Bangsa Arab dalam kesustraannya, memiliki dua bentuk bahasa: yaitu prosa dan syair. Antara prosa dan syair ini memiliki karakter dan pola-pola kesustraan yang sangat mencolok perbedaannya. Sebagaimana keterangan berikut ini:
1. Natsar atau Prosa
Nastar adalah kalam yang tidak bersajak, tidak terikat dengan wazan dan qofiyah. Nastar ini merupakan kebalikan dari syair. Lebih dapat mengungkapkan ide, pendapat, dan lebih fasih dalam menguraikan keilmuan. Di mana dalam nastar pengungkapannya lebih bebas karena tidak ada batasan-batasan yang mengikatnya.[1] Namun kekurangan dari kalam nastar ini, sulit untuk dihafalkan dan tidak mudah disimpan dalam memori. [2]
Keterkaitan nastar dengan kajian sastra adalah kalimatnya yang mampu mengekspresikan perasaan manusia akan keindahan dan pengaruhnya kepada jiwa, serta kelembutan dan kefasihan dalam uraiannya.
Karena itu, nastar ini merupakan kalam yang mulia, bukan ucapannya orang-orang biasa, bukan juga diungkapkan dalam hal percakapan, bukan ungkapan yang dilakukan pada saat bermu’amalah dan bekerja atau yang bersangkutan dengannya. Tetapi nastar ini dapat ditemukan dalam buku-buku sastra, seperti juga peribahasa, ilmu retorika, surat-surat sastra dan sejenisnya.[3]
Apakah al-Qur’an Bisa Disebut ke dalam jenis Natsar?
Adapun al-Qur’an, meskipun berupa natsar, namun tidak dapat dikategorikan ke dalam jenis ini. Al-Qur’an merupakan ayat-ayat yang berhenti pada pemberhentian tertentu yang dirasakan oleh dzauq (perasaan) bahwa perkataan tersebut memang akan berhenti di sana. Lalu perkataan tersebut akan diulang pada ayat lain setelahnya dan diulang-ulang tanpa ketentuan mengikuti suatu huruf tertentu sebagaimana terdapat pada sajak atau pun qofiyah.[4]
2. Syair atau Puisi
Syair yang terlaku dalam Ilmu ‘Arud didefinisikan sebagai pola-pola syiir Arab yang diketahui tepat dan benarnya dalam segi wazan. Ketentuan ini berlaku akan amannya syiir yang dikarang dari bercampurnya sebagian bahr syair dengan sebagian yang lain, dan amannya syiir dari lagu yang tidak pas terhadap perubahan-perubahan yang tidak diperbolehkan masuk di dalam syiir.[5]
Syair sendiri juga bisa dimaknai sebagai kalimat yang memiliki bagian-bagian berupa bait yang berirama dan diakhiri dengan kesamaan qofiyah, serta terkandungnya pesan dalam setiap baitnya.[6]
Namun definisi yang diuraikan ini ditentang keras oleh Ibnu Khaldun dalam Muqodimah-nya. Ibnu Khaldun menganggap bahwa uraian yang ada di atas hanyalah pendapat yang diasumsikan oleh para pakar Ilmu ‘Arud. Jika yang dipandang hanyalah keselarasan semua baitnya, serta persamaan akhir setiap bait sesuai dengan jenis bahr-nya, secara tidak langsung titik fokus untuk pembahasannya hanya tertuju pada wazan saja, tidak lagi dipandang dari pemilihan kata dan makna yang mengandung bahasa yang tinggi.
tonton juga: DOKUMENTASI SEKOLAH KREATOR PEKAN LITERASI DIGITAL PESANTREN II | 21-22 OKTOBER 2022
Selain dilihat dari segi aspek pemilihan kata dan makna, dalam penulisan sastra Arab juga harus dilihat dari semua aspek baik i’rab, balaghah, wazan, dan pola-pola bahasa yang terdapat dalam syair.[7]
baca juga: Sastra Masa Pra Islam & Modern
Sedangkan menurut pendapat Para Ahli Kesustraan Arab yang dipaparkan melalui kalam Musthofa al-Hasyimi dalam kitab Jawahir al-Adab diasumsikan:
أَمَّا الْمُحَقِّقُوْنَ مِنَ اْلأُدَبَآءِ فَيَخُصُّوْنَ الشِّعْرَ بِأَنَّهُ الْكَلاَمُ الْفَصِيْحُ الْمَوْزُوْنُ الْمُقَفَّى الْمُعَبِّرَ غَالِبًا عَنْ صُوَرِ الْخَيَالِ الْبَدِيْعِ.
“Berkenaan dengan sya’ir, Para Ahli Kesustraan Bahasa Arab mendefinisikan sebagai suatu kalimat yang fasih, beriama, bersajak, dan keumumannya, melukiskan tentang khayalan (imajinasi) yang indah.”[8]
[1] Dr. Jawad Ali, Al-Mufashal fi Taarikh al-‘Arab Qobla Islam, hlm. 367, vol 16 (CD: Maktabah Syamilah) cet. IV
النثر هو الكلام المرسل الذي لا يتقيد بالوزن والقافية، وهو الجزء المقابل للشعر، من أجزاء الكلام. وهو أقدر من الشعر على إظهار الأفكار وعلى التعبير عن الرأي، وعلى الإفصاح عن علم ومعرفة، لكونه كلامًا مرسلًا حرًّا لا يتقيد بقيود، خاليًا من الوزن والقافية ومن المحافظة على القوالب،
[2] Ibit.
الذي لا يمكن حفظه بسهولة، ولا خزنه في الذاكرة، لعدم وجود مقومات الخزن المذكورة فيه.
[3] ibit.
والنثر الذي نقصده ونعنيه، هو النثر الذي يبحث عنه مؤرخ الآداب، لكونه قطعة فنية، تعبر عن عاطفة إنسانية، وعن مظاهر الجمال والذوق والتأثير في النفوس، فيه صياغة وفن في حبك القول، وتفنن في طرق العرض، وإغراء في تنميق الكلم ودبج الكلمات، وحلاوة وطراوة وسحر وبيان وحلاوة وطراوة وسحر وبيان، فهو كلام عال لا يشبه كلام العامة، ولا مما يتخاطب به الناس، ولا مما يتعامل به في التجارة والمكسب أو في الدوائر، وإنما هو من قبيل كتب الأدب، ومن قبيل الأمثال والخطابة والمراسلات الأدبية وما شاكل ذلك من وجوه.
[4] Abdurrohman bin Kholdun, Muqodimah Ibnu Khaldun, hlm. 487, (Beirut: DK Ilmiyyah, 2009)
وأمّا القرآن وإن كان من المنثور إلّا أنّه خارج عن الوصفين وليس يسمّى مرسلا مطلقا ولا مسجّعا. بل تفصيل آيات ينتهي إلى مقاطع يشهد الذّوق بانتهاء الكلام عندها. ثمّ يعاد الكلام في الآية الأخرى بعدها ويثنّى من غير التزام حرف يكون سجعا ولا قافية
[5] Penjelasan di atas adalah kesimpulan yang diambil dari ibarat ini.
Al-Khalil bin Ahmad Al-Faraahidi, Taqrirat Al-Arud, hlm, 1 (Lirboyo: Darul Mubtadiin)
موضوعه الشعر العربي من حيث صحة وزنه وسقمه،
وفائدته امن المولد من اختلاط بعض البور الشعر ببعض وأمنه على الشعر من الكسر والتغيير الذي لا يجور دخوله فيه
[6] Abdurrohman bin Kholdun, Muqodimah Ibnu Khaldun, hlm. 491, (Beirut: DK Ilmiyyah, 2009)
فإنّ العرب استعملوا كلامهم في كلا الفنّين وجاءوا به مفصّلا في النّوعين. ففي الشّعر بالقطع الموزونة والقوافي المقيّدة واستقلال الكلام في كلّ قطعة
[7] Ibit. 492.
وصناعتهم إنّما تنظر في الشّعر من حيث اتّفاق أبياته في عدد المتحرّكات والسواكن على التّوالي، ومماثلة عروض أبيات الشّعر لضربها. وذلك نظر في وزن مجدّد عن الألفاظ ودلالتها. فناسب أن يكون حدّا عندهم، ونحن هنا ننظر في الشّعر باعتبار ما فيه من الإعراب والبلاغة والوزن والقوالب الخاصّة.
[8] Ahmad Musthofa al-Hasyimi, Jawahir al-Adab fi Adbiyaati wa Insya’i lughat all-Arab, hlm. 23, vol. 2 (Beirut: Muassasah al-Ma’arif)
Pembagian Sastra Arab
Pembagian Sastra Arab
Pembagian Sastra Arab