Dalam proses Islamisasi yang indigeneous, Islam Indonesia membentuk Muslim yang lembut, damai, toleran, dan harmoni. Peran pembaruan Islam yang menyebarkan nilai-nilai kemajuan itu sangat penting dan menentukan perkembangan Islam mutakhir.
Peran Islam modern selain dalam menumbuhkan nasionalisme dan kesadaran politik baru menentang penjajah dengan cara modern, juga telah memajukan umat dan bangsa pasca Indonesia merdeka (Deliar Noer, 1996). Tanpa gerakan pembaruan, tidak mungkin lahir generasi Muslim terpelajar yang kemudian tampil sebagai kelas menengah baru dan menjadi pilar lahirnya pranata-pranata sosial Islam yang maju.
Generasi Muslim yang lahir dalam kultur Islam pembaruan ini bahkan di belakang hari memproduksi elit Muslim di berbagai lembaga pemerintahan yang membentuk genre baru Islam Indonesia yang memperkuat pilar pergerakan Islam di basis kemasyarakatan dan civil society.
Tanpa kehadiran Islam berkemajuan atau Islam reformis-modernis, tidak mungkin lahir wajah Islam Indonesia yang kosmopolit, urban, dan sanggup hidup di tengah modernitas tahap lanjut dan globalisasi yang membuana seperti kita saksikan hari ini.
Kini sering dipublikasikan secara luas bahwa Islam Indonesia yang moderat merupakan wajah Islam masa depan. Diproyeksikan bahwa Islam moderat sedang menerangi jalan menuju sebuah masa depan Islam yang besar, sebagai sebuah fenomena “The New Face of Islam”.
Tentu asumsi ini perlu didukung dan merupakan sebuah optimisme yang menggembirakan. Namun Islam di mana pun, termasuk di Indonesia, tidak berhenti di satu titik. Artinya Islam Indonesia tidaklah statis, apalagi tunggal. Islam Indonesia akan terus mengalami dinamika antara ajaran dan realitas kehidupan yang melingkarinya, serta membentuk keragaman corak atau varian sesuai dengan proses pergumulannya yang kompleks.
Baca juga: Lupa Sholat Karena Sibuk Mengurusi Tamu Undangan
Dalam konteks ini Islamisasi bukan sekadar berarti penerimaan ajaran secara doktrinal, tetapi sekaligus pengorbanan untuk akomodasi terhadap perubahan dan tuntutan zaman dalam proses akulturasi yang normal tanpa kehilangan esensi dan prinsip ajaran (Abdullah, Taufik1974).
Islam Indonesia akan menghadapi dinamika kehidupan baru di abad ke-21 sesuai dengan hukum perubahan. Berbagai kecenderungan, masalah, dan tantangan kehidupan modern yang lebih kompleks, tengah dan akan terus hadir untuk diberikan jawaban cerdas oleh umat Islam.
Umat Islam selain tampil sebagai golongan yang membawa pesan damai, toleran, dan propluralitas, juga harus menjadi kekuatan yang prodemokrasi, penegakkan hak asasi manusia, dan civil society. Di samping itu, umat Islam Indonesia juga harus menjadi golongan yang unggul di bidang politik, ekonomi, pendidikan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berdaya saing tinggi.
Dalam konteks kehidupan kontemporer yang kompleks itu, maka sungguh penting dan relevan kehadiran Islam Indonesia yang berkemajuan. Umat Islam Indonesia yang mayoritas harus tampil sebagai umat berkemajuan, bukan sebagai golongan yang besar sebatas jumlah. Apalah artinya besar secara kuantitas tetapi kalah dalam kualitas. Apakah artinya Islam moderat jika tertinggal dan tangan di bawah. Umat Islam Indonesia yang besar dan moderat harus menjadi golongan besar yang unggul dan tangan di atas. Itulah relevansi kehadiran Islam dan umat Islam berkemajuan di Indonesia.
Peradaban modern yang dipelopori Barat, saat ini telah mencapai puncaknya yang gemilang dalam berbagai bidang kehidupan, lebih-lebih dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya.
Tonton juga: RESOLUSI JIHAD BELUM USAI || shoot movie duta damai santri jawa timur
Di tengah arus baru globalisasi yang melintasi sekat-sekat negara-bangsa dan membuka ruang hidup baru yang luar biasa mencair sekaligus bersifat ekspansi ke seluruh penjuru kehidupan hingga ke pelosok pedesaan terjauh, kebudayaan manusia modern abad ini telah melintas-batas ke hal-hal yang tak terduga, sehingga merupakan revolusi kehidupan yang paling spektakuler. Bagaimana pengembangan teknologi robot, kloning, dan berbagai produk inivasi teknologi lainnya yang luar biasa hadir dan menginterpensi pandangan hidup manusia yang selama ini mapan termasuk agama.
Pemikiran agama termasuk pemikiran Islam tidak akan memadai hanya berpijak pada logika-logika tekstual semata maupun dalam frame syari’at dalam alfabeta halal-haram belaka, tanpa dilengkapi pemikiran-pemikiran yang bersifat filosofis dan membangun perspektif baru berupa world-view (pandangan dunia) yang berdimensi Ilahiah (tauhid) sekaligus insaniah (kemanusiaan).
Di sinilah pentingnya pemikiran-pemikiran tekstual dipertautkan dengan pemikiran-pemikiran kontekstual yang memadukan seluruh khazanah ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum dalam referensi klasik sekaligus kontemporer secara simultan.[1]
[1] Haidar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016) hlm. 414