Intoleransi diambil dari kata toleransi. Penambahan kata prefik in- di depan memiliki makna “tidak, bukan”.[1] Toleransi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sifat atau sikap toleran; batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja.[2]
Kata toleransi pada dasarnya diambilkan dari kata ‘toleran’ yang bermakna sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan.[3] Sehingga dengan adanya penambahan prefik in- di depan, memiliki makna suatu sikap yang tidak dapat diterima dalam pengukuran kerja (perilaku yang melebihi batas yang tidak normal).
Sedangkan dalam bahasa Arab, intoleransi biasa dimaknai sebagai ta’ashub. Ta’asub diambil dari kata ‘ashobiyyah yang bermakna ajakan seseorang untuk mendukung kelompoknya. Bersatu bersama kelompoknya untuk melawan orang-orang yang menentang mereka. Tidak memandang kelompoknya itu adalah orang yang berbuat zalim atau orang yang teraniaya.[4] Penggunaan kata ‘ashobiyyah ini diambilkan dari hadis Nabi, yang pada suatu kesempatan Nabi ditanya tentang definisi ‘ashobiyyah.
مَا الْعَصَبِيَّةُ؟ قَالَ: الَّذِي يُعِينُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ
Apa itu ‘ashobiyyah? Rasulullah berkata: “Yaitu orang yang menolong saudaranya dalam kedzaliman.” (HR. Muslim)[5]
Jelas sekali bahwa sikap intoleransi sangat bertentangan dengan ajaran agama. Ini bisa dipandang karena orang yang memiliki sikap ini ketika menghakimi suatu masalah tidak bersikap secara rasional yang obyektif. Pemikiran mereka tertutup, membabi buta dalam bertindak, tidak mampu membedakan pembelaan terhadap orang yang salah dan orang yang benar, selagi mereka adalah kelompoknya, maka ia akan membelanya.
Rasulullah sangat mengecam bagi orang yang berlaku intoleran. Dalam hadis dikatakan:
عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، ولَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَصَبِيَّة، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukan termasuk dari golonganku orang yang memiliki sikap ‘ashobiyyah, dan bukan dari golonganku orang yang membunuh dikarenakan sikap ‘ashobiyyah, dan juga bukan dari golonganku orang yang mati karena sikap ‘ashobiyyah.”[6]
عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ، يَدْعُو عَصَبِيَّةً، أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً، فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera kefanatikan yang mengajak kepada ‘ashobiyyah atau mendukung ‘ashobiyyah, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.”[7]
Cukup sudah kecaman dari Rasulullah di atas, sebagai bukti bahwa perilaku intoleran sangat dilarang dalam agama Islam.
Baca juga: Kecaman Nabi Muhammad bagi Orang yang Bertindak Radikal
Tonton juga: HUBUNGAN SANTRI DENGAN SUMPAH PEMUDA
[1] Muhammad Ridwan Efendi, “Mitigasi Intoleransi dan Radikalisme Beragama di Pondok Pesantren Melalui Pendekatan Pembelajaran Inklusif,” Jurnal Pedagogie, Vol. 1. No. 1 (2020): 61, doi: 10.52593/pdg.01.1.05
[2] Meity Taqdir Qodratillah, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1772
[3] Ibit.
[4] Muhammad bin Mukarrom al-Afrîkî, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dâr as-Shâdir, 1414), I/606.
والتعصب: من العصبية. والعصبية: أن يدعو الرجل إلى نصرة عصبته، والتألب معهم، على من يناويهم، ظالمين كانوا أو مظلومين. وقد تعصبوا عليهم إذا تجمعوا، فإذا تجمعوا على فريق آخر َ
[5] Abu Ya’la Ahmad al-Maushili, Musnad Abî Ya’la (Damaskus: Dâr al-Ma’mun li at-Turats, 1984), XIII/477.
7492 – حدثنا أبو الأشعث أحمد بن المقدام العجلي، حدثنا عبيد بن القاسم، حدثنا العلاء بن ثعلبة، عن أبي المليح الهذلي، عن واثلة بن الأسقع، قال: تدانيت النبي صلى الله عليه وسلم بمسجد [ص:477] الخيف، فقال لي أصحابه: إليك يا واثلة، أي تنح عن وجه النبي صلى الله عليه وسلم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «دعوه , إنما جاء يسأل» قال: فدنوت، فقلت: بأبي أنت وأمي يا رسول الله , لتفتنا عن أمر نأخذه عنك من بعدك، قال: «لتفتك نفسك» قال: قلت: وكيف لي بذلك؟ قال: «دع ما يريبك إلى ما لا يريبك، وإن أفتاك المفتون» قلت: وكيف لي بعلم ذلك؟ قال: «تضع يدك على فؤادك، فإن القلب يسكن للحلال , ولا يسكن للحرام، وإن الورع المسلم يدع الصغير مخافة أن يقع في الكبير» قلت: بأبي أنت وأمي , ما العصبية؟ قال: «الذي يعين قومه على الظلم» قلت: فمن الحريص؟ قال: «الذي يطلب المكسبة من غير حلها» قلت: فمن الورع؟ قال: «الذي يقف عند الشبهة» قلت: فمن المؤمن؟ قال: «من أمنه الناس على أموالهم ودمائهم» [ص:478] قلت: فمن المسلم؟ قال: «من سلم المسلمون من لسانه ويده» قلت: فأي الجهاد أفضل؟ قال: «كلمة حكم عند إمام جائر» ٍ
[6] Abu Muhammad al-Husain, Mashâbîh as-Sunnah (Beirut: Dâr al-Mâ’rifah, 1987), III/345.
[7] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Dâr Ihya at-Turats al’-Arabi, th.), III/1478.
Kecaman Rasulullah Bagi Orang yang Bersikap Intoleran
Kecaman Rasulullah Bagi Orang yang Bersikap Intoleran