Dalam buku Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh, KH. Sahal Mahfudh pernah ditanya tentang bagaimana cara menyikapi perbedaan agar tidak sampai menimbulkan perseteruan yang sengit bahkan sampai berbuat intoleransi.
Dengan padat dan jelas, beliau menegaskan bahwa di tengah-tengah masyarakat, perlu adanya rangkaian sosialisasi fikih ikhtilaf (fikih perbedaan). Kemudian, ide yang disebarluaskan di ranah publik adalah penyuluhan tentang bagaimana suatu etika, wawasan dan solusi menetralisir ketegangan antar kelompok yang mengancam persatuan.[1]
KH. Sahal Mahfudh menyebutkan beberapa etika menyikapi perbedaan di antaranya:
- Memulai dengan husnudzan terhadap sesama;
- Menghargai pendapat orang lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil;
- Tidak memaksa kehendak bahwa pendapatnya yang paling benar, karena pendapat lain juga memiliki kemungkinan benar yang seimbang;
- Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furuiyyah (cabangan-cabangan ajaran) dan tidak membesar-besarkannya;
- Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan syahadat;
- Mengkaji perbedaan secara ilmiah dengan mengupas dalil-dalilnya;
- Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-malsah furuiyyah (cabang-cabang ajaran) karena ragamnya dalil. Di samping kemampuan akal yang berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil; dan
- Terbuka dalam menyikapi perbedaan. Dengan melihat fenomena tersebut sebagai hal yang positif karena memperkaya khazanah dan fleksibilitas agama. Di samping itu, tidak cenderung menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal, sebaliknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.
Itulah beberapa kriteria yang dapat kita pelajari, ketika terjadi ketegangan atau perseteruan akibat adanya perbedaan pandangan hal-hal lain yang berpotensi mengakibatkan ketegangan.
Baca juga: Kecaman Rasulullah Bagi Orang yang Bersikap Intoleran
Tonton juga: HUBUNGAN SANTRI DENGAN SUMPAH PEMUDA | Duta damai santi jawa timur
[1] Sahal Mahfudh, Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh (Surabaya: Ampel Suci, 2003), 488-489.
Etika Menyikapi Perbedaan