Ketika masuk ke Nusantara, ragam sastra akan menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan bahasa yang ada di negara tersebut. Sehingga tidak lagi mengonsumsi rumus pasti yang terdapat di dalam bahasa Arab. Yang pasti, nilai kesustraan terletak dalam penggunaan bahasa yang dapat menggugah hati siapa saja. Sebagaimana ungkapan Dr. Syauqi Dhoifi dalam Tarikh al-Adab al-Arabi;
اَلْكَلَامُ اَلْإِنْشَائِى اَلْبَلِيْغِ اَلَّذِيْ يَقْصُدُ بِهِ إِلَى التَّأْثِيْرِ فِيْ عَوَاطِفِ الْقُرَاءِ وَالسَّامِعِيْنَ،
“Perkataan yang indah dan jelas, dimaksudkan untuk menyentuh jiwa yang mengucapkan atau mendengarnya.”[1]
Pada masa penyebaran Islam di Nusantara, para Mubaligh dalam mendakwahkan Islam melalui metode sastra ada yang menggunakan tembang (kidung) dan suluk. Metode dakwah ini ternyata sangat efektif dalam mempermudah penyebaran, pemahaman, dan penerimaan agama Islam.
Uraian lebih lanjut akan tembang (kidung) dan suluk, seperti uraian di bawah ini.
Kidung atau Tembang
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Kidung’ diartikan sebagai “Nyanyian, lagu (syair yang dinyayikan) atau puisi.” Dalam makna yang lain diungkapkan juga sebagai “Suatu nyanyian yang bersifat lirik (yang melukiskan suatu perasaan).” [2] Sedang ‘Tembang’ dimaknai sebagai “Syair yang diberi berlagu (untuk dinyanyikan), nyanyian, dan puisi.” [3] Sehingga kedua penamaan ini pada dasarnya sama, yakni sya’ir yang dituliskan untuk dilagukan.
Banyak tembang-tembang yang telah di karang oleh para Walisongo pada zaman dahulu ketika menyebarkan Islam. Yang paling masyhur adalah gubahan dari Sunan Kalijaga, Lir-ilir.
Lir ilir lir ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh kemanten anyar
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro
Dodot iro dodot iro kumintir bedah ing pinggir
Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak yo surok iyo[4]
Ketika ditranslate ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih maknanya seperti di bawah ini:
Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Selagi bulan bersinar terang, selagi banyak waktu luang
Ayo bersoraklah, sorak iya
Tembang ini memiliki nuansa sastra yang sangat tinggi. Merupakan tembang yang sangat terbuka sehingga semua orang dapat menafsirkan ke mana pun sesuai posisinya masing-masing. Dalam tembang ini, semua liriknya menggunakan kata perumpamaan yang memiliki arti ganda. Ini yang mencerminkan kedalaman ilmu yang dimiliki Sunan Kalijaga dalam menciptakan sastra.
Tembang ini memiliki kandungan sastra akan makna moral dan keagamaan yang sangat mendalam. Dalam segi moral, di sana diungkapkan bahwa setiap manusia akan menjadi pemimipin, seperti sabda Nabi:
“Kalian semua adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.“[5] (HR. Al-Bukhari)
Sedang dalam segi agama, seseorang haruslah senantiasa untuk selalu antusias dalam menjalankan syariat Allah Swt, walaupun hal tersebut terkadang sukar untuk dijalani. Tamballah kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri, selagi seseorang masih diberi kesempatan dan waktu yang lapang untuk menyambut kebahagiaaan yang hakiki.
Melalui tembang Lir-Ilir ini, Sunan Kalijaga mengajak masyarakat Jawa mengamalkan agama Islam secara perlahan, tanpa menabrak tradisi yang sudah lama berkembang.
Suluk
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Suluk’ bermakna “Jalan ke arah kesempurnaan batin; tasawuf; tarekat; mistik.” Dalam makna lain disebutkan sebagai “Nyanyian (tembang) dalang yg dilakukan ketika akan memulai suatu adegan (babak) dipertunjukan wayang.” Sedang menurut Indah Tjahjawulan, suluk adalah “Satu bentuk sastra jawa yang berisi ajaran spiritual Islam (sufisme).”[6]
Hal ini masih dalam satu keserasian makna, di mana suluk pada dasarnya diambil dari bahasa Arab “Salaka” yang bermakna jalan atau menempuh, dan secara istilah adalah menempuh jalan spiritual untuk menuju Allah Swt.
Tonton video kami di HUBUNGAN SANTRI DENGAN SUMPAH PEMUDA | Duta damai santi jawa timur
Begitu juga sastra suluk yang mayoritas diciptakan oleh Sunan Bonang, digambarkan sebagai seseorang yang sedang mencari jalan untuk mencapai derajat hakikat. Ini seperti halnya digambarkan dalam Suluk Wijil yang berbunyi:
// Dan warnanen sira ta pun Wujil / matur sira ing sang adirina / Ratu Wahdat pangerane / samungkem aneng lebu / teapakan Sang Maha Muni / Sang adhekah ing Benang / mangke atur bendu / sawitnya nedha jinarwan / sapratingkahing agama kang sinelir / teka ing rahsa purba //
“Tersebutlah seseorang yang bernama Wujil. Dia berujar kepada Sang Panembahan Agung yang bernama Ratu Wahdat. Seraya mohon ampun, ia bersujud di atas debu yang menempel di telapak kaki sang Mahamuni, yang bertempat tinggal di Benang karena ingin diberi keterangan tentang seluk beluk agama yang terpilih sampai rahasia Islam yang sedalam-dalamnya.”
Setelah Republik Indonesia merdeka, Teks Suluk Wujil ini dapat dijumpai di Museum Nasional, kini di pindah di Perpustakaan Nasional Jakarta dan transliterasinya ke dalam huruf latin dilakukan oleh Poebatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer avn Soenan Bonang” (Soeloek Woedjil) yang dimuat di majalah Djawa vol XVIII, 1938.[7]
Baca juga: Kemiskinan Perpustakaan Sastra Islam Di Abad Modern
Yang paling menarik dari sastra ini adalah berada pada bagian akhir-akhir. Di sana di ulas bahwa Ratu Wahdat yang diyakini sebagai guru, mengajarkan tentang Nafi–Isbat yang berkaitan dengan kalimat tauhid La ilaaha illa Allah. Kalimat ini mempunyai dua bagian. Yang pertama adalah bagian Nafi, yaitu ucapan La ilaaha yang artinya “Tidak ada Tuhan” dan yang kedua adalah bagian “Istbat” yaitu ucapan “Illa Allah” yang artinya “Kecuali Allah”. Jika lagu (kalimat Nafi dan Itsbat ini) diucapkan oleh seseorang, secara tidak langsung ia bisa dikatakan sebagai Muslim. Kalimatnya sebagaimana berikut:
// Kang kiwa punika maring Nafi / kang tengen punika maring Istbat / Pandhawa maring Nafine / Istbat karowa ikut / Istbat iku pan asal Nafi / Nafi pan asal Istbat / mustbat kang dan rebut / Kresna kang dadi panehan / Kresna kaca pahesaning ringgit kalih / kalah menan ing kaca //
“Wayang-wayang yang berada di sebelah kiri menunjuk Nafi, sedangkan yang di sebelah kanan menunjuk pada Itsbat. Pandawa memerankan Nafi, para Korawa memerankan Istbat. Timbulnya Nafi disebabkan oleh Istbat, akan tetapi juga sealiknya timbulnya Itsbat disebabkan oleh Nafi. Sekarang mereka berperang memperebutkan Mustbat, sedangkan Kresna pegang peranan sebagai cermin dari kedua belah pihak. Menang atau kalah bergantung dari cermin itu.”
Alasan mendasar para Mubaligh dahulu dalam berdakwah menggunakan media tembang tidak lain untuk tidak melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu Hindu-Buddha. Walaupun terkesan sederhana, akan tetapi kandungna isi yang tersirat memiliki makna yang sangat mendalam.
[1] Dr. Syauqi Dhoifi, Tarikh al-Adab al-Arabi, hlm. 7 (Dar al-Ma’arif)
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 721 (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
[3] Ibit. 1483
[4] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, hlm. 275, (Depok: Pustaka IIMaN)
[5] Abu Muhammad Mahmud Badruddin al-Aini, Umdatul Qori’, hlm. 248, vol. 12 (CD: Maktabah Syamilah)
9042 – حدَّثنا أَبُو اليَمَانِ قَالَ أخبرنَا شُعَيْبٌ عنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبرنِي سالِمُ بنُ عبدِ الله عنْ عبْدِ الله بنِ عُمَرَ رَضِي الله تَعَالَى عَنْهُمَا أنَّهُ سَمِعَ رسولَ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم يَقولُ كُلُّكُمْ راعٍ ومَسْئُولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ فالإمَامُ راعٍ وهْوَ مَسْئُولٌ عنْ رعِيَّتِهِ والرَّجُلُ فِي أهْلِهِ راعٍ وهْوَ مسْئُولٌ عنْ رَعِيَّتهِ والْمَرْأةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا راعِيَةٌ وهْيَ مَسْئُولَةٌ عنْ رَعِيَّتِها والخادِمُ فِي مالِ سَيِّدِهِ راعٍ وهْوَ مَسْئُولٌ عَن رَعِيَّتِهِ قَالَ فَسَمِعْتُ هاؤُلاءِ مِنْ رسولِ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وأحْسِبُ النبيَّ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ والرَّجُلُ فِي مالِ أبِيهِ راعٍ وهْوَ مَسْئُولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ فكُلُّكُمْ راعٍ وكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عنْ رعِيَّتِهِ. .
[6] Indah Tjahjawulan, Islam, Tradisi, Khazanah Budaya, hlm. 66 (Senayan: Direktorat Kemendigbud, 2018)
[7] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, hlm. 242, (Depok: Pustaka IIMaN)
Ragam Sastra Nusantara dalam Upaya Mengambil Hati Masyarakat
Ragam Sastra Nusantara dalam Upaya Mengambil Hati Masyarakat
Ragam Sastra Nusantara dalam Upaya Mengambil Hati Masyarakat