Oleh:Ahmad Fuadi Akbar
“Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” – KH. Abdurrahman Wahid
30 Desember 2024 menandai 14 tahun kepergian KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia, namun warisan pemikirannya tetap hidup dan semakin relevan di tengah tantangan kebangsaan yang kita hadapi saat ini.
Warisan Pemikiran yang Tak Lekang Waktu
1. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Gus Dur dikenal sebagai pejuang demokrasi yang konsisten. Dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006), beliau menegaskan bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring, menentang pandangan yang mengklaim demokrasi bertentangan dengan syariat. Greg Barton dalam “Biografi Gus Dur” (2002) mencatat bagaimana Gus Dur konsisten memperjuangkan demokrasi bahkan di masa-masa sulit Orde Baru.
2. Pluralisme dan Toleransi
Menurut Ahmad Suaedy dalam “Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil” (2010), pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas bukan sekadar lips service. Tindakan nyatanya termasuk:
Pencabutan Inpres No.14/1967 tentang agama dan adat istiadat Tionghoa
Pembelaan terhadap komunitas Ahmadiyah
Perjuangan hak-hak pemeluk Konghucu
3. Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi Islam yang dicetuskan Gus Dur, sebagaimana dijelaskan dalam “Islam Nusantara” (2015) karya Akhmad Sahal, menunjukkan bagaimana Islam dapat beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya. Ini menjadi fondasi penting bagi perkembangan Islam Nusantara.
Relevansi Pemikiran Gus Dur di Era Kontemporer
1. Moderasi Beragama
M. Syafi’i Anwar dalam “Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia” (2007) menekankan bagaimana konsep moderasi beragama Gus Dur menjadi semakin relevan di tengah menguatnya ekstremisme. Pemikirannya tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi panduan penting dalam menghadapi radikalisme.
2. Nasionalisme Inklusif
Douglas E. Ramage dalam “Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance” (1995) menganalisis bagaimana pemahaman Gus Dur tentang nasionalisme yang inklusif membantu memperkuat fondasi kebangsaan Indonesia.
Pembelajaran untuk Masa Kini
Beberapa pembelajaran penting dari Gus Dur yang masih relevan:
Membela yang Tertindas “Tuhan tidak perlu dibela” – salah satu ungkapan terkenal Gus Dur dalam bukunya yang berjudul sama (1999), mengajarkan bahwa energi kita sebaiknya digunakan untuk membela kemanusiaan.
Humor sebagai Media Dakwah Greg Fealy dalam “Ijtihad Politik Ulama” (2003) mencatat bagaimana Gus Dur menggunakan humor sebagai alat efektif untuk menyampaikan kritik sosial dan politik.
Konsistensi Perjuangan Menurut Muhammad AS Hikam dalam “Demokrasi dan Civil Society” (1999), konsistensi Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM menjadi teladan bagi generasi mendatang.
14 tahun setelah kepergiannya, pemikiran dan teladan Gus Dur tetap relevan dan bahkan semakin dibutuhkan. Di tengah tantangan intoleransi, ekstremisme, dan populisme, warisan intelektual dan spiritual Gus Dur menjadi pelita yang menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Barton, Greg. (2002). Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
Wahid, Abdurrahman. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Suaedy, Ahmad. (2010). Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Jakarta: The Wahid Institute.
Sahal, Akhmad. (2015). Islam Nusantara. Bandung: Mizan.
Anwar, M. Syafi’i. (2007). Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Ramage, Douglas E. (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London: Routledge.
Wahid, Abdurrahman. (1999). Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS.
Fealy, Greg. (2003). Ijtihad Politik Ulama. Yogyakarta: LKiS.
Hikam, Muhammad AS. (1999). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.