Pada abad ke 7 Hijriyyah, lahir seorang yang sangat pintar. Namanya adalah Ibnu Taimiyyah. Kepintarannya ini sangat disayangkan. Dengan kecemerlangan berpikirnya, ia tidak dibarengi dengan pencarian guru yang akan menunjukkan jejak langkah pemikirannya, sehingga dari nadhor-nya ini, ia mengeluarkan fatwa yang sangat jauh dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh agama.
Kurang lebih terdapat 60 permaslahan yang melanggar ‘ijma’ ulama setelah adanya kesepakatan.[1] Di antara fatwanya yang melenceng adalah ia tidak meringkas akidah-akidah dari ilmu kalam sehingga melewati batas yang telah ditentukan oleh ulama-ulama salaf.
Ia juga berpendapat bahwa perjalanan berziarah kubur ke makam Nabi Muhammad dianggap sebagai maksiat. Dan yang lebih parahnya lagi, menjatuhkan tiga kali talak kepada istri itu tidak dianggap.
Memenjarakan Ibnu Taimiyyah
Ulama-ulama pada masa itu akhirnya sepakat untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah dalam kurun yang sangat lama sampai ia wafat di dalam penjara. Di penjara, oleh raja yang berkuasa pada saat itu, Ibnu Taimiyyah tidak diperbolehkan menulis dan tidak diperkenankan memasukkan tinta di dalam penjara.[2] Agenda ini dimaksudkan agar pemikiran-pemikiran yang menyesatkan dari Ibnu Taimiyyah tidak lagi bertambah lebih banyak.
Walaupun dalam keadaan di penjara, tidak lantas pemikirannya ini terhenti. Beberapa santrinya mengajarkan pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyyah kepada masyarakat dengan cara sembunyi-sembunyi. Keadaan ini yang membuat tanda sirene bahaya dari Ibnu Taimiyyah tidak seketika padam dengan dipenjaranya Ibnu Taimiyyah. Masih terdapat bara-bara menganga di sana.
Dengan berjalannya waktu, para pengikut Ibnu Taimiyyah menjadi berlipat ganda. Sampai pada pertengahan kurun ke dua belas Hijriyyah, di daerah Najd, tanah Hijaz, muncul laki-laki yang diketahui bernama ‘Abdul Wahhab’. Dari namanya ini, disandarkan sebuah golongan yang disebut sebagai Wahabi. Dalam bermadzhab, Abdul Wahhab ini mengikut kepada Ibnu Taimiyyah yang menjadikan fatwa-fatwa bathil tentang agama menjadi bertambah.
Baca juga: Benih-benih Radikal di Masa Rasulullah
Syekh Jamil Afandi Shadiqi dalam kitab Al-Fajr as-Shadiq mengatakan bahwa fatwa bathil yang dilontarkan oleh Abdul Wahhab terdapat sepuluh masalah, di antaranya; tidak memperbolehkan taklid (mengikut) kepada para Mujtahid dari para imam agama, dan mengatakan kufur kepada orang yang bertaklid. Mengatakan kafir kepada setiap orang Muslim yang tidak seakidah dengan Wahabi.[3]
Penyebaran akidah Abdul Wahhab yang menyimpang, dibantu oleh Muhammad bin Saud yang pada saat itu menjadi raja di daerah Ad-Daraiyyah. Sebuah daerah di mana seseorang mengaku menjadi Nabi pada saat kepemimpinan Abu Bakas as-Shiddiq, yaitu Musallamah al-Kaddzab.
Dengan dibantu raja tersebut, Abdul Wahab mendapatkan dukungan berupa kekuatan militer, sedang Muhammad bin Saud memanfaatkan ideologi puritan dari Wahabi untuk menguasai semenanjung Arab.[4]
Muhammad bin Saud inilah yang kemudian menjadi silsilah raja-raja di tanah Hijaz setelahnya sampai masa sekarang. Ia telah menolong madzhab Abdul Wahhab dan mengajak kepada masyarakat untuk mengikuti madzhab tersebut, sedangkan madzhab yang dianutnya itu sangat jauh berbeda dengan madzhab-madzhab di dalam ahlu sunnah wa al-jama’ah.
Bara api kesesatan Madzhab Wahabi ini tidak hanya tersebar di daerah Hijaz saja, akan tetapi sampai menyebar ke negara Indonesia.[5]
Tonton juga: PRASANGKA | Short Film Of Grup Taks 2 Duta Damai Santri Jawa Timur.
[1] Abdullah al-Hariri, Al-Maqâlâti as-Suniyyah fi Kasf Dholâlâti Ahmad ibnu Taimiyyah (California: Dâr al-Masyârî’, 1998), 11.
قال الإمام الحافظ ولي الدين العراقى في كتابه الأوجوبة المرضية على الأسئلة المكية : (علمه اي ابن تيمية أكبر من عقله). وقال أيشا: إنه خرق الإجماع فى مسائل كثيرة قيل تبلغ ستين مسألة فى الأصول وبعضها في الفروع خالف فيها بعد انعقاد الإجماع عليها). مقدمة الدرة المضية للإمام تقي الدين السبكي.
[2] Abdu Syakur as-Senori, Kawakib al-Lama’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahli Sunnah wa al-Jama’ah (tk. _____, th.), 23-24.
[3] Ibit, h. 23-24.
[4] Alfanul Makky dkk., Kritik Ideologi Radikal, ed. KH. M. Azizi Hasbulloh (Kediri: Lirboyopress, 2019), 9.
[5] Abdu Syakur as-Senori, Kawakib al-Lama’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahli Sunnah wa al-Jama’ah (tk. _____, th.), 26.
وساعد محمدا هذا على إظهار عقيدته الزاىغة محمد بن سعود أمير الدرعيّية، وإليه نسب الملوك السعوديّون بعده، وهم الذين ملكوا الحجاز اليوم، وهم على مذهبه.ثم لميزل بعد ذلك يظهر رجال ينصرون مذهبه ويدعون الناس إليه ويزيدون عليه أمورا هي مخالفة لمذاهب أهل السنة والجماعة حتى استطارت شرارة من ذلك المذاهب إلى بلاد إندونسيا.
Munculnya Kelompok Radikal di Indonesia
Munculnya Kelompok Radikal di Indonesia