strategi dan jurus pemimpin bangsa pada masa silam.
Buku ini mengungkap identitas Jawa dengan sangat kental. Salah satunya seseorang dianggap sebagai orang Jawa apabila memiliki jiwa jawi. Artinya, orang tersebut memiliki karakter serta pandangan hidup (falsafah) yang selaras dengan ajaran leluhur Jawa baik yang dituturkan secara lisan maupun ditulis dalam bentuk karya sastra (hal. 18-19). Karenanya, falsafah kepemimpinan Jawa adalah suatu pandangan filospfis seorang pemimpin yang ingin mewujudkan tujuan (cita-cita) bersama (pemimpin dan yang dipimpin) dengan berdasarkan kecintaannya kepada kebijaksanaan dan senantiasa berorientasi pada prinsip-prinsip kejawaan. (hal. 21). Prinsip kejawaaan ditunjukkan ke dalam beberapa ciri. Di antaranya sangat permisif, mengagung seni adiluhung, menyukai olah batin, menyeimbangkan hubungan kosmis, menerapkan etika dan menyukai musik gamelan.
Selain itu, buku ini menyuguhkan motivasi dan inpirasi dalam menumbuhkan sikap pemimpin masa depan yang cemerlang sesuai dengan nilai-nilai kejawaan yang khas. Salah satunya dibuku ini dihadirkan beberapa pelajaran kepimpinan masa lalu dari para raja dan pejuang bangsa yang sudah sukses dalam membangun bangsa Indonesia. Seperti Sultan Agung, Pengeran dipanegara, HOS Cokroaminoto, dr. Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, dr. Wahidin Sudirohusodo, Tirto Adhi Suryo, Jenderal Sudirman, Ir. Sukarno, H. Muhammad Suharto atau Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Mereka semua barangkali sudah menjadi pemimpin yang dikenang dalam menggerakkan perubahan terhadap bangsa Indonesia. Karenanya, pada tataran ini, buku ingin menghidupkan kembali perjuangan kepemimpinan mereka yang terpendalam dalam kenangan untuk menjadi refleksi terhadap kepemimpinan bangsa Indonesia hari ini.
Salah satu falsafah kepemimpinan yang bisa ditiru dari berbagai tokoh tersebut adalah Ki Hajar Dewantara, sebagai salah satu pahlawan pendidikan bagi bangsa Indonesia yang membebaskan masyarakat pribumi dari cengkeraman bangsa kolonial dengan mendirikan institut taman siswa, sebuah tempat belajar yang dikhususkan untuk masyarakat pribumi. Ada tiga falsafah kepimpinannya dalam bahasa Jawa. Pertama, Ing Ngarsa Sung Tulada yang mempunyai makna setiap pemimpin harus memberikan teladan, bukan sekedar perintah, himbaun atau larangan yang disampaikan secara oral. Kedua, ing Madya Mangun Karsa yang brarti bila berada di tengah harus membangun atau membangkitkan semangat. Ini mengajarkan kepada kita bahwa pemimpin hendaklah mampu membagikan semangat juang untuk meraih tujuan bersama. Ketiga, Tut Wuri Handayani yang berarti mengikuti di belakang dengan memberikan dukungan. Artinya, setiap pemimpin harus memberikan dukungan kepada rakyatnya yang memiliki tujuan mulia demi kemajuan bangsa dan negaranya. (hal. 144-145).
Tidak hanya itu, buku ini juga memaparkan berbagai sumber literatur yang menyinggung mengenai falasafah kepemimpinan semisal Serat Sastra Gendhing, Serat Wulang Jayeng Lengkara, Serta witaradya, Hasta Barta dan lain sebagainya. Beragam falsafah kepemimpinan di dalam buku ini sungguh bisa direkomendasikan kepada pembaca dalam membangun kejayaaan masa silam.
Identitas Buku
Judul : Falsafah Kepemimpinan Jawa
Pengarang : Sri Wintaya Ahmad
ISBN : 978-602-5805-10-3
Tahun terbit : 2018
Tebal halaman : 240 halaman
Penerbit : Araska